Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Universitas Negeri Semarang, ironi pendidikan terlihat begitu nyata. Kampus yang seharusnya memberi tempat seluas-luasnya bagi kebebasan berpendapat, termasuk hak menyampaikan kritik, justru memberangusnya. Ironi itu mengorbankan bukan hanya Frans Josua Napitu, mahasiswa Fakultas Hukum 2016 di universitas itu, tapi juga masa depan kebebasan akademik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Frans selalu bersikap kritis dalam isu-isu kemahasiswaan dan hak asasi manusia. Ia lantang menolak rasisme terhadap orang-orang Papua. Ia juga aktif berunjuk rasa menuntut kampus mengembalikan separuh biaya kuliah karena, selama pandemi, mahasiswa diharuskan belajar dari rumah. Pada 13 November lalu, ia melaporkan Fathur Rokhman, rektor universitasnya, ke Komisi Pemberantasan Korupsi dengan tuduhan pengelolaan keuangan kampus tak wajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alih-alih menanggapi tuduhan mahasiswanya secara transparan, pemimpin universitas menjatuhkan sanksi kepada Frans. Ia dilarang mengikuti perkuliahan selama enam bulan. Mahasiswa kritis itu dituduh terlibat Organisasi Papua Merdeka yang “mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Tuduhan stigmatis itu akal-akalan saja. Patut diduga, kampus hanya menggunakannya untuk membungkam sikap kritis Frans. Patut disebutkan, laporan Frans ke komisi antikorupsi dilindungi hukum. Pasal 41 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak boleh menutup mata terhadap sepak terjang Fathur Rokhman. Ini bukan pertama kalinya dia menggunakan pendekatan politis untuk memberangus suara berbeda. Pada Februari lalu, dia membebastugaskan dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa di Fakultas Bahasa dan Seni, Sucipto Hadi Purnomo, dengan tuduhan membuat ujaran kebencian dan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo melalui akun Facebook. Dalam status yang diunggah pada 10 Juni 2019, Sucipto menulis, “Penghasilan anak-anak saya menurun drastis pada lebaran kali ini. Apakah efek Jokowi yang terlalu asyik dengan Jan Ethes?”
Ironi di Universitas Negeri Semarang sebenarnya hanya satu dari banyak tanda menurunnya kualitas perguruan tinggi dalam menjaga kebebasan akademik. Sejumlah universitas negeri lain pun mengekang kegiatan mahasiswa yang dianggap kritis terhadap pemerintah. Mei lalu, Universitas Gadjah Mada membatalkan diskusi ilmiah tentang teori pemakzulan presiden.
Pemimpin perguruan tinggi tidak sepatutnya menganggap orang-orang yang bersikap kritis, baik mahasiswa maupun dosen, sebagai musuh. Kampus justru semestinya menjadi tempat bagi tumbuhnya berbagai pemikiran, termasuk kebebasan mempertanyakan hal-hal yang sudah dianggap sebagai kebenaran bersama.
Rektor bukanlah alat politik pemerintah. Jabatan ini tidak boleh digunakan secara pribadi untuk menekan pihak lain di kampus yang memiliki pendapat berbeda. Tanpa kebebasan berpikir dan berpendapat, kampus hanya menjadi tempat mahasiswa memperoleh ijazah kelulusan. Mahasiswa kritis seperti Frans Josua Napitu pun tersingkir dan bisa kehilangan masa depannya.
Pemimpin Universitas Negeri Semarang seharusnya segera mencabut sanksi untuk Frans. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu turun tangan memastikan hak mahasiswa itu tak tercerabut dengan sewenang-wenang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo