KALAU setiap orang keturunan Cina diberi kesempatan untuk
mengalami dinas militer, itu paling baik." Resep ini dikemukakan
oleh K. Sindhunata, 47 tahun, Ketua Badan Komunikasi Penghayatan
Kesatuan Bangsa (Bakom PKB). Agaknya itu didasarkan atas
pengalamannya sendiri. Begitu lulus dari Fakultas Hukum
Universitas Indonesia pada 1961, Sindhunata langsung mendaftar
masuk Angkatan Laut. "Saya melihat ABRI sebagai simbol
nasionalisme yang paling kuat," ujarnya pekan lalu.
Tahun 1971 Sindhunata mengundurkan diri dari ALRI dan terjun di
usaha konsultan. "Pengalaman saya sebagai perwira ALRI
mempertebal keyakinan saya bahwa hanya melalui pembauran,
seorang yang berasal dari latar belakang Kebudayaan serta
keturunan darah lain bisa jadi nasionalis yang kuat," kata
Sindhunata.
Sebelum 1965, di kalangan masyarakat Cina Indonesia terdapat
berbagai aliran. Antara lain kelompok integrasi yang menolak
asimilasi sosio-kultural dan tetap mempertahankan kebudayaan
Cina, serta kelompok yang mendukung pembauran tuntas ke dalam
masyarakat Indonesia. Pilihan kedua inilah yang tampaknya
sekarang menang. Dikeluarkannya Inpres no. 2/1980 dan Keppres
no. 13/1980 yang memudahkan memperoleh kewarganegaraan R.I.
jelas mendorong usaha ini.
Usaha menggalakkan pembauran hli sudah lama dilakukan dengan
berbagai cara, antara lain peraturan yang menganjurkan
pergantian nama pada 1966, larangan sekolah Cina yang bersifat
khusus serta larangan menerbitkan koran berbahasa Cina, kecuali
yang diterbitkan pemerintah.
Tapi pembauran yang tuntas tampaknya masih jauh dari berhasil.
"Secara yuridis memang semua lapangan pekerjaan terbuka bagi
siapa pun, namun secara psikologis tertutup atau sangat sulit
bagi keturunan Cina," ujar Harry Tjan Silalahi, 46 tahun,
anggota Dewan Pertimbangan Agung. Akibatnya banyak yang kembali
berusaha di bidang ekonomi. Karena itu Harry Tjan melihat
perlunya dibuka kesempatan konkrit bagi keturunan Cina untuk
bekerja di bidang non-ekonomi seperti di pemerintahan atau ABRI.
"Peranan publik keturunan Cina harus diperbesar. Tidak terbatas
di bidang ekonomi saja, agar rakyat tidak menjadi semakin
jengkel,"'lanjut Harry.
Prasangka bahwa keturunan Cina hanya mau berusaha di bidang yang
menghasilkan untung memang masih sangat tebal di Indonesia.
Masyarakat Indonesia cenderung menyamaratakan dan menganggap
semua keturunan Cina kaya dan termasuk golongan ekonomi kuat.
Lebih jauh lagi, terdapat anggapan kuat bahwa keturunan Cina
menguasai ekonomi Indonesia.
Suatu studi yang mendalam mengenai masalah ini memang belum
pernah dilakukan. Namun bahwa peranan warga keturunan Cina di
bidang perdagangan memang besar, itu harus diakui. Karena itulah
usaha untuk mempribumikan ekonomi Indonesia sejak dulu terus
dilakukan, dengan risiko memberi perlakuan yang berbeda terhadap
golongan nonpri. Usaha itu misalnya pernah dilakukan lewat
Gerakan Assaat pada 1956 dan dikeluarkan Peraturan Pemerintah
no. 10/1959.
Munculnya pemerintah Orde Baru yang menekankan pada pembangunan
ekonomi agaknya telah memberi peluang lebih besar lagi bagi
keturunan Cina yang memang lebih terdidik dalam bidang niaga.
Peranan yang membesar ini dengan sendirinya mengundang lebih
banyak sorotan dan memperbesar sentimen. Tuduhan akan timbulnya
"cukongisme" dan kelas penguasa-pengusaha yang bekerja sama
dengan pengusaha Cina, telah membengkakkan keresahan ini.
PERISTIWA 5 Agustus 1973 di Bandung serta peristiwa 15
Januari 1974 sedikit banyak mencerminkan gejolak sosial
tersebut. Menyadari ini pemerintah telah menurunkan berbagai
peraturan untuk membantu golongan ekonomi lemah. Misalnya lewat
Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen
(KMKP), Inpres Pasar dan Keppres 14 yang pekan lalu
disempurnakan menjadi Keppres 14A (lihat Ekonomi & Bisnis).
Sejauh mana usaha-usaha tersebut berhasil? Lahirnya organisasi
seperti HIPPI (Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia) merupakan
salah satu bukti bahwa usaha itu masih jauh dari berhasil.
Keresahan di antara kalangan pribumi masih tebal. Banyak faktor
lain yang ikut mendukung perasaan ini.
"Bukan karena pribumi yang miskin dan nonpri yang kaya yang
menimbulkan keresahan itu," kata Blegoh Sumaro, Ketua DPRD
Ja-Tim pada TEMPO. "Tapi adanya perbedaan perlakuan. Kalau
nonpri yang berurusan, segala sesuatunya serba mudah. Sedang
kalau pri sulit. Itu membuat masyarakat percaya bahwa ada
sesuatu yang tidak beres," lanjutnya.
Keluhan semacam itu memang disuarakan banyak sekali pengusaha
pribumi. "Secara sadar oknum pejabat terutama di bank yang telah
menganaktirikan pri dan menganakemaskan nonpri," cerita
Hardianto Kamarga, 34 tahun, Direktur Utama PT Radio Frequency
Communication Bandung. Ia berpendapat, bila pri dan nonpri
diberi perlakuan dan kesempatan yang sama, pengusaha pri tidak
akan ketinggalan.
Para pengusaha pribumi toh mengakui, pengusaha nonpri mempunyai
banyak kelebihan karena itu mereka lebih berhasil. "Mereka
memiliki motivasi yang kuat, lebih tekun dan tahan menderita
serta memiliki solidaritas yang tinggi di antara kelompoknya,"
kata Tb. Iwan Zoehra, Ketua Umum HIPMI Jawa Barat.
Tidak adanya kelas pengusaha pribumi yang kuat dan bisa
mengimbangi pengusaha nonpri tampaknya merupakan masalah utama
untuk bisa mengendurkan kecurigaan di antara pribumi. Beberapa
peraturan yang ada agaknya belum cukup untuk bisa meningkatkan
apalagi menciptakan kelas pengusaha pribumi yang kuat. "Memang
diperlukan pengaturan ekonomi yang baik supaya yang hadir adalah
wajah nasional," kata Harry Tjan.
Kesadaran itu rupanya tumbuh juga di kalangan pengusaha nonpri.
Bersamaan dengan diselenggarakannya Penataran P-4 bagi para
pengusaha swasta yang sebagian besar diikuti pengusaha nonpri
akhir Februari lalu di Jakarta, telah tercapai persetujuan untuk
membentuk apa yang dinamakan Dana Solidaritas Nasional.
Diprakarsai oleh pengusaha raksasa Liem Sioe Liong dan William
Suryadjaya dari P.T. Astra, dana ini kabarnya telah mencapai Rp
6 milyar. Untuk apa?
Suatu sumber TEMPO meyakinkan, dana ini tidak akan digunakan
untuk tujuan politik, tapi akan digunakan untuk tujuan sosial.
Salah satu hal yang direncanakan adalah untuk ikut mendidik dan
menumbuhkan kualitas pengusaha pribumi. Program yang lebih
konkrit saat ini masih disusun.
Berhasil atau tidaknya usaha itu tentu masih harus ditunggu.
Namun adanya iktikad itu merupakan pertanda baik. Sudah terlalu
dalam jurang prasangka antara golongan pri dan nonpri, hingga
usaha yang bagaimanapun akan memerlukan waktu yang panjang untuk
berhasil.
Yang paling utama tampaknya: perlu adanya suatu kebijaksanaan
pemerintah yang lebih konsisten dan terpadu dalam masalah ini.
Langkah-langkah yang dilakukan selama ini masih memberi kesan
tambal sulam. Masalah Cina di Indonesia jelas bukan sekedar
masalah mayoritas dan minoritas. Aksi anti-Cina yang timbul
sering didasari alasan lain yang lebih hakiki.
Sekalipun sudah ratusan tahun hidup berdampingan, ternyata
banyak hal yang belum diketahui masing-masing pihak. Akibatnya
ada kecenderungan menyamaratakan. Sentimen bisa timbul kerena
ketidaktahuan. Beberapa peraturan pemerintah, misalnya pemberian
kartu penduduk yang berbeda untuk golongan keturunan Cina
misalnya dianggap "mencinakan kembali mereka yang secara
kultural dan mental sudah 100% Indonesia." Golongan nonpri
sebaliknya juga perlu lebih memahami bila ada peraturan yang
memang berbau mendiskriminasikan mereka dan tidak buru-buru
menuduh itu sebagai "rasialis". Karena bukankah masalahnya
adalah untuk lebih menyeimbangkan kedudukan yana berat sebelah
itu, demi kebaikan dan kesejahteraan bersama?
Mayjen Sunarso, Ketua Badan Koor dinasi Masalah Cina (BKMC)
berpendapat perlu adanya kesatuan tata nilai di antara keturunan
Cina dan Indonesia. Jika kesatuan ini tercapai, pembauran akan
berjalan sendiri. Salah satu cara untuk mencapainya adalah lewat
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah. "Dengan PMP itulah
diusahakan menumbuhkan rasa Indonesia," ujarnya pada TEMPO.
Ketua BKMC ini juga tidak setuju dengan istilah pri dan nonpri.
"Tidak ada pribumi di Indonesia. Istilah itu hanyalah warisan
penjajah Belanda," tandas Sunarso. Menurut sejarah, ujar Sunarso
pula, bangsa Indonesia berasal dari Vietnam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini