Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Amatir Mengurus Niaga Gula

Kementerian Perdagangan telat meneken izin impor gula yang diagendakan sejak akhir 2019. Berpotensi mengganggu perekonomian.

15 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELANGKAAN pasokan gula untuk kebutuhan industri pada awal 2020 makin menunjukkan pemerintah tak pernah becus mengurus komoditas bahan pangan strategis ini. Gagal mencapai target swasembada gula, kabinet ekonomi periode kedua Presiden Joko Widodo pun telat mengeluarkan perizinan impor. Keteledoran ini bisa menjadi persoalan besar bagi perekonomian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rencana impor gula telah diputuskan dalam rapat di Kementerian Koordinator Perekonomian, September 2019, pada era Menteri Darmin Nasution. Lazimnya, realisasi impor diagendakan pada akhir tahun. Kebutuhan impor kali ini cukup tinggi lantaran kemarau panjang pada 2019 diprediksi mengurangi rendemen tebu hingga kemudian menggerus produksi gula pada 2020. Gula impor semestinya mulai masuk Januari lalu untuk menambah stok awal tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabinet berganti dan rencana impor tak kunjung berlanjut. Permohonan yang diajukan para importir sejak triwulan terakhir 2019 menumpuk di kantor Kementerian Perdagangan. Hingga Januari 2020, lampu hijau untuk mendatangkan gula dari negara lain tak kunjung keluar. Penyebabnya sungguh ajaib: izin belum juga diteken lantaran sepanjang bulan itu Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pergi umrah dan kemudian melawat ke pertemuan Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss.

Dampaknya, pasokan gula menipis, hanya cukup untuk kebutuhan selama dua pekan. Industri makanan dan minuman berteriak kencang. Sebagian usaha kecil dan menengah berbahan baku gula di beberapa daerah berhenti berproduksi tak kebagian pasokan. Kelangkaan gula ini, jika tak segera diatasi, juga berpotensi mengganggu persiapan industri dalam mengantisipasi kenaikan permintaan pada Ramadan dan Lebaran, Mei nanti.

Indonesia memang tak bisa menghindar dari impor gula. Produksi dalam negeri hanya bisa menutup kurang dari separuh kebutuhan gula nasional, baik untuk konsumsi maupun industri, yang mencapai 5,5 juta ton per tahun. Sejak tahun lalu, pemerintah juga lempar handuk mengejar target swasembada gula pada 2020—belakangan diundurkan ke 2024—lantaran revitalisasi dan pembangunan pabrik gula baru tak kunjung terlaksana.

Pemerintah semestinya tak menggampangkan masalah rantai pasok gula. Minimnya stok telah mendongkrak harga gula kristal rafinasi dari biasanya Rp 8.000 menjadi Rp 9.000 per kilogram. Bisa diperkirakan, pengusaha tak lama lagi menaikkan harga produk mereka untuk mengkompensasi pembengkakan beban produksi. Pada sisi lain, lonjakan harga gula untuk bahan baku industri mulai menular ke gula untuk konsumsi, yang sebulan terakhir terus merangkak naik hingga mencapai Rp 14.500 per kilogram.

Kondisi ini, jika dibiarkan, bisa membuat upaya menjaga inflasi serendah mungkin—tahun ini ditargetkan hanya 3,1 persen—berantakan. Harga komoditas strategis yang meroket sangat berisiko bagi perekonomian pada hari-hari ini. Sebab, Indonesia perlu menjaga konsumsi masyarakat tetap tinggi untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Gejolak ekonomi dunia telah membuat komponen pertumbuhan lain, yakni investasi dan perdagangan internasional, lesu darah sejak tahun lalu.

Presiden Jokowi harus mengevaluasi kinerja para menterinya dalam persoalan ini. Sistem kuota impor, model perizinan yang membagi jatah pengusaha dalam mendatangkan gula dan komoditas pangan lain dari luar negeri, juga tak layak diteruskan. Skema ini terbukti hanya menjadi ladang korupsi, yang pada akhirnya kembali merugikan ekonomi Indonesia lantaran berbiaya mahal. Pemerintah sebaiknya kembali berfokus mendorong produktivitas tebu rakyat dan peningkatan kapasitas penggilingan perusahaan pabrik gula. Tanpa keberpihakan pada petani, iklim usaha tebu rakyat tidak akan berkembang. Target baru swasembada gula lima tahun ke depan bisa jadi hanya gagah di atas kertas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus