Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRAGEDI Coronavirus Disease 2019 di India sekarang hadir di depan mata kita. Di negeri ini, hidup-mati ribuan orang yang terinfeksi virus corona kini bergantung pada nasib: bisa memperoleh layanan kesehatan atau tidak. Banyak kisah soal pasien yang menderita di selasar atau halaman rumah sakit, bahkan kehilangan nyawa, sebelum mendapatkan perawatan. Negara ini sedang dalam ujian untuk “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam kondisi gawat gelombang kedua pandemi ini, pemerintah tidak boleh kehilangan akal. Setiap keputusan sudah seyogianya tetap berdasarkan pertimbangan kesehatan yang ilmiah. Pendekatan lain, termasuk soal ekonomi dan politik, perlu dikesampingkan. Menyelamatkan nyawa banyak orang adalah prioritas utama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap semacam itu yang kini ditunggu khalayak di tengah pro dan kontra soal ivermectin. Kita tahu banyak orang berburu ivermectin di tengah kepanikan setelah meledaknya angka penularan Covid-19 dalam dua pekan terakhir. Masyarakat yang panik, dihadapkan pada soal hidup-mati, dan kemudian berburu obat yang dianggap mujarab, tentu tak bisa disalahkan. Apalagi beredar informasi bahwa ivermectin manjur untuk pengobatan Covid-19 di sejumlah negara. Dengan permintaan melonjak di pasar, harga obat itu melambung tak terkendali.
Ivermectin sebenarnya merupakan obat antiparasit yang diperkenalkan pada 1981. Penemunya Satoshi Omura dari Kitasato University, Jepang, dan William Campbell dari Merck. Pada 2015, keduanya mendapat Nobel di bidang kedokteran untuk penemuan ini. Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah memberikan izin peredarannya sebagai obat anticacing dan pekan lalu menyetujui uji klinis untuk memeriksa khasiatnya sebagai obat Covid-19. Lembaga itu juga mewanti-wanti bahwa ivermectin adalah obat keras, dapat diperoleh hanya dengan resep dokter.
Di sinilah kepentingan non-kesehatan mulai muncul. Sejumlah pebisnis berusaha mengambil keuntungan lewat jalur belakang. Mereka bersiasat memotong jalan perizinan melalui pejabat-pejabat penting agar bisa memasarkan ivermectin sebagai obat Covid. Sebagian elite menambah kisruh dengan berbagai aksi pembagian ivermectin untuk tujuan politis. Perusahaan negara pun bermain di wilayah abu-abu. PT Indofarma Tbk menggenjot produksi Ivermectin 12 Mg sebanyak 4 juta tablet per bulan meski tahu persis warga tak akan memakainya sebagai obat cacing. Sikap pejabat pemerintah terbelah. Mereka yang panik menghadapi eskalasi pandemi diam-diam mendorong penggunaan ivermectin sebagai obat Covid.
Berbagai manuver semacam itu tidak akan membantu menyelesaikan persoalan. Selain menambah kegaduhan dan kebingungan masyarakat, lobi-lobi di ruang tertutup akan mengganggu independensi BPOM. Demi keselamatan orang banyak, lembaga tersebut tidak boleh diintervensi dengan kepentingan apa pun dari siapa pun.
Seperti yang sudah dia tunjukkan dalam kasus Vaksin Nusantara, Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito perlu kembali menunjukkan ketegasannya. Dia harus menolak perintah serampangan pejabat pemerintah yang ingin segera mengesahkan ivermectin sebagai obat Covid. Sebaliknya, BPOM pun harus bersikap sama jika ada perusahaan farmasi yang ingin memperlambat bahkan menggagalkan uji klinis ivermectin. Kemungkinan itu bisa saja terjadi jika ada perusahaan farmasi yang khawatir bisnis mereka terancam akibat kemunculan obat generik yang murah dan cespleng membasmi pandemi.
Masalah lain adalah waktu. Uji klinis ivermectin sebagai obat Covid memerlukan waktu sedikitnya enam bulan. Pekan lalu, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan baru menyepakati protokol riset bersama lima rumah sakit yang menjadi lokasi penelitian. Artinya, paling cepat awal tahun depan kita baru tahu apakah ivermectin bisa dipakai sebagai obat Covid.
Karena itu, sembari menanti hasil uji klinis yang dilakukan atas ivermectin, BPOM perlu terus mencari rujukan riset serupa di negara lain. Seperti pengalaman dengan sejumlah vaksin Covid-19, termasuk Sinovac, jika ada riset yang konklusif di negara lain yang sesuai dengan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), BPOM bisa menerbitkan izin penggunaan untuk masa darurat (emergency usage authorization) untuk ivermectin. Penegasan BPOM bahwa ivermectin tetap bebas beredar selama digunakan dengan resep dokter dan didistribusikan melalui apotek perlu didukung.
Di tengah pagebluk, inkonsistensi kebijakan antarpejabat dan kemunculan penumpang gelap bermotif ekonomi-politik hanya akan menambah ruwet situasi. Hanya dengan pendekatan kesehatan, negara bisa melindungi warganya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo