DINDING rumah mereka umumnya terbuat dari bambu dengan lantai
semen. Di pintu masuk tertempel kertas hu (jimat) dan bumbung
kecil berwarna merah untuk hio (lidi dupa). Di ruang tengah
terdapat meja abu leluhur dengan hiasan foto engkong dan emak
almarhum, berdampingan dengan lukisan Nabi mereka: Konghucu.
Itulah potret Desa Cileungsi, yang terletak 40 km dari Jakarta.
Desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Cileungsi, Kabupaten
Bogor ini mempunyai 900 warga keturunan Cina. Nenek moyang
mereka datang dari Hokkian. "Owe mah sudah termasuk baba paling
tidak sudah 5 turunan diam di sini," ujar Tan Pang Tjoan, 25
tahun, yang mempunyai perusahaan kerupuk jengkol.
Jalan tanah selebar 1 meter di kampung ini akan berubah jadi
bubur kalau hujan turun. Pagar bambu membatasi masing-masing
rumah, gunanya untuk mencegah babi peliharaan mereka saling
bertandang. Di siang hari, alunan lagu-lagu dang-dut
berkumandang dari radio transistor. Bila malam tiba, anak-anak
berkumpul mengelilingi beberapa pesawat televisi yang dihidupkan
dengan tenaga aki.
Penduduk keturunan Cina desa ini kebanyakan bekerja di Jakarta
sebagai buruh. Ada juga yang memiliki toko. Para muda-mudinya
paling tinggi tamatan sekolah Ianjutan pertama. Sedang
penduduk pribumi umumnya bekerja sebagai pedagang tekstil atau
di perusahaan pembakaran genteng dan bata.
Sekalipun tempat tinggal antara tenglang (keturunan Cina) dengan
kaum (pribumi) terpisah, hubungan mereka erat. "Kalau pihak
pribumi mengadakan hajat pernikahan atau sunatan, kami selalu
diundang. Begitu juga sebaliknya," kata Pang Tjoan yang menjadi
Ketua Pemuda Tridharma di desa ini. "Dan kalau diundang pasti
kami datang," lanjut Yo Tian Hoat yang sehari-harinya menjadi
tukang batu.
"Partisipasi dari WNI keturunan Cina di sini memang cukup
tinggi," ucap Endang Wazkih, Camat Cileungsi. Ia mengambil satu
contoh: waktu ada pemugaran musholla di daerahnya, ada warga
nonpri yang menyumbang dana tanpa mau disebut namanya. Diakuinya
umumnya kehidupan ekonomi warga Cina lebih rendah dibanding yang
pribumi. "Di sini aneh, sepintas lalu malah pribuminya yang
eksklusif karena masalah agama," ujar Endang. Tapi, perkawinan
campuran -- umumnya pria nonpri dengan wanita pribumi -- banyak
juga terjadi.
Keadaan yang sama terlihat juga di Desa Pangkalan, Kecamatan
Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Jawa Barat. Kalau tiba hari
raya Idul Fitri, para warga pribumi biasa mengantar kue ke
tetangganya yang nonpri. "Kalau tiba Imlek bagian kami yang
mengantar kue Cina," cerita Sie Sie Tjoen, 55 tahun, yang WNI.
Warga keturunan Cina di desa ini berjumlah 1.291 orang, sedang
pribuminya berjumlah 8.886 orang. Menurut catatan Kantor
Kecamatan Teluk Naga, di kecamatan ini tinggal 7.103 orang warga
nonpri dan 71.405 pribumi.
Pesta yang diadakan warga nonpri umumnya berlangsung 2 hari.
Hari pertama dihidangkan makanan tanpa daging babi karena
tamunya tetangga pribumi Selamatan pembukaan rumah baru milik
keturunan Cina dilakukan menurut agama Islam, dipimpin ulama
setempat. "Itu untuk memberi hormat. Lagipula yang kebagian
selamat 'kan kami juga sebagai pemilik rumah," ucap Sie Sie
Tjoen. "Kalau dia bilang amin, kami pun ikut bilang amin . . .
," lanjutnya.
"Di sini yang suka iri malah antara sesama tenglang," kata Liem
Tjoan Hong, 31 tahun, pemilik warung yang juga merangkap petani
pemilik sawah. Luas sawahnya 6 kotak, dikerjakan secara bagi
hasil dengan tetangganya yang pribumi. Pengalaman Liem yang
paling menggembirakan terjadi tahun lalu, tatkala ia membangun
rumah. Beberapa tetangganya yang pribumi secara sukarela datang
membantu tanpa diminta. Mereka menolak dibayar.
"Di sini memang tidak ada masalah pri dan nonpri. Mereka
seakan-akan telah menjadi satu," Camat Rachmad Aseran
membenarkan. "Antara kami dengan orang Cina sama-sama saja,
tidak ada masalah," kata Saman, seoorang warga Desa Pangkalan
yang sehari-harinya berdagang ayam.
Hubungan antara pri dan nonpri yang erat juga bisa dilihat di
Pontianak, Kalimantan Barat. Penduduk Cina di sana umumnya sudah
bermukim ratusan tahun lalu. Di beberapa tempat malahan lebih
lama dari golongan pribumi. Sebagai contoh misalnya Kampung
Benua Melayu Darat, Kecamatan Pontianak Selatan. Di kampung yang
berpenduduk 26 ribu orang pribumi merupakan minoritas -- hanya
20%.
Bahasa Cina menjadi bahasa utama. Banyak pribumi yang juga fasih
bahasa itu. Berkumpul kongko-kongko antara pri dan nonpri sudah
merupakan pemandangan biasa. "Yang mana Cina mana Melayu sama
saja di sini," kata M. Said, salah satu Ketua Rukun Tetangga.
Tapi di Medan lain pula suasananya. Sekali, pernah Mona Chang,
guru Taman Kanak-kanak di Perguruan Sutomo dimaki seorang pemuda
Cina tatkala berbelanja di Pasar Hongkong Medan: "Bangsat kamu.
Lu mau kawin dengan huana (pribumi) ya. Bikin malu bangsa saja."
Mona, 19 tahun, pernah berperan dalam seri cerita-foto sebagai
seorang gadis Cina yang akhirnya menikah dengan seorang pemuda
pribumi. Cerita-foto ini disiarkan harian Analisa. Gara-gara itu
pula rumah Paulus M. Cukrono, pengarang kisah itu, dilempari
batu oleh beberapa pemuda Cina.
"Cina Medan memang lain dengan mereka yang di Jawa. Umumnya
mereka tidak bisa berbahasa Indonesia sekalipun sudah menjadi
WNI," kata Amran Yusuf, Ketua DPC Pemuda Pancasila Sum-Ut. Tokoh
pengusaha Sumatera Utara, T.D. Pardede mempunyai pendapat
serupa.
Yang juga menggusarkan kalangan pribumi di Medan adalah adanya
iklan lowongan pekerjaan yang diembel-embeli: "Bisa berbahasa
Mandarin" "Iklan seperti itu apa bukan diskriminasi namanya,"
ucap Husni Malik, seorang tokoh pemuda Medan.
Toh tidak semua cerita tentang keturunan Cina Medan sumbang.
Wahyu Utomo alias Tukia, 45 tahun, seorang tokoh pengusaha Cina
Medan mengakui, banyak orang Cina Medan yang suka pamer dan
demonstratif. "Terutama di kalangan anak muda," katanya.
Sentimen yang tumbuh terhadap non-pri dianggapnya karena keadaan
sosial-ekonomi.
Karena itu ia mendukung kebijaksanaan pemerintah lewat Keppres
14. Lebih dari itu Tukia berpendapat, usaha pembauran harus
lebih digalakkan guna menghindari keruncingan. Antara lain
lewat sekolah dan olah raga. Usaha membaurkan pri dan nonpri
lewat olahraga ini misalnya, telah dicobanya dengan menyediakan
"Wahyu Utomo Cup" yang diperebutkan sejak 1979 untuk kejuaraan
bola bsket. Digalakkannya juga olah raga silat yang selama ini
dikenal sebagai olah raga pribumi.
Adakah harapan untuk mendekatkan hubungan masyarakat pri dan
nonpri di Medan yang tampaknya runcing? "Kalau para keturunan
Cina itu bisa menjadi WNI yang baik, dan Keppres, 14 dijalankan
dengan konsekuen, sentimen-sentimen itu pasti tak akan ada
lagi," kata T.D. Pardede.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini