Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAKIM Pengadilan Negeri Jakarta Pusat semestinya mempertimbangkan pendapat ahli dari utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menangani gugatan warga negara atas terjadinya polusi udara. Sebanyak 32 penduduk Jakarta menggugat tujuh pihak yang dianggap bertanggung jawab atas pencemaran udara di Ibu Kota pada tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
David R. Boyd, pelapor khusus PBB dan ahli lingkungan di University of British Columbia, Kanada, mengirim pendapat ahli (amicus curiae) kepada pengadilan pada 15 November 2020. Dalam surat bertanggal 9 Oktober, ia menilai hakim tak kunjung memutuskan gugatan itu kendati sudah berjalan 16 bulan. Boyd meminta hakim menimbang putusan berdasarkan hak asasi dan yurisprudensi negara lain dalam mengabulkan gugatan warga sipil atas kewajiban pemerintah menyediakan udara bersih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Boyd, gugatan penduduk Jakarta bukan tanpa basis ilmiah. Pengukuran udara kotor Jakarta bisa dengan mudah kita lihat pada alat pemantauan yang tersebar di sudut-sudut kota. Peralatan tersebut terhubung ke aplikasi AirVisual yang bisa diakses melalui telepon seluler. Maka tak ada alasan bagi hakim menunda-nunda putusan agar pemerintah Jakarta segera bertindak menghalau polusi.
Amicus curiae—dari bahasa Latin yang berarti “sahabat pengadilan”—merupakan intervensi kelompok atau individu yang tak terlibat dalam perkara tapi memiliki kepentingan kuat untuk membantu menemukan keadilan. Praktik ini biasa dilakukan di negara-negara penganut sistem hukum Anglo-Saxon. Indonesia yang menganut sistem Kontinental belum mengaturnya, tapi sebenarnya sudah diakui oleh hukum positif, seperti Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Amicus curiae terakhir dilayangkan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada 21 September 2020. Mereka meminta hakim membatalkan surat pengantar Presiden Joko Widodo atas naskah Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja ke Dewan Perwakilan Rakyat. Singkat kata, surat Boyd bukan hal baru dan selayaknya menjadi bahan pertimbangan majelis hakim.
Para hakim perlu menaruh perhatian lebih besar pada isu-isu lingkungan, termasuk pencemaran udara. Udara bersih adalah hak setiap orang meski pemerintah terus menggenjot pembangunan fisik, yang sering kali makin mempersempit ruang hijau di suatu kota. Gugatan warga sipil kepada penyelenggara negara—dikenal dengan citizen lawsuit—atas polusi di Ibu Kota perlu digunakan untuk memastikan hak atas udara bersih itu dipenuhi.
Sumber polusi Jakarta datang antara lain dari 17 juta kendaraan sehari yang memadati 7.000 kilometer panjang jalan Ibu Kota. Emisi yang terbuang ke udara dari pembakaran semua kendaraan itu setahun sebanyak 182 juta ton setara CO2. Artinya, Jakarta butuh 6,4 juta pohon trembesi untuk menyerapnya.
Penghijauan, rekayasa lalu lintas, dan kebijakan mewajibkan industri memakai sumber energi ramah lingkungan adalah cara-cara terbaik mengurangi polusi. Kota Beijing di Cina atau Fukuoka di Jepang sukses memakai tiga cara ini untuk mengurangi polusi. Gerakan ibu-ibu di Fukuoka pada 1965 berlanjut hingga kini dalam mendorong kebijakan ramah lingkungan hingga kota terkotor di dunia itu mendapat penghargaan PBB sebagai kota terbersih pada 1995.
Nyanyian “Aozora ga Hoshii” (“Kembalikan Langit Biru Kami”) kini menjadi lagu wajib di sekolah. Sama seperti di Beijing, pemerintah Fukuoka memaksa industri otomotif, pabrik keramik, hingga industri baja beralih ke sumber energi hijau dan bahu-membahu menyediakan dana untuk membersihkan kota dari jelaga. Selain mempertimbangkan pendapat David R. Boyd, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebaiknya belajar dari kota-kota itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo