Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT berharap Pengadilan Negeri Jakarta Utara mampu menyingkap kabut penyerangan terhadap Novel Baswedan. Alih-alih bekerja keras mengungkap dalang penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi itu, jaksa dan hakim tampak ogah-ogahan menggali fakta penting dalam peristiwa yang terjadi pada 11 April 2017 tersebut. Pengadilan justru seperti menjadi panggung untuk meringankan hukuman dua terdakwa, Brigadir Rahmat Kadir Mahulette dan Brigadir Ronny Bugis.
Dalam sidang yang digelar pada Rabu, 6 Mei lalu, misalnya, jaksa penuntut umum tak memanggil sejumlah saksi kunci yang bisa menunjukkan dengan terang-benderang kronologi penyerangan terhadap Novel. Dua orang yang jelas-jelas melihat para pelaku penyerangan mengintai Novel beberapa hari sebelum kejadian bahkan tak masuk daftar saksi. Padahal mereka berulang kali dimintai keterangan oleh polisi dan membantu pembuatan sketsa pelaku. Keterangan mereka bisa menunjukkan serangan terhadap Novel dilakukan secara terencana, dengan sistematis dan terkoordinasi.
Skenario mengaburkan fakta sudah terlihat sejak sidang perdana, 19 Maret lalu. Dalam dakwaannya, jaksa menyebut tindakan dua terdakwa sebagai penganiayaan berat saja dan tak menyinggung kemungkinan serangan itu terkait dengan kasus-kasus korupsi besar yang ditangani Novel. Jaksa juga mengabaikan penelusuran tim pencari fakta kasus Novel yang telah bekerja selama enam bulan sejak Januari 2019. Tim yang dibentuk Kepala Kepolisian RI saat itu, Jenderal Tito Karnavian, menyebutkan ada enam kasus high profile, seperti korupsi kartu tanda penduduk elektronik dan suap Wisma Atlet, yang diduga terkait dengan penyerangan terhadap Novel.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo