Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPULANGAN Muhammad Rizieq bin Hussein Syihab dua pekan lalu seperti membuka kotak pandora. Setelah negara sesaat raib dan pemerintah menjadi pecundang, para pejabat di pusat dan daerah lalu sibuk melempar kesalahan dan lintang pukang menyelamatkan muka. Politik identitas kembali memanas dan bisa terus mendidih sampai Pemilihan Umum 2024 mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah dimulai ketika kepulangan pendiri Front Pembela Islam (FPI) itu disambut puluhan ribu pengikutnya di bandar udara. Dua hari kemudian, Rizieq menggelar pertemuan di pesantrennya di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat. Setelah itu, ada pula peringatan Maulid Nabi dan resepsi pernikahan anak perempuan Rizieq yang dihadiri ribuan tamu. Dalam semua kegiatan itu, protokol kesehatan Covid-19 diabaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak satu pun upaya mitigasi dilakukan. Tak satu pun pejabat yang mengantisipasi massa yang menyemut di Bandara Soekarno-Hatta. Di Puncak dan Petamburan, Jakarta Barat—lokasi kediaman Rizieq—aparat keamanan, satuan tugas penanganan Covid-19, dan pemerintah daerah memalingkan muka. Secara terpisah, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bahkan hadir di rumah Rizieq.
Setelah nasi menjadi bubur, pemerintah tergopoh mengambil langkah post factum, sekadar agar tak dituduh lepas tangan. Kepala Kepolisian RI Jenderal Idham Azis, dengan seragam Brigade Mobil siap tempur, berpidato dengan pesan ala kadarnya: meminta masyarakat memakai masker dan mencuci tangan. Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Hadi Tjahjanto mengingatkan masyarakat untuk menjaga persatuan dan kesatuan—tanpa sekali pun menyebut nama Rizieq.
Senyampang itu, Kepolisian melakukan mutasi besar-besaran. Ingin memberi kesan menegakkan aturan, Kepala Polri mencari “korban” dengan mencopot Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Polda Jawa Barat beserta jajaran yang dianggap bertanggung jawab. Di tempat yang lain, pemerintah DKI berpuas diri dengan menerapkan denda kepada keluarga Rizieq—permintaan yang dengan mudah dipenuhi sahibulbait. Sementara itu, Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta mengerahkan panser dan pasukan untuk merobek baliho Rizieq.
Muasal dari segala kerikuhan itu adalah sikap ambigu pemerintah terhadap Rizieq dan FPI. Pada 2017, pemerintah menyerah pada tuntutan Rizieq untuk memidanakan Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Basuki Tjahaja Purnama, dengan tuduhan penistaan agama. Tapi pemerintah juga yang mencari-cari perkara privat berupa percakapan mesum untuk menjatuhkan kredibilitas “sang imam”.
Ketika Rizieq pergi ke Arab Saudi, tak ada yang bisa memastikan benarkah ia berangkat dan bermukim di sana tanpa campur tangan negara. Yang belakangan terungkap: pejabat Badan Intelijen Negara dan Polri bolak-balik menemuinya. Di tingkat lokal, Rizieq telah menanam budi kepada Anies Baswedan dalam pemilihan gubernur tiga tahun lalu. Inilah yang kuat diduga membuat Anies—yang mulai disebut-sebut akan meramaikan pemilihan presiden 2024—tak mampu bersikap tegas.
Dalam kerikuhan pemerintah itu, Rizieq pulang dengan kepala tegak. Tak ada satu pun aturan yang melarang dia kembali. Apalagi polisi sudah menghentikan semua kasus yang membelitnya.
Pemerintah, yang telah kehilangan kredibilitas dalam menangani pandemi, gamang menghadapi keadaan. Tindakan polisi memeriksa Gubernur DKI dan pejabat lain karena kerumunan di Puncak dan Petamburan diduga bukan digerakkan oleh motif penegakan hukum, melainkan permainan politik elektoral untuk kepentingan sesaat. Ancaman Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk memberhentikan kepala daerah yang tak menegakkan protokol kesehatan segendang sepenarian.
Sulit membayangkan polisi bersedia mengusut kesalahan Rizieq dan FPI. Yang terjadi, lagi-lagi, penegakan hukum untuk kepentingan politik. Di sisi lain, pernyataan-pernyataan petinggi militer dalam kasus ini justru memicu kekhawatiran baru soal politisasi tentara—sesuatu yang sudah lama kita tinggalkan di era Orde Baru.
Apa boleh buat: lebih dari sekadar berpotensi menciptakan kluster baru Covid-19, kedatangan Rizieq telah mengentalkan kembali politik identitas, yang bibitnya telah dimulai pada 2014. Menguatnya Rizieq dan populisme agama malah membuka kesempatan kepada populisme nasionalis untuk membesar pula. Ini situasi yang mengkhawatirkan. Demokrasi Indonesia yang memburuk beberapa tahun terakhir akan terus merosot. Kelompok minoritas di akar rumput dan gerakan masyarakat sipil bakal kian terjepit.
Jokowi, Anies Baswedan, dan aktor lain telah memainkan kartu politik—melawan tindakan iliberal dengan aksi iliberal lain—seraya mengabaikan rakyat yang membutuhkan perlindungan dari bahaya pandemi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo