Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRINSIP altruisme yang disebarkan hingga ke penjuru dunia membutuhkan bahasa untuk bergerak. Saat ini, di tengah wabah Covid-19, bahasa mengukuhkan posisi personal di tengah kehidupan komunal. Orang-orang mengajukan diri berada bersama pihak yang terkena dampak, tidak berdaya, dan lapar. Ramailah bantuan, sumbangan, donasi, derma, lelang amal, ataupun solidaritas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Donasi sepertinya sedang mendapat posisi terhormat yang bertaut dengan status kelas penutur sekaligus kuasa teknologi yang menopangnya. Donasi terdengar berkelas dibanding bantuan atau sumbangan dan dalam beberapa kasus sering menempatkan pemberi sebagai sang superior secara iman dan finansial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Donasi cenderung membaurkan pendonasi dalam anonimitas. Hal ini bukan sekadar urusan nama disamarkan. Lumrahnya, nama pemberi donasi dan angka nominal pemberiannya tetap didata. Anonimitas lebih menunjukkan ketidakterbatasan geografis dan identitas. Siapa pun bisa berdonasi, tanpa melihat apakah dia kaya, sukses berbisnis, rajin beribadah, dan sebagainya. Ruang donasi biasanya tidak langsung mengimajinasikan uang atau barang dalam bentuk senyata-nyatanya. Terkadang tata cara menghimpun dan mendistribusikannya lebih mengesahkan pemberian disebut donasi.
Ada perubahan dari makna memberi-menerima yang cenderung dipersepsikan secara teologis. Pihak kaya selalu memberi, sedangkan kaum miskin mutlak menerima. Saat menghadapi donasi yang tengah digayakan selebritas dunia, daya altruisme dan gaya hidup global menjadi penopangnya. Tabloid Nyata edisi April 2020 mewartakan tantangan berdonasi All in Challenge yang melibatkan antara lain Justin Bieber, Gwyneth Paltrow, dan Leonardo DiCaprio. Donasi itu tantangan, apalagi di tengah wabah.
DiCaprio, misalnya, meluncurkan America's Food Fund untuk menghadapi krisis pangan. Pendonasi mujur punya peluang berakting sebagai figuran dan makan siang bersama DiCaprio. Bukan soal besarnya hasil yang didapatkan, donasi harus menciptakan sikap atau gaya berbagi dalam jangka panjang secara massal.
Selebritas Indonesia punya gaya berbagi yang dibahasakan dengan istilah “lelang amal”. Penekanan “amal” setelah “lelang” menandai peralihan dari kepemilikan personal ke kepentingan kolektif. Namun sulit menampik paradoks konsumerisme selebritas. Tidak sembarang benda dilelang untuk amal.
Dian Sastro, misalnya, melelang delapan sneakers kesayangan yang masih bagus. Di sini, lelang amal mengaburkan tindakan berdonasi dan menang lelang. Yang diingat publik tentu bukan orang-orang yang memenangi lelang untuk berdonasi, melainkan selebritas yang murah hati nan rela kehilangan sedikit koleksi berharganya.
Dari Yogyakarta, kita mendapati istilah kultural kekeluargaan berkadar ideologis: “solidaritas” dari dapur umum Solidaritas Pangan Jogja. Tempo edisi 27 April-3 Mei 2020 mewartakan bahwa Solidaritas Pangan Jogja membagikan nasi bungkus, bahan pokok harian, vitamin, dan masker, yang digerakkan relawan dari kalangan mahasiswa dan Aliansi Rakyat Bergerak yang sebelumnya menolak undang-undang ganjil dalam aksi “Gejayan Memanggil”.
Bahasa solidaritas menggerakkan rakyat bertindak untuk rakyat. Bahasa ditopang orang-orang yang terpinggirkan secara sosial dan politik. Apalagi Solidaritas Pangan Jogja sempat didatangi polisi yang meminta daftar relawan dan memaksa memotret aktivitas dapur atas nama ketertiban. Bagi pemerintah yang takut dan represif, solidaritas damai dari bawah lewat pangan semacam ini dianggap membahayakan dan terorganisasi secara politis. Bahasa solidaritas malah tidak menenangkan.
Dalam altruisme kerakyatan sampai global, sepertinya pemerintah masih kurang kreatif menggarap bahasa. Pemerintah tetap menggunakan istilah resmi dan administratif “bantuan sosial”. Ganjilnya, meski “bantuan” dikuatkan dengan “sosial”, masih saja ada pihak yang mempolitisasi bantuan, seperti kasus cairan pembersih tangan dari Kementerian Sosial yang ditimpa stiker pencitraan politik Bupati Klaten.
Namun, melihat betapa berkuasanya pemerintah memegang tanggung jawab kepada setiap warga negara, istilah “bantuan” menjadi aneh. Bukankah pemerintah memang wajib memenuhi kesejahteraan, tidak sekadar membantu, yang kesannya sukarela, belum ajek, dan kondisional? Bahkan istilah “bantuan sosial” pun sering hanya dijadikan alat untuk menyampaikan heroisme pemberi bantuan. Belum membanggakan kalau pemerintah cuma membantu.
Bagi dunia yang makin tumbuh dengan keberagaman, berbagi memang keren sekaligus membutuhkan bahasa yang keren pula. Bahasa harus menantang, berdampak, dan berselera kebaikan global.
SETYANINGSIH*
*) ESAIS, PENULIS BUKU KITAB CERITA (2019)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo