SEBUAH iklan menyolok terpampang di halaman pertama harian
Pelita, 2 November lalu. Berasal dari kedutaan besar Republik
Islam Iran di Jakarta, iklan ukuran 2 kolom X 8 cm itu
berbingkai garis hitam tebal, tanda dukacita. Itu memang semacam
pemberitahuan belasungkawa "tentang serangan peluru kendali
jarak jauh Irak baru-baru ini atas Kota Behbahan yang
menyebabkan 74 murid sekolah lanjutan dan 20 orang lainnya mati
syahid".
Pemuatan iklan itu agak mengejutkan. Sebab, baru saja
Abdullazim Hasyemi Nik kuasa usaha kedubes Iran, diperingatkan
Departemen Luar Negeri sehubungan dengan penerbitan majalah
Yaum al Quds yang menyerang Arab Saudi. Tapi Soleiman
Heydarpour Devisara, atase pers kedubes Iran, menyanggah itu
sebagai "iklan berbau politik". Katanya, itu merupakan open
condolence - pemberitahuan dukacita terbuka - "yang juga biasa
dilakukan kedutaan negara lain.
"Ketika pesawat penumpang KAL ditembak Uni Soviet, kedutaan
besar Republik Korea juga memasang open condolence," kata
seorang karyawan kedubes Iran itu. Tapi dalam hal ini kedubes
Iran bisa dinilai "melanggar tata krama diplomatik karena
menyerang negara lain yang menjadi sahabat negara tuan rumah" -
seperti pernah dinyatakan Menlu Mochtar Kusumaatmadja dalam
kasus majalah Yaum al-Quds.
Wujud iklan itu sendiri, menurut Ernst Katoppo, sekjen P3I
(Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) "tidak sesuai dengan
kode etik periklanan karena isinya menyangkut politik." Dalam
"Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia" memang tidak
disebut iklan "yang berbau politik" tapi ada ketentuan, "iklan
tidak boleh menyinggung atau mempertentangkan suku/golongan."
Bagi Katoppo, yang tidak mengenakkan ialah, Iran dan Irak yang
sedang bersengketa itu sama-sama negara sahabat RI, mayoritas
penduduknya sama-sama beragama Islam seperti RI. Karena itu,
Pelita dinilai melanggar kode etik periklanan. "Tapi untuk
menegur atau mengimbau, menunggu rapat buianan Komisi Tata Krama
Periklanan. Dan teguran itu akan disampaikan SPS (Serikat
Penerbit Surat Kabar)," katanya. Tapi harus diingat kode etik
yang bersifat moral itu sanksinya pun moral juga. Karena itu,
sulit bagi SPS untuk "menghukum" Pelita. Paling-paling
mengimbau.
Bagi Pelita sendiri, iklan itu dianggap biasa. "Prosedur
pemuatannya sama, seperti iklan lain, juga tarifnya. Teksnya
sudah disampaikan ke Redaksi dan disetujui," kata H.M. Hartono,
wakil pimpinan perusahaan Pelita, yang dikenal mewakili aspirasi
umat Islam itu. Tapi penilaian Direktur Jenderal Pembinaan Pers
dan Grafika Soekarno S.H., lain. "Iklan semacam itu, yang
menyerang negara sahabat, tidak boleh dipasang," katanya minggu
lalu. "Pelita akan diperingatkan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini