Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AUDIT Badan Pemeriksa Keuangan menegaskan kacaunya tata kelola penyaluran bantuan Covid-19 oleh pemerintah pada 2020. Meski mendapatkan status wajar tanpa pengecualian, aneka bantuan itu terbukti menyandang banyak kelemahan. Apalagi Komisi Pemberantasan Korupsi pun telah menemukan pelanggaran pidana yang membuat Juliari Peter Batubara, Menteri Sosial 2019-2020, kini diajukan ke pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan-persoalan yang tercantum dalam hasil audit semestinya tidak terjadi bila pemerintah sejak awal mengedepankan prinsip kehati-hatian. Sedarurat apa pun kondisi wabah, pemerintah tidak boleh mengabaikan akuntabilitas penyaluran bantuan. Nyatanya, pemerintah belum menyusun mekanisme pelaporan keuangan negara untuk menangani dampak pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan pemerintah pusat 2020 yang baru saja disampaikan, realisasi insentif dan sejumlah fasilitas perpajakan dalam program pemulihan ekonomi nasional disebut banyak salah sasaran. Penyimpangan juga terjadi pada belanja penanganan Covid-19 senilai Rp 9 triliun di sepuluh kementerian dan lembaga. Ironisnya, lebih dari setengah belanja yang menyimpang untuk korban pagebluk Covid-19 terjadi di Kementerian Sosial.
Audit BPK menemukan indikasi penggelembungan harga dalam proses pengadaan barang dan jasa pada program bantuan presiden bahan kebutuhan pokok. Harga pembelian beras premium, misalnya, melebihi harga eceran tertinggi di pasar. Ini terjadi karena pejabat pembuat komitmen tidak mengklarifikasi harga dan volume yang disodorkan perusahaan rekanan. Akibatnya: harga yang disodorkan oleh penyedia bantuan presiden sebesar Rp 3,86 triliun tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Laporan hasil pemeriksaan tahap pertama penggunaan dana Covid-19 juga menemukan bahwa ratusan miliar rupiah bantuan sosial Program Keluarga Harapan tidak tepat sasaran. Banyak penerima manfaat yang sebelumnya bermasalah kembali ditetapkan sebagai penerima bantuan. Pada saat yang sama, ratusan ribu penerima malah belum bisa memanfaatkan bantuan sosial. Sayangnya, alokasi anggaran bantuan sosial yang tidak tersalurkan belum dikembalikan ke kas negara.
Penerima bantuan bagi pelaku usaha mikro yang terkena dampak wabah juga ditengarai melenceng dari kriteria. Tak sedikit dari mereka yang menerima uluran bantuan malah berstatus tentara, polisi, hingga karyawan badan usaha milik negara dan daerah. Bantuan ini juga mengalir kepada mereka yang sudah meninggal. Salah sasaran juga terjadi pada bantuan subsidi upah di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Temuan serupa terjadi di sejumlah kementerian lain. Pelbagai penyimpangan ini bisa mengarah pada perbuatan korupsi.
Pemerintah Joko Widodo semestinya belajar dari program sebelumnya. Dalam penyaluran program dana desa, kecenderungan mengabaikan akuntabilitas justru membuka celah terjadinya praktik korupsi. Alih-alih memeratakan pembangunan, alokasi dana desa malah menjadi bancakan bupati dan kepala desa. Mereka bisa berpesta pora karena lemahnya pengawasan dan pertanggungjawaban. Ini sekaligus bukti bahwa birokrasi di Indonesia masih menjadi salah satu biang korupsi.
Temuan mutakhir BPK bisa menjadi pintu masuk pengusutan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi seharusnya tidak berhenti pada kasus bantuan sosial yang melibatkan Juliari Batubara. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 memang menyebutkan pejabat yang berkaitan dengan pelaksanaan penanganan pandemi Covid-19 tidak dapat dituntut perdata ataupun pidana. Tapi bukan berarti mereka yang menggangsir dana bisa melenggang dari jerat pidana.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo