Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH seharusnya tak kebakaran jenggot ketika produksi (lifting) minyak dari Blok Rokan menurun tajam. Keputusan Chevron Pacific Indonesia, sebagai operator blok minyak di Provinsi Riau tersebut, untuk tidak melakukan eksplorasi atau mengeluarkan investasi baru atas blok terbesar di Indonesia itu semestinya sudah bisa diduga sejak awal. Apalagi Pertamina, yang akan menjadi operator anyar di sana, baru bisa mengebor pada Agustus 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penurunan lifting ketika pemerintah memutuskan mengambil alih sebuah blok migas bukan hanya kali ini terjadi. Sebelumnya, ketika mengambil alih Blok Madura Barat dan Blok Mahakam, Pertamina menghadapi problem yang sama. Hanya, karena produksi Rokan sangat signifikan—sepertiga produksi minyak Indonesia—dampaknya pada penerimaan negara jadi sangat besar. Itu sebabnya SKK Migas, sebagai penanggung jawab kegiatan hulu minyak dan gas, buru-buru meminta Pertamina segera berinvestasi untuk mencegah penurunan produksi yang lebih dalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum masa peralihan, produksi Rokan pada 2018 rata-rata mencapai 200 ribu barel per hari. Namun, setelah pemerintah memutuskan Chevron tak lagi menjadi operator pada 2021, produksi rata-rata per hari pada tahun ini diperkirakan anjlok menjadi hanya sekitar 160 ribu barel. Penurunan produksi ini bahkan bisa berlanjut hingga 2022 karena pembangunan rig baru setidaknya membutuhkan waktu 8-10 bulan. Selain itu, Pertamina harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli zat kimia yang patennya dimiliki Chevron. Zat aditif ini penting untuk menggenjot produksi minyak dari sumur-sumur tua di Rokan.
Berkurangnya penerimaan negara dari Blok Rokan seharusnya sudah dihitung sejak pemerintah memutuskan pergantian operator di sana. Chevron tidak berinvestasi lagi sejak 2018 karena masa kerjanya tak sampai dua tahun, sementara modal tersebut baru bisa balik paling cepat lima tahun. Jaminan penggantian biaya recovery semata tak akan menarik karena para operator pasti juga menginginkan return (imbal balik) dari investasi mereka. Akibatnya, pemerintah kehilangan potensi pendapatan hingga jutaan dolar.
Alih kelola ladang-ladang migas dari investor asing memang isu politis nan seksi untuk menarik hati khalayak ramai. Para politikus kerap mendorong isu soal pentingnya kekayaan negara dikelola perusahaan nasional tanpa menimbang dampaknya bagi penurunan pendapatan negara. Bukan hanya minyak dan gas, melainkan juga emas, perak, dan tembaga, seperti dalam kasus tambang emas Freeport di Papua. Isu ini biasanya mengemuka pada saat pemilihan presiden, termasuk pada 2019. Jargon nasionalisme bergaung di mana-mana.
Isu nasionalisasi aset-aset ini jelas mengesampingkan hitung-hitungan teknis dan bisnis. Setelah operator asing kehilangan blok-blok migas itu, keuntungan mereka tak otomatis pindah ke Pertamina. Di Blok Rokan, selain harus menyiapkan dana cukup besar untuk kegiatan eksplorasi, Pertamina mesti membayar bonus penandatanganan kontrak baru sebesar Rp 11,3 triliun. Semua biaya ini membuat masa balik modal pasti akan lama. Apalagi, dalam kasus Rokan, Pertamina perlu bekerja ekstrakeras untuk mencari ladang-ladang baru agar produksinya tetap tinggi.
Ke depan, pengelolaan ekonomi harus benar-benar berdasarkan kalkulasi bisnis yang paling menguntungkan negara. Jargon nasionalisme yang mentereng di panggung kampanye tapi membuat kas negara bolong mesti dibuang jauh-jauh. Jika tidak ada perubahan yang signifikan dari praktik alih kelola semacam ini, Indonesia akan terus-menerus kehilangan potensi pendapatan yang cukup besar di masa mendatang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo