Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BASUKI Tjahaja Purnama adalah kontroversi tiada henti. Setelah pelbagai turbulensi politik yang mengantarkannya ke penjara, kini ia muncul kembali. Bukunya, Panggil Saya BTP: Perjalanan Psikologi Ahok Selama di Mako Brimob, sebuah catatan tentang pengalamannya selama diterungku, diluncurkan pekan ini dan niscaya bakal menyulut perdebatan baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hidup Basuki memang bagai roller coaster. Meniti karier sebagai kepala daerah dan anggota legislatif di Senayan, ia harus berselancar dalam dunia yang penuh muslihat. Sebuah pilihan untuk diperdaya atau memperdaya—politik dalam wajah yang paling banal. Ia berpindah partai, menyerang dan diserang di arena yang—entah disadari entah tidak—sangat berbahaya: politik identitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada mulanya adalah ceramahnya di Kepulauan Seribu di tengah riuh persiapan kampanye pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Kerap dipojokkan sebagai nonmuslim dan nonpribumi, Basuki mengutip Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 51, yang bagi sebagian orang dipercaya sebagai larangan bagi muslim untuk memilih pemimpin beragama Nasrani dan Yahudi.
Tak ada yang salah dengan ceramah itu. Dalam pembelaannya di pengadilan, Ahok—demikian Basuki biasa disapa—mengaku mengutip ayat tersebut karena teringat warga Belitung, Sumatera. Di kota kelahirannya, sebagian warga memuji program kerja dia sebagai bupati, tapi tak memilihnya sebagai kepala daerah karena tak ingin dianggap melanggar ajaran agama.
Selanjutnya adalah drama politik yang sulit kita lupakan: ratusan ribu orang—para penyokong aksi itu ngotot mengklaim angka 7 juta orang—menyemut di lapangan Monumen Nasional menghujat Ahok. Aksi mobokrasi itulah yang mengantarkan Ahok ke penjara. Alih-alih melindunginya, polisi menetapkan Ahok sebagai tersangka. Aparat keamanan, juga sekutunya sendiri: Presiden Joko Widodo, berusaha melokalisasi kemarahan sebagian umat Islam dengan membiarkan Ahok menjadi sasaran tembak.
Setelah itu, politik identitas tidak lantas menjadi tuntas. Menghadapi Pemilihan Umum 2019, Jokowi merangkul para pemrotes Ahok—sebuah langkah yang secara elektoral barangkali jitu, tapi sesungguhnya merupakan pengkhianatan terhadap pluralisme dan prinsip kebinekaan. Bertemu dengan ulama 212—angka yang diabadikan untuk mengenang demonstrasi besar menentang Ahok–Jokowi melihat kelompok itu perlu dirangkul agar ia tak kehilangan suara. Tak cukup, Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden pendampingnya. Ma’ruf adalah Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia yang menetapkan fatwa penistaan agama kepada Ahok. Dalam Pemilu 2019, Jokowi-Ma’ruf terpilih sebagai pasangan presiden dan wakil presiden.
Politik identitas dengan demikian telah menjadi sesuatu yang dicaci dan dicari. Ia dimusuhi dalam pidato resmi, tapi diam-diam praktiknya dibiarkan. Sampai di sini, politik muncul dalam wajah yang paling durjana, meminjam Paul Ricoeur.
Tapi benarkah Ahok semata-mata korban? Bagi para pengkritiknya: tidak. Ahok memang kerap bermain api—melintasi wilayah sensitif dengan ucapan-ucapan yang cenderung kasar, seraya mengharapkan efek elektoral dari langkahnya itu. Ia, misalnya, kerap menyebut dirinya “si kafir” dalam usaha memobilisasi kaum pluralis menjadi pendukungnya. Gaya provokatifnya dinilai kerap melewati batas.
Tentu tak adil meneropong Ahok hanya dari lensa politik identitas. Di luar itu, ia menorehkan banyak prestasi. Gebrakannya membenahi anggaran DKI Jakarta patut dipuji. Ia menerapkan pengisian bujet online agar tak ada kesempatan para pencoleng memasukkan proyek abal-abal. Ahok memperbaiki wajah Jakarta: melebarkan sungai untuk mengantisipasi banjir dan membangun banyak taman kota, termasuk dengan menggusur lokalisasi pelacuran Kalijodo. Ia menjalin kerja sama dengan swasta, mencari terobosan pendanaan.
Menyenangkan kelas menengah, Ahok dianggap tak berpihak pada kelas bawah. Ia memang memindahkan warga gusuran ke rumah susun yang modern. Tapi langkahnya itu dikritik karena dituding mencerabut orang miskin dari akarnya. Dalam perkara reklamasi Teluk Jakarta, Ahok disebut membela kepentingan pengembang.
Komitmen Ahok pada hak asasi manusia juga dipertanyakan. Dia memang utilitarian yang konsisten. Dia pernah dengan lantang mengaku siap membunuh 2.000 orang untuk menyelamatkan 10 juta lainnya.
Setelah 625 hari di dalam penjara, Ahok mengaku sudah berubah. Dia tak lagi menyimpan kemarahan, bahkan dengan takzim mencium tangan Ma’ruf Amin ketika bertemu di Istana. Apa pun babak selanjutnya dari kisah Ahok, kita semua harus menanggung konsekuensi dari makin dominannya politik identitas di negeri ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo