Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH DKI Jakarta bertindak serampangan dengan menebangi ratusan pohon di sisi selatan kawasan Monumen Nasional (Monas) dengan dalih untuk merevitalisasi area itu. Kebijakan pembangunan ibu kota yang tidak punya perspektif ekologi bisa mengancam kehidupan semua warga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Patut diduga, pemerintah DKI tergesa-gesa merombak lapangan Monas untuk menyiapkan ajang balapan mobil listrik Formula E pada Juli nanti. Belakangan terkuak penebangan pohon dilakukan tanpa izin dari Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka--lembaga yang dipimpin Menteri Sekretaris Negara. Pemerintah DKI juga belum mendapatkan rekomendasi dari tim ahli cagar budaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menebang ratusan pohon di kawasan yang seharusnya menjadi ruang terbuka hijau bukanlah urusan sederhana. Pohon yang sudah berumur puluhan tahun sangat penting bagi kota yang udaranya kian tercemar seperti Jakarta. Sebatang pohon keras berumur 10 tahun bisa memperbaiki kualitas udara dengan menyerap 22 kilogram karbon dioksida dalam setahun. Pohon seumur itu juga rata-rata menghasilkan 118 kilogram oksigen per tahun. Sekadar mengganti pohon yang tumbang dengan pohon baru tak akan menyelesaikan masalah. Perlu waktu sangat panjang untuk memulihkan kembali fungsi ekologis pohon yang telanjur hilang.
Sayangnya, di negeri ini perlindungan pohon dan alam secara keseluruhan memang masih lemah. Di DKI Jakarta, larangan penebangan pohon hanya terselip dalam Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Aturan ini mengancam orang yang menebang pohon tanpa izin dengan pidana kurungan maksimal 180 hari atau denda Rp 50 juta. Tapi aturan ini belum diterapkan secara konsisten.
Larangan menebang pohon di Ibu Kota sejauh ini hanya menjerat warga biasa yang malas mengurus izin. Sedangkan penebangan pohon oleh pemerintah ada di luar jangkauan aturan tersebut. Walhasil, penebangan pohon secara massal pun terus berulang.
Di luar Jakarta, ada peraturan daerah untuk perlindungan pohon dan taman di Kabupaten Malang dan Kota Surabaya, keduanya di Jawa Timur. Namun kedua aturan itu lagi-lagi tak tegas melindungi pohon yang berusia panjang. Penebangan masih dimungkinkan dan cukup diganti dengan penanaman pohon dalam jumlah yang lebih banyak.
Walhasil, tanpa peraturan yang punya perspektif ekologi, tren penebangan pohon dan terus menyusutnya ruang terbuka hijau di perkotaan sulit dikendalikan. Pada 2013, misalnya, 1.260 batang pohon ditebang demi pembangunan jalur moda raya terpadu (MRT) di Jakarta. Lalu, pada 2017, sebanyak 2.551 pohon dibabat demi proyek kereta ringan (LRT). Setahun kemudian, 451 batang pohon kembali digasak untuk pelebaran trotoar di sepanjang Jalan Sudirman-M.H. Thamrin. Dari gubernur ke gubernur, nasib pohon di Ibu Kota selalu merana.
Di tingkat internasional, gerakan untuk mengkriminalisasi perusakan lingkungan sudah lebih maju. Ahli botani asal Amerika, Arthur W. Galston, getol menggunakan istilah ekosida sejak 1996 untuk merujuk pada kejahatan berupa pemusnahan alam yang terstruktur, sistematis, dan masif. Sejak 2010, pengacara Skotlandia, Polly Higgins, bahkan memperjuangkan agar ekosida masuk dalam kejahatan atas kemanusiaan yang bisa diadili di Mahkamah Pidana Internasional.
Artinya, kesadaran bahwa pembangunan ekonomi tak boleh merusak alam sudah diterima di semua belahan dunia. Akan terasa ganjil dan ketinggalan zaman jika paradigma para pengambil kebijakan di negeri ini tak beradaptasi. Perubahan pola pikir itu harus tampak dari hal yang paling sederhana: tak lagi menebang pohon demi pembangunan ekonomi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo