Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Ekstensialisme Dengan Marxisme

Bagi jean-paul sartre, manusia menciptakan dirinya sendiri, dan memilih dengan bebas kejadiannya. mencoba menggabungkan ekstensialismenya dengan marxisme. ia menulis pada saat prancis dikuasai nazi-jerman.

26 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SARTRE meninggal dan tak mengejutkan. Tak seorang pun akan menulis seperti ia menulis di tahun 1960 ketika Albert Camus (lawan politiknya, bekas teman seperjuangannya) tiba-tiba mati dalam kecelakaan mobil: "Setiap hidup yang terputus .... adalah sekaligus sebuah piringan hitam yang pecah dan sebuah kehidupan yang lengkap." Dalam usia 74 tahun Sartre pergi sebagai hidup yang komplit tapi agaknya bukan piringan yang mendadak hancur. Gramopon tua itu masih punya suara, namun lirih, atau tak jelas, atau mengganggu. Ketika Camus mati, rekannya yang termasyhur ini mengatakan bahwa momen sejarah di saat itu justru menghendaki "agar seorang penulis hidup terus". Tapi ketika penulis yang satu ini mati bisakah kita bicara demikian? Banyak orang masih saja tak pasti, tanpa pedoman. Banyak orang masih berharap pemikir terbaik harus mencapai ujung terowongan. Tapi Jean-Paul Sartre agaknya tahu akhirnya di ujung terowongan itu kehidupan tetap membatalkan jawaban yang paling pintar. Setidaknya, kalau pun ia merasa menemukannya, ia tak kunjung meyakinkan. Ia tak lagi meyakinkan. Di tahun 1950-an, bersama Camus dialah pemikir Prancis yang hampir jadi bahan pemujaan para pemikir dan penulis yang lebih muda. Seantero rimba persilatan intelektual memandang, menyimak, mendatangi atau menyerempet-nyerempet "raja kaum eksistensialis" yang bermata juling ini. Barangkali karena Sartre adalah pemikir besar yang berkata "tidak" dengan cara yang besar pula, dan setiap "tidak" mengandung drama, dan setiap drama mengandung daya tarik yang aneh. Tapi tentu saja bukan karena untuk daya tarik itu Sartre tampil. Laki-laki yang bertampang jelek sejak kecil ini, yang kehilangan bapak, yang kesepian di ruang baca dalam asuhan kakeknya yang keras, yang mengenal nama dan kata lebih dulu ketimbang mengenal alam benda, bukanlah tipe yang memberontak demi sebuah atraksi. Dari balik kacamatanya yang tebal dan pandangannya yang setengah rusak ia melihat dunia dalam keadaan yang paling brengsek. Le neant hante l'etre, tulisnya. Tiada menghantui Ada: realitas dengan sendirinya terancam ketiadaan-yang terkandung dalam dasarnya sendiri bagaikan ulat. Dan manusia? Manusialah, dengan alam pikirannya, yang justru bisa menimbulkan ketiadaan itu: ia bisa menafikan hal-ihwal. Ia bukan saja menyebabkan realitas jadi rapuh, tapi juga menyebabkan manusia lain jadi objek. Hubungan antar manusia pun hanya berkisar pada sadisme, masokhisme dan kebencian. Maka seperti halnya cinta tak ada bagi Sartre, Tuhan juga baginya bukan cuma "telah mati", tapi tak pernah masuk hitungan. Atheisme yang sungguh radikal. Juga suatu humanisme. Sebab bagi Sartre, manusia tak ditentukan lebih dulu, tapi menciptakan dirinya sendiri, dan memilih dengan bebas kejadiannya. Pada mulanya adalah perbuatan. Mungkin itulah sebabnya Sartre sejak pagi mudah berada di sisi kaum komunis. Bukan saja dalam pendirian politik. Ia bahkan mencoba menggabungkan eksistensialismenya dengan Marxisme dan di hari tuanya ia kian bicara seperti seorang Maois. Cukup aneh, atau sia-sia-karena kaum Marxis-Leninis sendiri tak menganggap ikhtiarnya berarti. Mungkin itulah sebabnya ia tak lagi meyakinkan. Ia memang berkata "tidak" dan menafikan masyarakat kapitalis, tapi orang tak tahu apa yang ditawarkannya kemudian. Sartre terlampau suram buat komunisme yang menjanjikan surga di bumi. Tapi ia memang membentuk pikirannya dari suatu masa yang suram, meski juga heroik, ketika berkata "tidak" benar-benar merupakan akar dari eksistensi. Empat tahun Prancis dicengkeram Nazi-Jerman, dan rakyat dibisukan, dan siksaan serta kematian mengancam. Hidup rapuh, tapi manusia merdeka. Justru "karena suatu kepolisian yang maha kuat mencoba memaksa kita membisu, tiap kata pun memperoleh harga sebagai suatu pernyataan prinsip." Betapa bergetarnya kata-kata Sartre dalam Republik Kebisuan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus