Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BPS mengeluarkan Berita Resmi Statistik pada 6 Februari lalu.
Berita ini memberi gambaran utuh makroekonomi tahun 2022.
Indonesia masih tangguh selama pandemi tapi perlu pembenahan agar segera pulih.
Biro Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan Berita Resmi Statistik (BRS) pada 6 Februari lalu. Ini artinya Indonesia sudah memiliki gambaran utuh dan resmi tentang makroekonomi tahun 2022, yang sering disebut sebagai “badai yang sempurna” ekonomi dunia karena pelemahan permintaan agregat akibat pandemi Covid-19 yang diikuti oleh turunnya penawaran agregat akibat perang Rusia-Ukraina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat awal pandemi 2020, ekonomi Indonesia terbilang cukup kuat karena pertumbuhan ekonominya hanya turun sedikit sebesar -2,1 persen dengan inflasi rendah sebesar 2 persen. Ekonomi Indonesia bangkit cukup cepat pada 2021 dengan pertumbuhan 3,7 persen dan laju inflasi tetap rendah sebesar 1,9 persen. Pada 2022 ekonomi Indonesia semakin menunjukkan kekuatannya karena, di tengah “badai yang sempurna”, ekonominya mampu tumbuh lebih tinggi sebesar 5,3 persen dengan laju inflasi 4,2 persen. Kendati laju inflasi naik cukup tinggi dibanding pada 2021 karena kenaikan harga pangan, energi, dan jasa logistik, “postur” ekonomi Indonesia tetap sehat karena laju pertumbuhan output berada di atas kenaikan harga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fungsi stabilisasi fiskal mengharuskan pengeluaran pemerintah semakin ekspansif di tengah krisis (countercyclical policy). Pengeluaran konsumsi pemerintah (PKP) yang tumbuh sebesar 2,1 persen pada 2020 dan 4,2 persen pada 2021 menunjukkan bahwa APBN memang bekerja ekstrakeras saat krisis pandemi. Pada 2022, pertumbuhan PKP menurun sebesar -4,5 persen karena, saat ekonomi pulih, sesuai dengan prinsip “crowding out”, anggaran pemerintah kembali normal menuju disiplin defisit fiskal di bawah tiga persen produk domestik bruto (PDB). Selain disiplin fiskal, faktor yang sangat menguntungkan ekonomi Indonesia dan terjadi sepanjang 2021 adalah tumbuhnya ekspor dan impor. Berbeda dengan pada 2021, ketika impor tumbuh lebih cepat dari ekspor, pada 2022, ekspor tumbuh lebih cepat daripada impor.
Bila ditelisik per sektor, informasi dan komunikasi adalah sektor yang sangat kuat pada saat pandemi. Selama pandemi, sektor ini tidak pernah tumbuh negatif. Pada 2020, sektor informasi dan komunikasi tumbuh 10,6 persen, lalu 6,8 persen pada 2021, dan 7,7 persen pada 2022.
Sektor jasa lain yang terlihat mencolok, karena saat pandemi pertumbuhannya turun tajam ke -15 persen pada 2020 tapi naik tajam ke 19,9 persen pada 2022, adalah transportasi dan pergudangan. Sektor jasa memang terbukti sangat fluktuatif tapi adaptif di masa pandemi.
Kendati demikian, proporsi sektor jasa terhadap pembentukan nilai tambah PDB tidak banyak berubah. Sektor informasi dan komunikasi bahkan mengalami sedikit penurunan proporsi, dari 4,5 persen pada 2020 ke 4,1 persen pada 2022. Adapun sektor transportasi dan pergudangan hanya mengalami sedikit kenaikan proporsi, dari 4,5 persen pada 2020 ke 5 persen pada 2022. Sektor jasa lain, seperti pendidikan dan kesehatan, bahkan masing-masing mengalami penurunan proporsi dari 3,6 persen dan 1,3 persen pada 2020 menjadi 2,9 persen dan 1,2 persen pada 2022.
Selain jasa, BRS menunjukkan sektor-sektor yang menonjol pada periode 2020-2022, yaitu pertambangan dan penggalian. Kendati tumbuh tidak terlalu menonjol, yaitu 4 persen pada 2021 dan 4,4 persen pada 2022, sektor ini mampu meningkatkan proporsinya terhadap PDB yang hampir dua kali lipat, dari 6,4 persen pada 2020 menjadi 12,2 persen pada 2022. Kenaikan harga energi dunia terbukti menguntungkan neraca perdagangan Indonesia karena ekspor nasional didominasi bahan tambang dan mineral serta hasil perkebunan seperti sawit dan karet.
Kendati diuntungkan karena kenaikan harga komoditas primer dunia, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB terlihat turun, dari 13,7 persen pada 2020 ke 12,4 persen pada 2022. Sementara itu, sektor manufaktur juga belum mampu berperan sebagai “penarik pertumbuhan” ekonomi nasional karena, dari 2020 hingga 2022, sebenarnya konsisten sejak 2005, pertumbuhannya berada di bawah total pertumbuhan nasional. Proporsi manufaktur terhadap PDB terus turun, dari 19,9 persen pada 2020 ke 18,3 persen pada 2022. Untuk itu, Indonesia membutuhkan “paradigma transformasi ekonomi” dengan manufaktur sebagai penarik pertumbuhan ekonomi dan pengolah hasil tambang dan pertanian.
Data membuktikan, ketika pandemi dapat dikendalikan dan aktivitas kembali normal, tidak semua negara mampu melakukannya dengan baik. Indonesia terbukti mampu, namun tantangan belum usai. Dua tantangan baru menanti pada 2023. Pertama, turunnya harga komoditas global primer, yang akan menurunkan surplus neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Tantangan ini dapat menekan nilai tukar “riil”.
Kedua, turunnya tingkat pengangguran terbuka Amerika Serikat, yang akan meningkatkan laju inflasi “sehat” di negeri itu. Kondisi ini dapat menekan nilai tukar “nominal” mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah. Apabila Indonesia kembali dapat mengatasi dua tantangan ekonomi “jangka pendek 2023” ini dengan baik, pada 2024 Indonesia akan membuktikan bahwa imunitas ekonominya memang sangat kuat.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo