Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LELUASANYA Joko Soegiarto Tjandra keluar-masuk Indonesia dengan status buron menandakan penegakan hukum di republik ini masih bengkok. Narapidana kasus korupsi yang seharusnya diterungku karena menjarah uang negara malah seolah-olah mendapat karpet merah untuk mengurus perkara hukumnya. Insiden ini bak mencoreng arang ke wajah para penegak hukum kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menyandang status buron sejak 11 Juni 2009, Joko masuk ke Indonesia pada Maret lalu. Tak hanya nyelonong mengurus kartu tanda penduduk di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Barat, dia juga lolos mendaftarkan peninjauan kembali atas kasus yang membelitnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permainan gelap sang buron terkuak ke publik setelah Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin membukanya kepada Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 29 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sulit ditampik, ada anyir kongkalikong dalam proses masuknya terpidana korupsi cessie Bank Bali yang merugikan keuangan negara hingga ratusan miliar rupiah ini. Apalagi Joko tak pernah sekali pun menjalani hukuman penjara dua tahun setelah vonis Mahkamah Agung sebelas tahun lalu. Melenggang di bandar udara, artinya Joko mengangkangi pemeriksaan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Berkeliaran bebas di Indonesia tanpa kendala apa pun memberikan juga sinyal tidak berjalannya operasi tim intelijen kejaksaan.
Sudah lama Joko menjadi sosok yang sulit disentuh aparat hukum Indonesia. Padahal jejak pelarian bos perusahaan properti dengan aset triliunan rupiah ini dapat dengan mudah dideteksi. Selama berstatus buron, Joko lalu-lalang antara Malaysia dan Papua Nugini, dua negara yang memiliki perjanjian kerja sama ekstradisi dengan Indonesia. Patut ditengarai ada jejaring beking yang kuat di pucuk-pucuk kekuasaan yang membuat Joko sungguh sakti mandraguna.
Kejanggalan lain yang membuat buron kejaksaan itu bebas berkeliaran di Indonesia adalah dicabutnya secara diam-diam nama Joko dari daftar red notice National Central Bureau Interpol. Raibnya nama Joko ditengarai karena tidak ada lagi permintaan cegah tangkal dari Kejaksaan Agung. Ini memberikan peluang pada Direktorat Jenderal Imigrasi untuk menyetip namanya dari data sistem perlintasan. Berbagai indikasi ini membuat dugaan publik bahwa ada pihak tertentu yang ingin membiarkan Joko masuk ke Tanah Air kian kencang beredar.
Tanggung jawab untuk membuktikan dugaan orang ramai itu keliru ada di pundak pimpinan Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mereka harus bergegas melakukan koreksi internal, menjatuhkan sanksi terhadap jajarannya yang salah, dan mengumumkan hasil pemeriksaannya kepada khalayak.
Itu saja belum cukup. Cara terbaik bagi aparat penegak hukum untuk menepis kecurigaan publik adalah secepatnya meringkus Joko Tjandra. Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI bisa memulainya dengan menjerat Joko dengan pasal pemalsuan dokumen. Akrobat identitas yang dipakainya terindikasi melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Atas pelanggaran itu, Joko terancam sanksi pidana penjara enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50 juta. Selain itu, Joko bisa dijerat dengan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pemalsuan dokumen.
Pemerintah juga tak boleh lengah mengawal sidang peninjauan kembali yang sudah didaftarkan Joko. Ada dugaan, semua manuver Joko belakangan ini bertujuan mengakhiri jerat hukum yang selama ini membelenggunya. Kalau target akhir drama Joko ini sampai terwujud, lengkap sudah kebobrokan sistem hukum kita.
Tanda-tanda ke arah sana sudah terendus sejak Mei 2016. Ketika itu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi Anna Boentaran, istri Joko, yang salah satu isinya menegaskan bahwa jaksa penuntut umum tidak bisa meminta peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Putusan inilah yang melatarbelakangi kedatangan Joko ke Jakarta untuk mendaftarkan peninjauan kembali kasusnya pada Maret lalu.
Mahkamah Agung tak boleh memberi ruang untuk “permainan” dalam persidangan peninjauan kembali Joko. Tindakan korupsi dalam skandal Bank Bali sudah sedemikian terang terbukti. Pande Lubis, Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, divonis empat tahun penjara untuk kasus yang sama pada 2004. Apalagi proses pengajuan permohonan peninjauan kembali Joko penuh dengan patgulipat yang terindikasi melanggar hukum.
Perkara Joko Tjandra adalah pertaruhan besar bagi penegakan hukum dan sistem peradilan di Indonesia. Kita akan sama-sama menyaksikan apakah timbangan hakim di negeri ini benar-benar adil, atau berat sebelah demi para penguasa yang melindungi Joko.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo