Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Mempertahankan kapling udara

Kecemasan para ahli akan dampak pemakaian dbs (siaran langsung satelit) di Indonesia. perlu disusun undang-undang pokok kedirgantaraan nasional. (md)

12 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari kelak, entah kapan, Anda bisa menyaksikan siaran berita pertempuran atau kudeta di Amerika Latin, misalnya, atau menikmati film hot keduanya langsung dari studio televisi AS di New York. Dan, sudah bisa dipastikan, kelak Anda bisa disuguhi siaran parade militer ulang tahun Revolusi Oktober langsung dari televisi Uni Soviet diMoskow. Itu bisa terjadi cukup dengan memasang antena piring berdiameter kecil, yang harganya kini sekitar Rp 500.000 - yang dalam tahun-tahun mendatang bisa ditekan menjadi Rp 100.000 sampai Rp 200.000. Selain itu, juga menggunakan converter untuk mengubah gelombang berrekuensi tinggi menajadi gelombang yang bisa ditangkap televisi. Siarannya dipancarkan melalui DBS (direct broadcasting satelitte) alias satelit siaran langsung (SSL) - tidak lagi lewat stasiun bumi. Siaran dari Moskow dengan leluasa bisa menerobos karena selain lima satelit milik Indonesia ada 18 satelit milik Uni Soviet dari sebanyak 30 satelit - berada dalam jalur orbit (disebut GSO, Geostationer Satelitte Orbit) di atas udara katulistiwa. Melihat kenyataan itu, para ahli di sini cemas. Dua kali mereka berbincang dalam seminar 22 Agustus dan 31 Oktober lewat. Banyak yang tidak setuju dengan penggunaan SSL di sini, misalnya, Menpora Abdul Gafur. Dirjen RTF Subrata juga mengkhawatirkan kerawanan yang bakal muncul akibat peluberan siaran televisi asing karena kita menggunakan SSL. "Yang paling berbahaya jika peluberan itu disengaja untuk tuuan politis," katanya. Ia menunjuk Muangthai yang sering keluberan siaran televisi Moskow yang memang diarahkan ke Laos dan Vietnam. "Lain halnya kalau acaranya sepak bola," katanya tertawa. Memang banyak ahli tak setuju. Misalnya, Dr. M. Alwi Dahlan, asisten Menteri Negara PPLH. "Dengan menggunakan SSL, siaran TVRI bisa diterima merata di seluruh tanah air, tapi rakyat kecil tak mampu membeli antenanya. Selain itu, siaran langsung dari pusat menimbulkan sentralisasi informasi. Artinya, semua informasi hanya datang dari pusat. Dan 210 stasiun daerah menganggur," katanya. "Padahal, menurut penelitian, acara yang termasuk digemari antara lain siaran daerah," tuturnya lagi. Mengenai kecemasan menerobosnya siaran televisi asing, ahli komunikasi itu justru tenang-tenang saja. "Kita terlalu memandang enteng masyarakat. Toh sekarang juga banyak orang kena pengaruh luar - lewat majalah atau buku. Setiap bangsa punya ketahanan budaya hingga tak gampang meniru begitu saja," katanya. "Kalau masih takut, acara TVRI harus diperbaiki." Bagaimana mengatasi peluberan itu? Menurut Alwi, sudah ada aturannya. Misalnya, salah satu pasal ketentuan dalam Persatuan Telekomunikasi Internasional (ITU, 1977): jika suatu negara mengunakan SSL, siarannya tidak boreh meluber ke negara lain kecuali ada izin. Selain itu, juga ada pengaturan kapling-kapling frekuens dan jangkauan siaran. Indonesia, misalnya, agar siarannya yang menggunakan SSL tidak meluber, harus membuat lima jejak jangkauan (footprint): Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, Irian Jaya, Sulawesi dan Maluku, serta Kalimantan. "Kalau kita hanya menggunakan satu jejak jangkauan - dengan satu lingkaran besar meliputi seluruh Indonesia - banyak negara lain keluberan," kata Alwi. Aturan ini sebagai syarat mendapatkan kapling GSO seperti telah disebut. Menurut Prof. Dr. Prijatna Abdurrasjid, S.H., ahli hukum dirgantara internasional, kapling GSO kita yang terpanjang di dunia - hampir 34.000 km atau 13% dari panjang GSO seluruhnya. "Sekarang lintasan GSO merupakan daerah tak bertuan, sebagai kawasan di luar konsepsi wilayah negara. Penempatan satelit di wilayah itu berdasarkan hukum: siapa cepat dia dapat," kata Prijatna. Di sepanjang GSO sekeliring bumi, terdapat 220 satelit, 2/3 di antaranya milik AS dan US. "Padahal, menurut teori, maksimum hanya bisa ditempatkan 180 satelit di sepanjang GSO seluruhnya," ujar Prijatna. Ia melihat bahwa ruang angkasa belum banyak dijamah hukum. Beberapa peraturan, misalnya dari PBB, sebagian besar menyankut kepentingan AS dan US, "karena mereka takut akibat-akibatnya." Karena itu, meskipun sudah ada beberapa peraturan kedirgantaraan internasional, Prijatna menganggap perlu segera disusun UU tentang Pokok-pokok Kedirgantaraan Nasional. "Kita tidak boleh pasif menghadapi kegiatan negara lain di udara," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus