Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Belasungkawa iran

Kedubes Iran memasang iklan belasungkawa, isinya menyerang Irak. harian pelita, yang memuatnya, akan diperingatkan. (md)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH iklan menyolok terpampang di halaman pertama harian Pelita, 2 November lalu. Berasal dari kedutaan besar Republik Islam Iran di Jakarta, iklan ukuran 2 kolom X 8 cm itu berbingkai garis hitam tebal, tanda dukacita. Itu memang semacam pemberitahuan belasungkawa "tentang serangan peluru kendali jarak jauh Irak baru-baru ini atas Kota Behbahan yang menyebabkan 74 murid sekolah lanjutan dan 20 orang lainnya mati syahid". Pemuatan iklan itu agak mengejutkan. Sebab, baru saja Abdullazim Hasyemi Nik kuasa usaha kedubes Iran, diperingatkan Departemen Luar Negeri sehubungan dengan penerbitan majalah Yaum al Quds yang menyerang Arab Saudi. Tapi Soleiman Heydarpour Devisara, atase pers kedubes Iran, menyanggah itu sebagai "iklan berbau politik". Katanya, itu merupakan open condolence - pemberitahuan dukacita terbuka - "yang juga biasa dilakukan kedutaan negara lain. "Ketika pesawat penumpang KAL ditembak Uni Soviet, kedutaan besar Republik Korea juga memasang open condolence," kata seorang karyawan kedubes Iran itu. Tapi dalam hal ini kedubes Iran bisa dinilai "melanggar tata krama diplomatik karena menyerang negara lain yang menjadi sahabat negara tuan rumah" - seperti pernah dinyatakan Menlu Mochtar Kusumaatmadja dalam kasus majalah Yaum al-Quds. Wujud iklan itu sendiri, menurut Ernst Katoppo, sekjen P3I (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) "tidak sesuai dengan kode etik periklanan karena isinya menyangkut politik." Dalam "Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia" memang tidak disebut iklan "yang berbau politik" tapi ada ketentuan, "iklan tidak boleh menyinggung atau mempertentangkan suku/golongan." Bagi Katoppo, yang tidak mengenakkan ialah, Iran dan Irak yang sedang bersengketa itu sama-sama negara sahabat RI, mayoritas penduduknya sama-sama beragama Islam seperti RI. Karena itu, Pelita dinilai melanggar kode etik periklanan. "Tapi untuk menegur atau mengimbau, menunggu rapat buianan Komisi Tata Krama Periklanan. Dan teguran itu akan disampaikan SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar)," katanya. Tapi harus diingat kode etik yang bersifat moral itu sanksinya pun moral juga. Karena itu, sulit bagi SPS untuk "menghukum" Pelita. Paling-paling mengimbau. Bagi Pelita sendiri, iklan itu dianggap biasa. "Prosedur pemuatannya sama, seperti iklan lain, juga tarifnya. Teksnya sudah disampaikan ke Redaksi dan disetujui," kata H.M. Hartono, wakil pimpinan perusahaan Pelita, yang dikenal mewakili aspirasi umat Islam itu. Tapi penilaian Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Soekarno S.H., lain. "Iklan semacam itu, yang menyerang negara sahabat, tidak boleh dipasang," katanya minggu lalu. "Pelita akan diperingatkan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus