Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Barbar

Politisasi kata “barbar” bisa dipakai untuk melihat betapa besarnya kekuatan sebuah kata.

4 April 2020 | 00.00 WIB

Barbar
Perbesar
Barbar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Anindita S. Thayf*

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

DALAM buku Orientalisme karya Edward W. Said, Barat menggambarkan Timur sebagai “...gerombolan orang barbar yang kesetanan dan patut dibenci”. Kata “barbar” dalam tulisan Said sesuai dengan pengertian yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu “tidak beradab”. Sedangkan dalam Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko, kata “barbar” disinonimkan dengan “biadab, keji, liar, primitif; vulgar”. Pemaknaan itu melenceng dari pengertian awalnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Umberto Eco, dalam esainya, “Bahasa-bahasa Firdaus”, mengungkapkan awal mula lahirnya kata “barbar”. Menurut dia, “barbar” merupakan istilah ciptaan orang-orang Yunani yang berhubungan dengan bahasa di luar bahasa Yunani. Secara etimologis, menurut Eco, “barbar” bermakna “orang yang gagap, yang tidak memiliki bahasa”. Bangsa Yunani memandang bahasa mereka lebih unggul daripada bahasa lain, terutama bahasa dari bangsa-bangsa yang berada di seberang samudra. Orang-orang “barbar” yang dimaksudkan orang-orang Yunani adalah orang Persia dan Asia lainnya. Di mata bangsa Yunani, mereka itulah orang yang mengalami gangguan bahasa alias gagap.

Sebagaimana digambarkan dalam The Persians, sandiwara karya Aeschylus, bangsa Yunani pernah terlibat perang dahsyat dengan bangsa Persia. Kebencian bangsa Yunani kepada bangsa itu membuat mereka dianggap pantas diejek gagap. Apa yang dilakukan orang-orang Yunani tersebut bisa dilihat sebagai upaya awal untuk membuat garis batas antara “kami” dan “mereka”, antara pengguna bahasa Yunani dan pengguna bahasa non-Yunani, antara orang Yunani dan liyan.

Semangat orang Yunani membuat kata “barbar” serupa dengan semangat orang Indonesia membuat ejekan “cebong” dan “kampret”. Bedanya, sejak awal kata “barbar” bertujuan mengejek, sementara kata “cebong dan “kampret” dibuat dengan cara menurunkan nilai suatu kata yang sudah ada. Semula, kata “cebong” dan “kampret” bersifat netral, tapi berubah menjadi negatif ketika dibebani kebencian politis. Oleh para penggunanya, kedua kata ini dipakai untuk menyerang lawan politik masing-masing. Segregasi dalam masyarakat pun tercipta. Bila hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kata “cebong” dan “kampret” yang bermakna konotatif ini akan terwariskan sebagaimana kata “barbar”.

Politisasi kata “barbar” bisa dipakai untuk melihat betapa besarnya kekuatan sebuah kata. Hanya dengan satu kata, pembenaran atas sebuah tindakan, sebagaimana yang terjadi pada era kolonialisme, dapat berlangsung lama, bahkan terus terpelihara. Kala itu, kapitalisme sedang tumbuh pesat di Eropa.

Sejak Columbus memulai perjalanannya mencari dunia baru, “kami” bukan lagi orang-orang Yunani, tapi telah berubah menjadi “Barat”. Sementara itu, “mereka” bukan lagi orang yang tidak berbahasa Yunani, tapi telah berubah menjadi “Timur”. Barat yang superior, dalam era imperialisme, berusaha menaklukkan Timur. Usaha Barat untuk mengeksploitasi Timur dibungkus dengan dalih pemberadaban karena, sebagaimana ditulis Said, Timur merupakan “gerombolan orang barbar”.

Pada era kolonialisme itulah Barat mencitrakan Timur sesuai dengan kepentingan mereka. Barat menganggap dirinya rasional, sementara Timur dinilai irasional. Barat menggambarkan dirinya sebagai bangsa yang beradab, sedangkan Timur adalah bangsa barbar. Di sinilah kita bisa melihat bahwa pengertian sebuah kata bisa bertautan dengan tujuan penaklukan dari pihak yang berkuasa sebagaimana yang terjadi pada era kolonialisme.

Setelah melewati zaman, kata “barbar” masih bertahan. Kendati tidak lagi digunakan dalam hal yang berhubungan dengan penaklukan, pengertian kata “barbar”, baik dalam Kamus Besar maupun Tesaurus Bahasa Indonesia, ternyata tetap mengikuti pengertian ala era kolonial—yang diam-diam menyimpan semangat diskriminasi.

Pada hari ini, kata “barbar” memang telah bersifat lebih netral. Ia bisa ditujukan kepada siapa saja tanpa mengenal suku, agama, bangsa, atau ras. Kita bisa menyebut perilaku tentara Amerika Serikat yang melakukan tindakan keji dan biadab dalam Perang Teluk sebagai perilaku barbar. Kita bisa pula menyebut aksi seorang ayah yang memerkosa anak kandungnya lantas membunuh si anak sebagai tindakan barbar. Namun penggunaan kata ini, juga kata-kata lain, bisa saja kembali negatif, atau berubah menjadi negatif, ketika kepentingan politik dibiarkan meracuninya sebagaimana halnya “cebong” dan “kampret”.

Dari kata “barbar” tampak bagaimana perkembangan makna sebuah kata bisa berubah sesuai dengan konstruksi sosial—perubahan yang tidak jarang digunakan demi kepentingan politik untuk membenarkan sebuah tindakan. Satu bukti lagi bahwa bahasa tidak pernah berada di ruang hampa.

*) NOVELIS, ESAIS
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus