Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"Kami Ikut Bilang Amin..."

Kehidupan penduduk keturunan Cina di beberapa daerah dan hubungannya dengan warga pribumi. potret desa celeungsi, bogor sebagian besar penduduknya keturunan cina.

26 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DINDING rumah mereka umumnya terbuat dari bambu dengan lantai semen. Di pintu masuk tertempel kertas hu (jimat) dan bumbung kecil berwarna merah untuk hio (lidi dupa). Di ruang tengah terdapat meja abu leluhur dengan hiasan foto engkong dan emak almarhum, berdampingan dengan lukisan Nabi mereka: Konghucu. Itulah potret Desa Cileungsi, yang terletak 40 km dari Jakarta. Desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor ini mempunyai 900 warga keturunan Cina. Nenek moyang mereka datang dari Hokkian. "Owe mah sudah termasuk baba paling tidak sudah 5 turunan diam di sini," ujar Tan Pang Tjoan, 25 tahun, yang mempunyai perusahaan kerupuk jengkol. Jalan tanah selebar 1 meter di kampung ini akan berubah jadi bubur kalau hujan turun. Pagar bambu membatasi masing-masing rumah, gunanya untuk mencegah babi peliharaan mereka saling bertandang. Di siang hari, alunan lagu-lagu dang-dut berkumandang dari radio transistor. Bila malam tiba, anak-anak berkumpul mengelilingi beberapa pesawat televisi yang dihidupkan dengan tenaga aki. Penduduk keturunan Cina desa ini kebanyakan bekerja di Jakarta sebagai buruh. Ada juga yang memiliki toko. Para muda-mudinya paling tinggi tamatan sekolah Ianjutan pertama. Sedang penduduk pribumi umumnya bekerja sebagai pedagang tekstil atau di perusahaan pembakaran genteng dan bata. Sekalipun tempat tinggal antara tenglang (keturunan Cina) dengan kaum (pribumi) terpisah, hubungan mereka erat. "Kalau pihak pribumi mengadakan hajat pernikahan atau sunatan, kami selalu diundang. Begitu juga sebaliknya," kata Pang Tjoan yang menjadi Ketua Pemuda Tridharma di desa ini. "Dan kalau diundang pasti kami datang," lanjut Yo Tian Hoat yang sehari-harinya menjadi tukang batu. "Partisipasi dari WNI keturunan Cina di sini memang cukup tinggi," ucap Endang Wazkih, Camat Cileungsi. Ia mengambil satu contoh: waktu ada pemugaran musholla di daerahnya, ada warga nonpri yang menyumbang dana tanpa mau disebut namanya. Diakuinya umumnya kehidupan ekonomi warga Cina lebih rendah dibanding yang pribumi. "Di sini aneh, sepintas lalu malah pribuminya yang eksklusif karena masalah agama," ujar Endang. Tapi, perkawinan campuran -- umumnya pria nonpri dengan wanita pribumi -- banyak juga terjadi. Keadaan yang sama terlihat juga di Desa Pangkalan, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Jawa Barat. Kalau tiba hari raya Idul Fitri, para warga pribumi biasa mengantar kue ke tetangganya yang nonpri. "Kalau tiba Imlek bagian kami yang mengantar kue Cina," cerita Sie Sie Tjoen, 55 tahun, yang WNI. Warga keturunan Cina di desa ini berjumlah 1.291 orang, sedang pribuminya berjumlah 8.886 orang. Menurut catatan Kantor Kecamatan Teluk Naga, di kecamatan ini tinggal 7.103 orang warga nonpri dan 71.405 pribumi. Pesta yang diadakan warga nonpri umumnya berlangsung 2 hari. Hari pertama dihidangkan makanan tanpa daging babi karena tamunya tetangga pribumi Selamatan pembukaan rumah baru milik keturunan Cina dilakukan menurut agama Islam, dipimpin ulama setempat. "Itu untuk memberi hormat. Lagipula yang kebagian selamat 'kan kami juga sebagai pemilik rumah," ucap Sie Sie Tjoen. "Kalau dia bilang amin, kami pun ikut bilang amin . . . ," lanjutnya. "Di sini yang suka iri malah antara sesama tenglang," kata Liem Tjoan Hong, 31 tahun, pemilik warung yang juga merangkap petani pemilik sawah. Luas sawahnya 6 kotak, dikerjakan secara bagi hasil dengan tetangganya yang pribumi. Pengalaman Liem yang paling menggembirakan terjadi tahun lalu, tatkala ia membangun rumah. Beberapa tetangganya yang pribumi secara sukarela datang membantu tanpa diminta. Mereka menolak dibayar. "Di sini memang tidak ada masalah pri dan nonpri. Mereka seakan-akan telah menjadi satu," Camat Rachmad Aseran membenarkan. "Antara kami dengan orang Cina sama-sama saja, tidak ada masalah," kata Saman, seoorang warga Desa Pangkalan yang sehari-harinya berdagang ayam. Hubungan antara pri dan nonpri yang erat juga bisa dilihat di Pontianak, Kalimantan Barat. Penduduk Cina di sana umumnya sudah bermukim ratusan tahun lalu. Di beberapa tempat malahan lebih lama dari golongan pribumi. Sebagai contoh misalnya Kampung Benua Melayu Darat, Kecamatan Pontianak Selatan. Di kampung yang berpenduduk 26 ribu orang pribumi merupakan minoritas -- hanya 20%. Bahasa Cina menjadi bahasa utama. Banyak pribumi yang juga fasih bahasa itu. Berkumpul kongko-kongko antara pri dan nonpri sudah merupakan pemandangan biasa. "Yang mana Cina mana Melayu sama saja di sini," kata M. Said, salah satu Ketua Rukun Tetangga. Tapi di Medan lain pula suasananya. Sekali, pernah Mona Chang, guru Taman Kanak-kanak di Perguruan Sutomo dimaki seorang pemuda Cina tatkala berbelanja di Pasar Hongkong Medan: "Bangsat kamu. Lu mau kawin dengan huana (pribumi) ya. Bikin malu bangsa saja." Mona, 19 tahun, pernah berperan dalam seri cerita-foto sebagai seorang gadis Cina yang akhirnya menikah dengan seorang pemuda pribumi. Cerita-foto ini disiarkan harian Analisa. Gara-gara itu pula rumah Paulus M. Cukrono, pengarang kisah itu, dilempari batu oleh beberapa pemuda Cina. "Cina Medan memang lain dengan mereka yang di Jawa. Umumnya mereka tidak bisa berbahasa Indonesia sekalipun sudah menjadi WNI," kata Amran Yusuf, Ketua DPC Pemuda Pancasila Sum-Ut. Tokoh pengusaha Sumatera Utara, T.D. Pardede mempunyai pendapat serupa. Yang juga menggusarkan kalangan pribumi di Medan adalah adanya iklan lowongan pekerjaan yang diembel-embeli: "Bisa berbahasa Mandarin" "Iklan seperti itu apa bukan diskriminasi namanya," ucap Husni Malik, seorang tokoh pemuda Medan. Toh tidak semua cerita tentang keturunan Cina Medan sumbang. Wahyu Utomo alias Tukia, 45 tahun, seorang tokoh pengusaha Cina Medan mengakui, banyak orang Cina Medan yang suka pamer dan demonstratif. "Terutama di kalangan anak muda," katanya. Sentimen yang tumbuh terhadap non-pri dianggapnya karena keadaan sosial-ekonomi. Karena itu ia mendukung kebijaksanaan pemerintah lewat Keppres 14. Lebih dari itu Tukia berpendapat, usaha pembauran harus lebih digalakkan guna menghindari keruncingan. Antara lain lewat sekolah dan olah raga. Usaha membaurkan pri dan nonpri lewat olahraga ini misalnya, telah dicobanya dengan menyediakan "Wahyu Utomo Cup" yang diperebutkan sejak 1979 untuk kejuaraan bola bsket. Digalakkannya juga olah raga silat yang selama ini dikenal sebagai olah raga pribumi. Adakah harapan untuk mendekatkan hubungan masyarakat pri dan nonpri di Medan yang tampaknya runcing? "Kalau para keturunan Cina itu bisa menjadi WNI yang baik, dan Keppres, 14 dijalankan dengan konsekuen, sentimen-sentimen itu pasti tak akan ada lagi," kata T.D. Pardede.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus