Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ekonomi Kelaparan, Selamat Tinggal

David penny, canberra telah usai menulis naskah, the economics of hunger, dia mengisahkan tentang kemiskinan penyadap dan buruh tani sriharjo. david penny meninggal karena kanker hati pada tgl 24 okt 1983.

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HALOO Bung, apa kabar di Yogya sana?" Hati saya bergetar mendengar suara itu. Tak terduga dia yang mengangkat telepon, di Canberra. Juga tak terduga suaranya masih selantang itu, masih bersenda seperti jasa, seperti tidak terjadi apa-apa. "Sajogyo juga menelepon tadi. Dia menyarankan saya akupunktur, tapi semuanya sudah terlambat. Tapi saya berusaha karangan itu bisa selesai. The Economics of Hunger, begitulah." Gigih sekali dia. Menurut istrinya, dia tetap tabah. Semua usaha dilakukan supaya buku itu bisa selesai. Dan ayahnya yang tua, pensiunan guru di atas 80 tahun, bekerja keras untuk itu. Sejak dulu dia getol bicara soal kemiskinan. Kemiskinan lagi, Gunnar Myrdal lagi, Asian Drama lagi. Entah berapa kali saya menentang pendapatnya. Mengapa sih dunia pedesaan dilabur begitu kelabu? Pendeknya, saya - yang dibesarkan di desa - tidak bisa percaya. Tapi hatinya begitu baik dan tidak pernah tersinggung terhadap bantahan saya. Dielusnya jenggotnya, disedotnya pipanya, dan pembicaraan loncat ke soal lain. Atau dia bicara tentang kesayangannya: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Tentang bekas sejawat dan mahasiswanya: Tan Hong Tong, Meneth Ginting, Rahman Rangkuti, dan lain-lain. Panjang lebar tentang Westenberg, tokoh tua kreatif berdarah Belanda dan Karo. Atau tokoh-tokoh lain: Iso, Sajogyo, de Vries, Birowo, Mubyarto, Ace, Rudy Sinaga, Collier. Atau petani kampung Tiganderket yang progresif, yang pernah diteliti mahasiswanya. Sering dipujinya Kunci Surbakti. Sepulang meninjau berbagai desa diJawa, 1968, bekal saya tambah banyak menentang pendapatnya di Canberra. Di desa, kuping saya dihibur knalpot Vespa, Honda, dan Yamaha. Suara yang begitu merdu menggemakan kemakmuran rakyat. Suara radio transistor yang tiada hentinya adalah indikator lain yang tidak bisa diremehkan. Kawan saya ini terlalu mencukil-cukil soal kemelaratan. Syahdan, Penyadap Tugimin demam panas. Batuk-batuk. Demam keparat itu tidak terusir oleh mantra dukun kampung dan tidak hilang oleh suntikan dokter Bantul. Maka, datanglah tragedi itu, sebuah tragedi demam panas. Tugimin berpendapatan Rp 40 sehari dari menyadap. Maka dia harus menghabiskan pendapatan enam hari, sebesar Rp 250 (1969), untuk sekali pengobatan ke Bantul. Sangat luks sebetulnya sama sekali tidak cocok untuk orang miskin. Tapi mau apa lagi. Dan istrinya sangat mendorong berobat ke dokter. Pikirnya, cuma suntikan dokter bisa mengenyahkan demam ahanam. Tugimin terkuras habis. Walau akhirnya ia sembuh lewat dukun, demam keparat itu membuatnya lunglai dijerat-utang Rp 1.500 pada Pak Joyo, tetangga yang siap menolong siang dan malam. Utangnya dihitung 50 kg gula, yang kelak dicicil kalau tubuhnya yang keropos sudah bisa memanjat lagi. (Dihitung Rp 30 per kg di pasaran Rp 52,50.) Mungkin dapat dicicil dalam empat atau enam bulan. Begitu rapuhnya kehidupan orang kecil. Banyak yang mengincarnya: penyakit, pengijon, rentenir, tukang mendring. Mungkin lantaran itu dia perlu banyak selamatan, supaya bisa luput dari para pengincar. Termasuk incaran pengobatan modern, yang sama jahatnya dengan demam sendiri. Diincar oleh lembaga yang kekar dan angkuh: pembayaran tunai, tidak sembuh uang tidak kembali. Sakit Tugimin, batuknya, gerutunya, sembuhnya, utangnya, lunglai tubuhnya, panik istrinya, terpaksa saya tahu lantaran gubuknya cuma dua meter dari kamar tidur saya di Sriharjo. Terpaksa kami tahu lantaran Tugimin, yang senantiasa memanfaatkan sisa makanan keluarga kami, selalu membantu dalam berbagai soal kecil. Lalu terbukalah mata saya dan tersingkaplah kemiskinan para penyadap dan buruh tani yang jumlahnya kian bertambah. Sukar dibayangkan betapa rentannya mereka terhadap utang. Sebuah instruksi membuat pasfoto kartu penduduk saja bisa membuat mereka tergopoh-gopoh mencari uang pinjaman. Penyambutan pemimpin dari kota, yang konon dilaksanakan secara gotong-royong, bisa membuat utang mereka bertambah. "Hai Bung, cerita Anda tentang kemiskinan ternyata benar," kata saya kepada David. "Kemiskinan di Sriharjo jauh lebih suram dari yang pernah Anda pikirkan. Yang terpikir oleh Anda belum apa-apa. Tapi lebih baik Anda tidak tahu seluruhnya, nanti sukar tidur." Maka kami ungkapkanlah bersama kisah Sriharjo. Kisah manusia lapar tanah pemilikan sawah rata-rata 0,22 ha, dan sekarang tentunya sudah menciut lagi, jauh dari cukupan yang konon memerlukan 0,7 ha. Mereka yang tersudut, yang hidup dari menyadap pohon kelapa dan membuat gula kelapa. Industri gula kelapa menjadi lambang kemiskinan yang meyakinkan: pendapatan rendah, dengan seluruh keluarga dililit pekerjaan: suami menyadap, anak mencari kayu bakar, istri memasaknya menjadi gula. Dengan semuanya itu mereka menyuruk-nyuruk di bawah garis kemiskinan. Berkat ayah David, naskah Ekonomi Kelaparan bisa usai. Lalu tibalah saatnya - mengucapkan selamat tinggal ke pada ekonomi kelaparan, kepada semuanya. Bersama kanker di hatinya, ketika malam menjadi larut lada hari Senin 24 Oktober, dengan tenang David berpulang ke alam baka. David Penny. Selamat jalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus