Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Presiden Joko Widodo tidak melarang mudik Lebaran 2020 di tengah Covid-19 menunjukkan sikap tak tegas pemerintah dalam menangani pandemi corona. Menganjurkan orang ramai tak pulang kampung tapi tak memberlakukan pelarangan merupakan sikap mendua, takut salah, dan tak berani mengambil risiko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi orang kecil, selain didorong tradisi tahunan, mudik barangkali akan memberikan rasa aman. Bagi mereka, hidup di kampung lebih baik ketimbang bertahan di Ibu Kota pada masa yang sulit ini. Tapi hendaknya disadari bahwa mudik Lebaran bisa memperburuk keadaan karena berpotensi menimbulkan ledakan jumlah penderita baru. Anjuran pemerintah agar pemudik mengisolasi diri selama 14 hari setiba di kampung merupakan kebijakan yang asal bunyi—sesuatu yang sulit diawasi pelaksanaannya sehingga sangat mungkin tak dituruti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rapat terbatas di Istana Negara pada Senin, 30 Maret lalu, Jokowi sebenarnya telah menyatakan mudik dapat memperbesar risiko penyebaran corona. Ia meminta kepala daerah tegas melarang mudik. Entah angin dari mana yang membuatnya berbelok arah. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan belakangan mengatakan mudik tak dilarang agar ekonomi tidak mati.
Kebijakan tak melarang mudik juga bertolak belakang dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar. Tradisi tahunan mudik selalu diwarnai kerumunan, antrean, kemacetan, dan interaksi sosial yang besar. Tahun lalu, setidaknya 23 juta orang pulang kampung. Umumnya berasal dari Jakarta—episentrum penyebaran corona.
Insiden “salah omong” juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, perihal mudik menambah kisruh keadaan. Pernyataan Fadjroel bahwa pemerintah tidak melarang mudik belakangan diralat Menteri Sekretaris Negara Pratikno, yang mengatakan pemerintah menganjurkan masyarakat tak mudik. Fadjroel dan Pratikno bisa sama-sama benar atau sama-sama salah. Yang pasti, keduanya berpijak pada keputusan yang mendua.
Belum terlambat bagi Presiden untuk mengoreksi diri. Pandemi corona hanya dapat diatasi melalui kepemimpinan yang kuat, yakni yang tegas dalam mengambil keputusan, dipercayai masyarakat, dan mampu menginisiasi solidaritas sosial.
Presiden seyogianya merangkul kepala daerah agar kompak bekerja sama. Buang jauh-jauh pikiran memanfaatkan pandemi ini demi mendapat keuntungan politik sesaat. Jika ada kepala daerah yang berpikir dan bertindak demikian, Presiden tak perlu ragu bertindak: mengingatkan mereka bahwa pemerintah pusat dan daerah kini tengah berjuang menyelamatkan nyawa rakyat banyak.
Jokowi mesti merapatkan barisan. Setelah pemerintah mengeluarkan aturan tentang pembatasan sosial berskala besar, kini Kementerian Kesehatan memang telah merilis aturan turunan. Tanpa itu, tak ada rambu yang bisa memastikan mana daerah yang boleh melakukan karantina wilayah dan mana yang tidak. Kementerian Kesehatan selayaknya tidak birokratis dalam menjalankan aturan tersebut.
Semua kementerian mesti bahu-membahu bekerja sama. Menteri yang lamban selayaknya dipecat saja. Kepercayaan Presiden kepada sejumlah kementerian—di antaranya Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara—dalam menangani Covid-19 tentu boleh-boleh saja. Tapi tidak maksimalnya kinerja kementerian lain harus segera diatasi—jika Jokowi tidak ingin disebut gagal mengelola anak buahnya sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo