Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sekali Lagi Masalah Cina Dari Tangerang Ke Ujungpandang

Aksi anti cina berkobar di ujungpandang dan nyaris meledak di medan, sentimen anti cina di beberapa kota masih ada. (nas)

26 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUHARTI, pembantu rumah tangga seorang Cina pemilik toko di Ujungpandang, meninggal dunia dengan mendadak. Segera beredar desas-desus: Suharti mati dianiaya majikannya. Massa yang marah spontan berkumpul. Begitu ada yang mulai menimpuk etalase dengan batu, kerusuhan segera tak terbendung. Toko-toko dan kendaraan bermotor milik orang Cina menjadi sasaran pengrusakan. Ribuan orang -- termasuk anak kecil -- terjun dalam aksi yang terjadi 2 pekan lalu itu. Tercatat 1.123 rumah dan toko, 29 mobil dan 42 sepeda motor yang dirusak. Kerugian ditaksir Rp 318 juta. Sejarah negara ini sejak 1945 ditandai dengan begitu banyak aksi-aksi anti-Cina seperti itu. Diawali dengan peristiwa Tangerang pada 1946 disusul banyak kejadian lain. Yang menonjol antara lain Gerakan ]0 Mei 1963 di Bandung dan Jawa Barat, 1966 di Aceh dan Sumatera Utara, 1967 di Jakarta dan Peristiwa 5 Agustus 1973 di Bandung. Yang terakhir di Ujungpandang 9-11 April lalu dan juga di Medan yang nyaris timbul. Mengapa sentimen anti-Cina begitu gampang dibangkitkan? Apakah aksi semacam itu pencerminan dari suatu gejolak sosial? Patutkah semua kesalahan ditimpakan pada suatu golongan saja, pribumi ataupun nonpribumi? Jawabnya bisa macam-macam. Namun pola aksi itu boleh dibilang hampir sama. Suatu musibah yang menimpa seorang warga pribumi akibat perlakuan keturunan Cina, berkembang atau dikembangkan secara berlebih-lebihan lewat desas-desus sehingga mengundang amarah masyarakat, yang segera menyundut aksi anti-Cina. Biasanya aksi yang semula spontan ini lalu diikuti gelombang berikutnya yang lebih terencana dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Tapi mengenai kerusuhan di Ujungpandang, Prof. Dr. Mattulada dari Universitas Hasanuddin Ujungpandang menganggapnya bukan kemarahan kultur orang Bugis. Hubungan orang Cina dan orang Bugis Makassar, menurut Mattulada baik sekali. "Apa yang terjadi adalah perbuatan kanak-kanak yang tertekan lalu merusak barang-barang. Itu bukan sentimen anti-Cina. Itu hanya gejala umum dari orang melarat yang tertindas," kata Mattulada. Betapapun sentimen anti-Cina terbukti gampang dibangkitkan. Menurut Dr. Suwarsih Warnaen, orang Indonesia umumnya menilai orang Cina sebagai pelit, licik, curiga dan mempunyai ikatan keluarga yang kuat. "Ikatan keluarga yang kuat dapat mengakibatkan eksklusifisme," ujar Suwarsih. Pendapatnya ini didasarkan pada hasil penelitiannya sejak 1972 yang dijadikannya disertasi untuk mencapai gelar doktor dalam ilmu Psikologi di Universitas Indonesia tahun lalu. Stereotip negatif tentang orang Cina ini, kata Suwarsih, dikokohkan oleh kenvataan sehari-hari, misalnya penyelewengan ekonomi yang dilakukan orang Cina yang disiarkan media massa. Misalnya yang dilakukan Robby Cahyadi dan Endang Wijaya. Ditambah pula dengan anggapan bahwa orang-orang Cina lebih menikmati hasil kemerdekaan Indonesia serta gaya hidup mereka yang menyolok. "Faktor-faktor inilah yang menyebabkan mengapa sentimen anti-Cina gampang meledak," ujar Suwarsih. Yang sering tidak diketahui orang adalah bahwa di kalangan masyarakat Cina Indonesia yang berjumlah sekitar 3,5 juta, terdapat banyak perbedaan yang mendasar dan bukan suatu kelompok yang monolitis. Antara lain ada perbedaan antara yang asing dan warga negara Indonesia ada yang totok (berorientasi ke sistem nilai Cina) dan ada yang peranakan (berorientasi ke sistem nilai Idonesia, misalnya atau kebudayaan setempat. Hubungan antara Cina peranakan dan pribumi misalnya sering lebih erat dibanding hubungan Cina totok dan peranakan (lihat box). Masyarakat etnis Cina juga mempunyai kecenderungan untuk berkonsentrasi dalam kegiatan ekonomis tertentu. Antara lain faktor-faktor tersebut di atas itulah yang menurut Dr. Mely G. Tan -- staf peneliti Leknas-LIPI -- menjadikan mereka suatu golongan yang menyolok, tersedia dan dianggap tidak berdaya. Akibatnya mereka mudah dijadikan obyek "agresi yang diselewengkan" (deflected aggression. Artinya kekerasan yang tidak ditujukan pada sasaran yang sebenarnya (karena tidak jelas, terlalu kuat atau terlalu tinggi), tapi diselewengkan pada sasaran yang lebih empuk yang kebetulan "tersedia." Betulkah keturunan Cina hanya dijadikan kambing hitam untuk pelampiasan gejolak keresahan? Teori lain yang banyak pendukungnya adalah: sumber utama dari kerusuhan anti-Cina adalah kompetisi ekonomi. Golongan pribumi berusaha merebut pengaruh dan penguasaan ekonomi dari para pedagang Cina. Faktor lain hanya merupakan faktor pelengkap. Golongan pribumi ini terutama berasal dari kelompok Islam. Berdirinya Sarikat Dagang Islam pada 1911 misalnya merupakan usaha untuk mematahkan penguasaan perdagangan oleh golongan Cina. Karena itulah, kata para pendukung teori ini, aksi anti-Cina lebih sering timbul di daerah di mana golongan santri kuat. Jika diteliti aksi anti-Cina yang terjadi di Indonesia didasari oleh banyak sebab yang saling berkaitan. Antara lain kecurigaan sosio-kultural, "beban sejarah" keturunan Cina akibat politik Belanda dulu yang memisahkan mereka dengan pribumi, ketidakpuasan dan ketidakadilan sosial dan ekonomi, persaingan ekonomi, anggapan bahwa orang-orang Cina di Indonesia adalah agen negara besar seperti RRC serta ketidakpuasan golongan tak mampu terhadap golongan mampu. Situasi politik yang labil juga bisa mempercepat timbulnya kerusuhan. Sedang tindakan yang cepat dan tegas, seperti yang dilakukan para petugas keamanan di Medan belum lama ini, ternyata bisa mencegah terjadinya aksi yang meluas. Yang jelas, adanya aksi anti-Cina atau aksi rasialis lain menunjukkan belum tercapainya integrasi nasional di Indonesia. Agaknya karena itulah pemerintah sangat prihatin sekali dengan masalah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan/kekuatan sosial). Masalah ini memang sangat peka dan jika timbul bisa mengguncangkan sekali stabilitas nasional. Mungkin karena kekhawatiran itu pula, masalah rasial -- yang konkrit ada dan sering terjadi -- sering ditutupi. Ditinjau dari segi keamanan, alasan itu bisa diterima. Tapi dari tujuan jangka panjang, agaknya kurang mendidik. Sebab, bila tujuan utama adalah untuk bisa menghilangkan peristiwa semacam itu, perlu kejadian itu lebih terbuka ditelaah, dengan semangat pemahaman tanpa perlu mencari kambing hitam. Lewat usaha mawas diri seperti itu, bisa disimak kekurangan-kekurangan yang ada untuk diambil langkah yang perlu untuk memperbaiki keadaan. Agaknya, dalam semangat pemahaman itu pula Prof. Teng Cing Leng, guru besar Hukum Perdata Luar Biasa Universitas Hasanuddin menyimpulkan. "Tidak perlu kita cari siapa yang salah atau menuduh ini itu. Yang penting harus dilihat semua aspek, sosial maupun budaya," ucapnya pekan lalu. Dari situ, menurut Teng, integrasi di semua lapangan bisa dipercepat. Seorang tokoh keturunan Cina Ujungpandang menyambung: "WNI keturunan Cina harus secara batiniah merasa memiliki Indonesia." Kekayaan materi, menurutnya, tidak berguna jika batin tidak tenteram. Karena itu pengembangan ekonomi pribumi secara konkrit perlu didukung. Dengan keadaan ekonomi Indonesia yang lebih baik, warga keturunan Cina juga akan beruntung. "Selama ketimpangan ekonomi ini tidak bisa diatasi, 3 atau 5 tahun lagi peristiwa semacam ini bisa meledak lagi. Mungkin temanya bukan anti-Cina, tapi dalam bentuk lain," ujar tokoh yang keberatan disebut namanya ini. Sebuah ramalan yang agak kelabu. Tapi bukankah musibah itu bisa dihindarkan, jika langkah yang tepat bisa dilakukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus