Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
USAHA menarik balik duit yang tersimpan di luar negeri lebih gampang dilakukan di podium pidato daripada kenyataan di lapangan. Perjanjian antar-pemerintah tidak serta-merta bisa mengalirkan dana pulang kampung sekalipun simpanan itu diduga hasil kejahatan. Begitu pula yang akan terjadi setelah pemerintah Indonesia meneken Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance (MLA) dengan pemerintah Swiss pada 14 Juli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengambilalihan dana hasil kejahatan membutuhkan proses panjang. Pengalaman Nigeria memburu harta bekas presiden Sani Abacha di luar negeri setelah jenderal itu meninggal pada 1998 bisa menjadi contoh. Harta Abacha di Swiss senilai US$ 458 juta baru bisa ditarik pemerintah Nigeria tujuh tahun kemudian. Itu pun dengan bantuan tekanan internasional terhadap negara-negara surga pajak, seperti Swiss, yang disebut banyak menyimpan duit pelaku kejahatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlakunya MLA tak serta-merta membuat pemerintah Swiss menyerahkan data nasabah ataupun aset yang tersimpan di bank di negara itu. Pemerintah Swiss bisa menolak permintaan yang dianggap tak memenuhi syarat. Sebaliknya, pemerintah Indonesia harus membuktikan di pengadilan negara itu bahwa harta yang disimpan merupakan hasil kejahatan seseorang. Masalahnya, sering pelaku kejahatan menyamarkan hartanya. Mereka menggunakan nama atau perusahaan yang sama sekali berbeda, bahkan secara formal tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka. Tanpa bukti kuat dan akurat, pengadilan di Swiss pasti menolak mentah-mentah permintaan pemerintah Indonesia.
Pengalaman menunjukkan berkali-kali pemerintah gagal menyita duit pelaku kejahatan yang terkunci di brankas luar negeri. Misalnya aset senilai US$ 5,2 juta milik bekas Direktur Utama Bank Mandiri, Eduardus Cornelis William Neloe, yang dinyatakan bersalah dalam kasus kejahatan bank. Meskipun Neloe divonis 10 tahun penjara, pemerintah Swiss mencabut kembali pembekuan hartanya. Hingga kini, lima tahun setelah Neloe meninggal, aset sang terpidana tak pernah menjadi milik negara.
Ilusi menarik pulang harta orang Indonesia di luar negeri memang datang di panggung pidato. Presiden Joko Widodo pada 2016 menyatakan telah mengantongi data pengusaha yang menyimpan kekayaannya di luar negeri. Ia bahkan menyebut jumlahnya Rp 11 ribu triliun. Ia tidak menyebutkan apakah seluruhnya hasil kejahatan. Usaha memulangkan rupiah pernah dilakukan melalui program amnesti pajak. Meski mendapat pemasukan Rp 135 triliun dari dana pajak, program ini juga tak mampu menarik duit di luar negeri.
Adalah kewajiban pemerintah untuk memburu aset koruptor atau duit hasil pengemplangan pajak di luar negeri. Aparat penegak hukum semestinya menjalankan usaha itu dengan serius, terutama terhadap harta pelaku kejahatan yang sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan dalam negeri. Pemerintah tak perlu terlalu banyak mengejar harta yang masih berupa bayang-bayang. Usaha perlu dikebut justru untuk mengejar hasil pencucian uang di dalam negeri. Selama ini, usaha itu tak terlalu serius dijalankan. Kejaksaan Agung, misalnya, baru menyita Rp 242 miliar dari Rp 4,4 triliun aset milik Yayasan Supersemar yang dinyatakan bersalah menyelewengkan dana beasiswa. Begitu pula dengan harta berbagai terpidana kejahatan kerah putih.
Adapun menarik balik simpanan warga negara di luar negeri—terutama yang bukan hasil kejahatan—hanya bisa dengan memperbaiki iklim investasi. Usaha terpenting adalah meningkatkan sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan tingkat korupsi rendah, pemilik modal perlahan-lahan akan merasa aman menanamkan dananya di dalam negeri. Sayangnya, kita bergerak ke arah sebaliknya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo