HALOO Bung, apa kabar di Yogya sana?" Hati saya bergetar
mendengar suara itu. Tak terduga dia yang mengangkat telepon, di
Canberra. Juga tak terduga suaranya masih selantang itu, masih
bersenda seperti jasa, seperti tidak terjadi apa-apa.
"Sajogyo juga menelepon tadi. Dia menyarankan saya akupunktur,
tapi semuanya sudah terlambat. Tapi saya berusaha karangan itu
bisa selesai. The Economics of Hunger, begitulah."
Gigih sekali dia. Menurut istrinya, dia tetap tabah. Semua usaha
dilakukan supaya buku itu bisa selesai. Dan ayahnya yang tua,
pensiunan guru di atas 80 tahun, bekerja keras untuk itu.
Sejak dulu dia getol bicara soal kemiskinan. Kemiskinan lagi,
Gunnar Myrdal lagi, Asian Drama lagi. Entah berapa kali saya
menentang pendapatnya. Mengapa sih dunia pedesaan dilabur begitu
kelabu? Pendeknya, saya - yang dibesarkan di desa - tidak bisa
percaya. Tapi hatinya begitu baik dan tidak pernah tersinggung
terhadap bantahan saya. Dielusnya jenggotnya, disedotnya
pipanya, dan pembicaraan loncat ke soal lain.
Atau dia bicara tentang kesayangannya: Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara. Tentang bekas sejawat dan
mahasiswanya: Tan Hong Tong, Meneth Ginting, Rahman Rangkuti,
dan lain-lain. Panjang lebar tentang Westenberg, tokoh tua
kreatif berdarah Belanda dan Karo. Atau tokoh-tokoh lain: Iso,
Sajogyo, de Vries, Birowo, Mubyarto, Ace, Rudy Sinaga, Collier.
Atau petani kampung Tiganderket yang progresif, yang pernah
diteliti mahasiswanya. Sering dipujinya Kunci Surbakti.
Sepulang meninjau berbagai desa diJawa, 1968, bekal saya tambah
banyak menentang pendapatnya di Canberra. Di desa, kuping saya
dihibur knalpot Vespa, Honda, dan Yamaha. Suara yang begitu
merdu menggemakan kemakmuran rakyat. Suara radio transistor yang
tiada hentinya adalah indikator lain yang tidak bisa diremehkan.
Kawan saya ini terlalu mencukil-cukil soal kemelaratan.
Syahdan, Penyadap Tugimin demam panas. Batuk-batuk. Demam
keparat itu tidak terusir oleh mantra dukun kampung dan tidak
hilang oleh suntikan dokter Bantul. Maka, datanglah tragedi itu,
sebuah tragedi demam panas. Tugimin berpendapatan Rp 40 sehari
dari menyadap. Maka dia harus menghabiskan pendapatan enam hari,
sebesar Rp 250 (1969), untuk sekali pengobatan ke Bantul. Sangat
luks sebetulnya sama sekali tidak cocok untuk orang miskin.
Tapi mau apa lagi. Dan istrinya sangat mendorong berobat ke
dokter. Pikirnya, cuma suntikan dokter bisa mengenyahkan demam
ahanam.
Tugimin terkuras habis. Walau akhirnya ia sembuh lewat dukun,
demam keparat itu membuatnya lunglai dijerat-utang Rp 1.500 pada
Pak Joyo, tetangga yang siap menolong siang dan malam. Utangnya
dihitung 50 kg gula, yang kelak dicicil kalau tubuhnya yang
keropos sudah bisa memanjat lagi. (Dihitung Rp 30 per kg di
pasaran Rp 52,50.) Mungkin dapat dicicil dalam empat atau enam
bulan.
Begitu rapuhnya kehidupan orang kecil. Banyak yang mengincarnya:
penyakit, pengijon, rentenir, tukang mendring. Mungkin lantaran
itu dia perlu banyak selamatan, supaya bisa luput dari para
pengincar. Termasuk incaran pengobatan modern, yang sama
jahatnya dengan demam sendiri. Diincar oleh lembaga yang kekar
dan angkuh: pembayaran tunai, tidak sembuh uang tidak kembali.
Sakit Tugimin, batuknya, gerutunya, sembuhnya, utangnya, lunglai
tubuhnya, panik istrinya, terpaksa saya tahu lantaran gubuknya
cuma dua meter dari kamar tidur saya di Sriharjo. Terpaksa kami
tahu lantaran Tugimin, yang senantiasa memanfaatkan sisa
makanan keluarga kami, selalu membantu dalam berbagai soal
kecil.
Lalu terbukalah mata saya dan tersingkaplah kemiskinan para
penyadap dan buruh tani yang jumlahnya kian bertambah. Sukar
dibayangkan betapa rentannya mereka terhadap utang. Sebuah
instruksi membuat pasfoto kartu penduduk saja bisa membuat
mereka tergopoh-gopoh mencari uang pinjaman. Penyambutan
pemimpin dari kota, yang konon dilaksanakan secara
gotong-royong, bisa membuat utang mereka bertambah.
"Hai Bung, cerita Anda tentang kemiskinan ternyata benar," kata
saya kepada David. "Kemiskinan di Sriharjo jauh lebih suram dari
yang pernah Anda pikirkan. Yang terpikir oleh Anda belum
apa-apa. Tapi lebih baik Anda tidak tahu seluruhnya, nanti sukar
tidur."
Maka kami ungkapkanlah bersama kisah Sriharjo. Kisah manusia
lapar tanah pemilikan sawah rata-rata 0,22 ha, dan sekarang
tentunya sudah menciut lagi, jauh dari cukupan yang konon
memerlukan 0,7 ha. Mereka yang tersudut, yang hidup dari
menyadap pohon kelapa dan membuat gula kelapa. Industri gula
kelapa menjadi lambang kemiskinan yang meyakinkan: pendapatan
rendah, dengan seluruh keluarga dililit pekerjaan: suami
menyadap, anak mencari kayu bakar, istri memasaknya menjadi
gula. Dengan semuanya itu mereka menyuruk-nyuruk di bawah garis
kemiskinan.
Berkat ayah David, naskah Ekonomi Kelaparan bisa usai. Lalu
tibalah saatnya - mengucapkan selamat tinggal ke pada ekonomi
kelaparan, kepada semuanya. Bersama kanker di hatinya, ketika
malam menjadi larut lada hari Senin 24 Oktober, dengan tenang
David berpulang ke alam baka. David Penny. Selamat jalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini