Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENETAPAN harga eceran tertinggi untuk obat Covid-19 merupakan langkah yang bertentangan dengan hukum pasar. Diteken 3 Juli 2021, Peraturan Menteri Kesehatan HK.01.07/MENKES/4826/2021 untuk 11 obat itu telah memicu kelangkaan dalam beberapa pekan terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penetapan itu mungkin diniatkan agar obat terjangkau masyarakat dan mencegah pedagang gila-gilaan meraup cuan. Yang terjadi: pedagang malah menyetop penjualan karena mereka terancam rugi. Peraturan itu, misalnya, menetapkan harga obat azitromisin 500 miligram Rp 1.700 per tablet dan obat termahal untuk infus jenis Intravenous Immunoglobulin I07o 50 mililiter sebesar Rp 6.174.900 per vial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi pedagang, harga itu dinilai terlalu murah. Namun tak menjualnya kepada konsumen juga menyalahi aturan. Apalagi pemerintah telah mengerahkan polisi menggerebek gudang-gudang obat dan menuduh pedagang menimbun obat yang tidak didistribusikan ke gerai.
Seharusnya pemerintah mengajak para pedagang duduk bersama. Jika harga pasar terlalu mahal, pemerintah bisa memberi subsidi, atau menjadikannya obat generik, sehingga masyarakat lapisan terbawah bisa membeli dan pedagang tetap mendapatkan untung yang wajar. Toh, dalam mekanisme pasar, sepanjang suplai tersedia, harga tak akan melonjak kendati permintaannya tinggi. Apalagi para pedagang obat sebagian adalah perusahaan farmasi negara.
Jika suplai tak mampu mengimbangi permintaan, pemerintah bisa mendorong perusahaan farmasi mengimpor bahan baku dan mempermudah pengadaannya. Memanggil pedagang obat untuk meminta mereka menurunkan harga hanya unjuk kekuasaan yang tak mengedepankan solusi. Hendaknya disadari, obat dan kesehatan merupakan hak dasar masyarakat.
Membagikan 300 ribu paket obat mungkin terlihat sebagai langkah yang populis. Hendaknya disadari: aksi bagi-bagi obat itu memicu ketimpangan karena di lapangan pembagiannya tak bisa dipastikan merata. Selain itu, obat yang dibagikan dapat membahayakan pasien karena merupakan obat keras yang hanya bisa dikonsumsi dengan resep dokter. Pemerintah hendaknya memberikan penjelasan kepada masyarakat perihal obat antivirus yang aman.
Unjuk perhatian Presiden Joko Widodo dalam menginspeksi distribusi obat beberapa pekan lalu bukan langkah yang simpatik. Mendatangi apotek swasta di Bogor untuk mendapatkan sejumlah obat Covid-19, Jokowi sebetulnya tengah menunjukkan pemahamannya yang keliru soal distribusi obat. Saat tak mendapatkan obat yang diinginkannya, ia menelepon Menteri Kesehatan untuk bertanya—di bawah sorot kamera dan pelantang suara telepon yang volumenya dibesarkan. Menteri Kesehatan menjelaskan bahwa semua obat pesanan Jokowi tersedia di apotek-apotek perusahaan negara. Alih-alih menunjukkan kepeduliannya pada distribusi obat, Jokowi malah terkesan mendiskreditkan anggota kabinetnya sendiri.
Salah langkah penyediaan obat bisa membuat kita terperosok ke lubang pandemi yang lebih dalam. Ketidakpercayaan kepada hukum pasar dapat membuat kita seperti Cina pada era Mao Zedong. Meniatkan diri melompat jauh ke depan, pada 1958-1964 Cina didera kelaparan besar—bukan karena pangan langka, tapi akibat salah kebijakan dan tangan besi dalam menggenjot revolusi pertanian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo