Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mencari Jalan Buat Tenglang (box)

Melalui pembaruan akan menumbuhkan nasionalis yang kuat a.l. usaha mempribumikan ekonomi dan perlunya warga keturunan cina bekerja di bidang non-ekonomi (nas)

26 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU setiap orang keturunan Cina diberi kesempatan untuk mengalami dinas militer, itu paling baik." Resep ini dikemukakan oleh K. Sindhunata, 47 tahun, Ketua Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB). Agaknya itu didasarkan atas pengalamannya sendiri. Begitu lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1961, Sindhunata langsung mendaftar masuk Angkatan Laut. "Saya melihat ABRI sebagai simbol nasionalisme yang paling kuat," ujarnya pekan lalu. Tahun 1971 Sindhunata mengundurkan diri dari ALRI dan terjun di usaha konsultan. "Pengalaman saya sebagai perwira ALRI mempertebal keyakinan saya bahwa hanya melalui pembauran, seorang yang berasal dari latar belakang Kebudayaan serta keturunan darah lain bisa jadi nasionalis yang kuat," kata Sindhunata. Sebelum 1965, di kalangan masyarakat Cina Indonesia terdapat berbagai aliran. Antara lain kelompok integrasi yang menolak asimilasi sosio-kultural dan tetap mempertahankan kebudayaan Cina, serta kelompok yang mendukung pembauran tuntas ke dalam masyarakat Indonesia. Pilihan kedua inilah yang tampaknya sekarang menang. Dikeluarkannya Inpres no. 2/1980 dan Keppres no. 13/1980 yang memudahkan memperoleh kewarganegaraan R.I. jelas mendorong usaha ini. Usaha menggalakkan pembauran hli sudah lama dilakukan dengan berbagai cara, antara lain peraturan yang menganjurkan pergantian nama pada 1966, larangan sekolah Cina yang bersifat khusus serta larangan menerbitkan koran berbahasa Cina, kecuali yang diterbitkan pemerintah. Tapi pembauran yang tuntas tampaknya masih jauh dari berhasil. "Secara yuridis memang semua lapangan pekerjaan terbuka bagi siapa pun, namun secara psikologis tertutup atau sangat sulit bagi keturunan Cina," ujar Harry Tjan Silalahi, 46 tahun, anggota Dewan Pertimbangan Agung. Akibatnya banyak yang kembali berusaha di bidang ekonomi. Karena itu Harry Tjan melihat perlunya dibuka kesempatan konkrit bagi keturunan Cina untuk bekerja di bidang non-ekonomi seperti di pemerintahan atau ABRI. "Peranan publik keturunan Cina harus diperbesar. Tidak terbatas di bidang ekonomi saja, agar rakyat tidak menjadi semakin jengkel,"'lanjut Harry. Prasangka bahwa keturunan Cina hanya mau berusaha di bidang yang menghasilkan untung memang masih sangat tebal di Indonesia. Masyarakat Indonesia cenderung menyamaratakan dan menganggap semua keturunan Cina kaya dan termasuk golongan ekonomi kuat. Lebih jauh lagi, terdapat anggapan kuat bahwa keturunan Cina menguasai ekonomi Indonesia. Suatu studi yang mendalam mengenai masalah ini memang belum pernah dilakukan. Namun bahwa peranan warga keturunan Cina di bidang perdagangan memang besar, itu harus diakui. Karena itulah usaha untuk mempribumikan ekonomi Indonesia sejak dulu terus dilakukan, dengan risiko memberi perlakuan yang berbeda terhadap golongan nonpri. Usaha itu misalnya pernah dilakukan lewat Gerakan Assaat pada 1956 dan dikeluarkan Peraturan Pemerintah no. 10/1959. Munculnya pemerintah Orde Baru yang menekankan pada pembangunan ekonomi agaknya telah memberi peluang lebih besar lagi bagi keturunan Cina yang memang lebih terdidik dalam bidang niaga. Peranan yang membesar ini dengan sendirinya mengundang lebih banyak sorotan dan memperbesar sentimen. Tuduhan akan timbulnya "cukongisme" dan kelas penguasa-pengusaha yang bekerja sama dengan pengusaha Cina, telah membengkakkan keresahan ini. PERISTIWA 5 Agustus 1973 di Bandung serta peristiwa 15 Januari 1974 sedikit banyak mencerminkan gejolak sosial tersebut. Menyadari ini pemerintah telah menurunkan berbagai peraturan untuk membantu golongan ekonomi lemah. Misalnya lewat Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Inpres Pasar dan Keppres 14 yang pekan lalu disempurnakan menjadi Keppres 14A (lihat Ekonomi & Bisnis). Sejauh mana usaha-usaha tersebut berhasil? Lahirnya organisasi seperti HIPPI (Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia) merupakan salah satu bukti bahwa usaha itu masih jauh dari berhasil. Keresahan di antara kalangan pribumi masih tebal. Banyak faktor lain yang ikut mendukung perasaan ini. "Bukan karena pribumi yang miskin dan nonpri yang kaya yang menimbulkan keresahan itu," kata Blegoh Sumaro, Ketua DPRD Ja-Tim pada TEMPO. "Tapi adanya perbedaan perlakuan. Kalau nonpri yang berurusan, segala sesuatunya serba mudah. Sedang kalau pri sulit. Itu membuat masyarakat percaya bahwa ada sesuatu yang tidak beres," lanjutnya. Keluhan semacam itu memang disuarakan banyak sekali pengusaha pribumi. "Secara sadar oknum pejabat terutama di bank yang telah menganaktirikan pri dan menganakemaskan nonpri," cerita Hardianto Kamarga, 34 tahun, Direktur Utama PT Radio Frequency Communication Bandung. Ia berpendapat, bila pri dan nonpri diberi perlakuan dan kesempatan yang sama, pengusaha pri tidak akan ketinggalan. Para pengusaha pribumi toh mengakui, pengusaha nonpri mempunyai banyak kelebihan karena itu mereka lebih berhasil. "Mereka memiliki motivasi yang kuat, lebih tekun dan tahan menderita serta memiliki solidaritas yang tinggi di antara kelompoknya," kata Tb. Iwan Zoehra, Ketua Umum HIPMI Jawa Barat. Tidak adanya kelas pengusaha pribumi yang kuat dan bisa mengimbangi pengusaha nonpri tampaknya merupakan masalah utama untuk bisa mengendurkan kecurigaan di antara pribumi. Beberapa peraturan yang ada agaknya belum cukup untuk bisa meningkatkan apalagi menciptakan kelas pengusaha pribumi yang kuat. "Memang diperlukan pengaturan ekonomi yang baik supaya yang hadir adalah wajah nasional," kata Harry Tjan. Kesadaran itu rupanya tumbuh juga di kalangan pengusaha nonpri. Bersamaan dengan diselenggarakannya Penataran P-4 bagi para pengusaha swasta yang sebagian besar diikuti pengusaha nonpri akhir Februari lalu di Jakarta, telah tercapai persetujuan untuk membentuk apa yang dinamakan Dana Solidaritas Nasional. Diprakarsai oleh pengusaha raksasa Liem Sioe Liong dan William Suryadjaya dari P.T. Astra, dana ini kabarnya telah mencapai Rp 6 milyar. Untuk apa? Suatu sumber TEMPO meyakinkan, dana ini tidak akan digunakan untuk tujuan politik, tapi akan digunakan untuk tujuan sosial. Salah satu hal yang direncanakan adalah untuk ikut mendidik dan menumbuhkan kualitas pengusaha pribumi. Program yang lebih konkrit saat ini masih disusun. Berhasil atau tidaknya usaha itu tentu masih harus ditunggu. Namun adanya iktikad itu merupakan pertanda baik. Sudah terlalu dalam jurang prasangka antara golongan pri dan nonpri, hingga usaha yang bagaimanapun akan memerlukan waktu yang panjang untuk berhasil. Yang paling utama tampaknya: perlu adanya suatu kebijaksanaan pemerintah yang lebih konsisten dan terpadu dalam masalah ini. Langkah-langkah yang dilakukan selama ini masih memberi kesan tambal sulam. Masalah Cina di Indonesia jelas bukan sekedar masalah mayoritas dan minoritas. Aksi anti-Cina yang timbul sering didasari alasan lain yang lebih hakiki. Sekalipun sudah ratusan tahun hidup berdampingan, ternyata banyak hal yang belum diketahui masing-masing pihak. Akibatnya ada kecenderungan menyamaratakan. Sentimen bisa timbul kerena ketidaktahuan. Beberapa peraturan pemerintah, misalnya pemberian kartu penduduk yang berbeda untuk golongan keturunan Cina misalnya dianggap "mencinakan kembali mereka yang secara kultural dan mental sudah 100% Indonesia." Golongan nonpri sebaliknya juga perlu lebih memahami bila ada peraturan yang memang berbau mendiskriminasikan mereka dan tidak buru-buru menuduh itu sebagai "rasialis". Karena bukankah masalahnya adalah untuk lebih menyeimbangkan kedudukan yana berat sebelah itu, demi kebaikan dan kesejahteraan bersama? Mayjen Sunarso, Ketua Badan Koor dinasi Masalah Cina (BKMC) berpendapat perlu adanya kesatuan tata nilai di antara keturunan Cina dan Indonesia. Jika kesatuan ini tercapai, pembauran akan berjalan sendiri. Salah satu cara untuk mencapainya adalah lewat Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah. "Dengan PMP itulah diusahakan menumbuhkan rasa Indonesia," ujarnya pada TEMPO. Ketua BKMC ini juga tidak setuju dengan istilah pri dan nonpri. "Tidak ada pribumi di Indonesia. Istilah itu hanyalah warisan penjajah Belanda," tandas Sunarso. Menurut sejarah, ujar Sunarso pula, bangsa Indonesia berasal dari Vietnam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus