Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Reformasi Total BPJS

Kenaikan iuran BPJS tidak tepat. Kebijakan pemerintah melanggar putusan Mahkamah Agung.

6 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Reformasi Total BPJS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGKAH Presiden Joko Widodo menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada awal Mei 2020 adalah kebijakan yang keliru. Keputusan itu tak menyelesaikan masalah pokok yang memicu defisit BPJS, yakni melambungnya jumlah tagihan pelayanan kesehatan akibat kekacauan data dan penyalahgunaan sistem (fraud) yang terjadi dari hulu hingga hilir.

Tim investigasi majalah ini menemukan potensi kerugian BPJS Kesehatan mencapai Rp 47,6 triliun. Kerugian itu terjadi di setidaknya enam kluster persoalan: manajemen BPJS sendiri, pemerintah daerah, rumah sakit dan klinik, Kementerian Kesehatan, perusahaan yang karyawannya terdaftar sebagai anggota BPJS, serta para peserta mandiri. Jika kecurangan sistem ini diperbaiki, defisit BPJS yang tahun lalu mencapai Rp 15,5 triliun bisa tertutup tanpa harus menaikkan iuran peserta.

Dari enam kluster masalah itu, hampir separuh dari total kerugian—sekitar Rp 16 triliun—berasal dari rumah sakit dan klinik. Komisi Pemberantasan Korupsi menghitung pembayaran perawatan tak perlu (unnecessary treatment) untuk pasien diperkirakan merugikan BPJS hingga Rp 10 triliun setiap tahun. Sedangkan tindakan ratusan rumah sakit yang mengajukan pembayaran untuk kelas yang lebih tinggi dari seharusnya membuat BPJS diperkirakan menderita kerugian hingga Rp 6 triliun.

Kluster lain yang menyumbangkan kerugian cukup besar adalah kekacauan data peserta mandiri. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengungkap ada 27,44 juta pasien kategori penerima bantuan iuran (PBI) yang datanya kacau. Pemerintah mengakui ada 30 juta peserta PBI yang datanya belum sinkron dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Potensi kerugian BPJS di sini mencapai Rp 9 triliun.

Solusi untuk berbagai kecurangan itu memang tidak sederhana, tapi bukan di luar jangkauan. Pasalnya, kesalahan tidak terletak pada manajemen BPJS semata, tapi pada kurangnya koordinasi di antara berbagai lembaga dan kementerian. Presiden Joko Widodo harus menegaskan bahwa pembenahan BPJS adalah prioritas utama pemerintah.

Potensi kerugian pada kluster rumah sakit dan klinik, misalnya, bisa diatasi jika Kementerian Kesehatan menerbitkan pedoman nasional pelayanan kedokteran (PNPK). Tanpa pedoman itu, temuan kecurangan dalam pelayanan medis tidak bisa ditindak secara hukum. Kementerian Kesehatan baru menyelesaikan 40 PNPK dari total 74 pedoman yang dibutuhkan BPJS. Gencarnya lobi asosiasi profesi di bidang kedokteran dan sejumlah gugatan hukum di Mahkamah Konstitusi membuat proses perumusan pedoman ini amat lambat.

Kecurangan rumah sakit yang menagih biaya pelayanan kesehatan di atas kelasnya juga bisa diatasi jika Komisi Akreditasi Rumah Sakit di Kementerian Kesehatan konsisten dan telaten melakukan audit. Sanksi untuk rumah sakit yang terbukti mengakali akreditasinya harus ditegakkan. Pada zaman Menteri Kesehatan sebelumnya, Nila Moeloek, pemerintah menemukan 615 rumah sakit yang ditengarai menaikkan kelas. Sebaliknya, Menteri Kesehatan saat ini, Terawan Agus Putranto, belum merespons laporan tentang 898 rumah sakit yang melakukan tindakan serupa.

Selain itu, kekacauan data anggota BPJS yang masuk kategori penerima bantuan iuran bisa diatasi jika Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sosial mensinkronkan data kependudukan mereka. Nyatanya, yang terjadi sekarang saling lempar bola di antara dua kementerian itu. Lagi-lagi dibutuhkan pengarahan yang tegas dari pucuk pimpinan negeri ini.

Masalah di BPJS Kesehatan bisa diatasi lebih dini jika mekanisme pengawasan di lembaga itu berjalan dengan baik. Saat ini, BPJS memiliki dua lembaga pengawas, Dewan Jaminan Sosial Nasional dan dewan pengawas di lingkup internal. Tapi mereka bak macan kertas karena tak punya kedudukan hukum yang kuat dan anggarannya minim. Perbaikan struktur dan manajemen BPJS tak boleh ditunda-tunda.

Presiden Jokowi tak perlu menunggu sampai Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 yang mengatur kenaikan iuran BPJS digugat lagi ke Mahkamah Agung untuk mengoreksi keputusan itu. Pada Februari lalu, lembaga yudikatif tertinggi itu sudah menegaskan dalam Putusan Nomor 7P/HUM/2020 bahwa kenaikan iuran hanya bisa dilakukan jika pemerintah memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan yang ditanggung BPJS.

Tetap berkeras menaikkan iuran tanpa mengatasi akar masalah defisit BPJS tidak hanya melawan putusan Mahkamah, tapi juga ibarat menggarami lautan. Presiden Jokowi tentu tak mau dikenang sebagai kepala pemerintahan yang keputusannya kerap dibatalkan di pengadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus