SUHARTI, pembantu rumah tangga seorang Cina pemilik toko di
Ujungpandang, meninggal dunia dengan mendadak. Segera beredar
desas-desus: Suharti mati dianiaya majikannya. Massa yang marah
spontan berkumpul. Begitu ada yang mulai menimpuk etalase
dengan batu, kerusuhan segera tak terbendung. Toko-toko dan
kendaraan bermotor milik orang Cina menjadi sasaran pengrusakan.
Ribuan orang -- termasuk anak kecil -- terjun dalam aksi yang
terjadi 2 pekan lalu itu. Tercatat 1.123 rumah dan toko, 29
mobil dan 42 sepeda motor yang dirusak. Kerugian ditaksir Rp 318
juta.
Sejarah negara ini sejak 1945 ditandai dengan begitu banyak
aksi-aksi anti-Cina seperti itu. Diawali dengan peristiwa
Tangerang pada 1946 disusul banyak kejadian lain. Yang menonjol
antara lain Gerakan ]0 Mei 1963 di Bandung dan Jawa Barat, 1966
di Aceh dan Sumatera Utara, 1967 di Jakarta dan Peristiwa 5
Agustus 1973 di Bandung. Yang terakhir di Ujungpandang 9-11
April lalu dan juga di Medan yang nyaris timbul.
Mengapa sentimen anti-Cina begitu gampang dibangkitkan? Apakah
aksi semacam itu pencerminan dari suatu gejolak sosial? Patutkah
semua kesalahan ditimpakan pada suatu golongan saja, pribumi
ataupun nonpribumi?
Jawabnya bisa macam-macam. Namun pola aksi itu boleh dibilang
hampir sama. Suatu musibah yang menimpa seorang warga pribumi
akibat perlakuan keturunan Cina, berkembang atau dikembangkan
secara berlebih-lebihan lewat desas-desus sehingga mengundang
amarah masyarakat, yang segera menyundut aksi anti-Cina.
Biasanya aksi yang semula spontan ini lalu diikuti gelombang
berikutnya yang lebih terencana dan dimanfaatkan oleh
pihak-pihak tertentu.
Tapi mengenai kerusuhan di Ujungpandang, Prof. Dr. Mattulada
dari Universitas Hasanuddin Ujungpandang menganggapnya bukan
kemarahan kultur orang Bugis. Hubungan orang Cina dan orang
Bugis Makassar, menurut Mattulada baik sekali. "Apa yang terjadi
adalah perbuatan kanak-kanak yang tertekan lalu merusak
barang-barang. Itu bukan sentimen anti-Cina. Itu hanya gejala
umum dari orang melarat yang tertindas," kata Mattulada.
Betapapun sentimen anti-Cina terbukti gampang dibangkitkan.
Menurut Dr. Suwarsih Warnaen, orang Indonesia umumnya menilai
orang Cina sebagai pelit, licik, curiga dan mempunyai ikatan
keluarga yang kuat. "Ikatan keluarga yang kuat dapat
mengakibatkan eksklusifisme," ujar Suwarsih. Pendapatnya ini
didasarkan pada hasil penelitiannya sejak 1972 yang dijadikannya
disertasi untuk mencapai gelar doktor dalam ilmu Psikologi di
Universitas Indonesia tahun lalu.
Stereotip negatif tentang orang Cina ini, kata Suwarsih,
dikokohkan oleh kenvataan sehari-hari, misalnya penyelewengan
ekonomi yang dilakukan orang Cina yang disiarkan media massa.
Misalnya yang dilakukan Robby Cahyadi dan Endang Wijaya.
Ditambah pula dengan anggapan bahwa orang-orang Cina lebih
menikmati hasil kemerdekaan Indonesia serta gaya hidup mereka
yang menyolok. "Faktor-faktor inilah yang menyebabkan mengapa
sentimen anti-Cina gampang meledak," ujar Suwarsih.
Yang sering tidak diketahui orang adalah bahwa di kalangan
masyarakat Cina Indonesia yang berjumlah sekitar 3,5 juta,
terdapat banyak perbedaan yang mendasar dan bukan suatu kelompok
yang monolitis. Antara lain ada perbedaan antara yang asing dan
warga negara Indonesia ada yang totok (berorientasi ke sistem
nilai Cina) dan ada yang peranakan (berorientasi ke sistem nilai
Idonesia, misalnya atau kebudayaan setempat. Hubungan antara
Cina peranakan dan pribumi misalnya sering lebih erat dibanding
hubungan Cina totok dan peranakan (lihat box).
Masyarakat etnis Cina juga mempunyai kecenderungan untuk
berkonsentrasi dalam kegiatan ekonomis tertentu. Antara lain
faktor-faktor tersebut di atas itulah yang menurut Dr. Mely G.
Tan -- staf peneliti Leknas-LIPI -- menjadikan mereka suatu
golongan yang menyolok, tersedia dan dianggap tidak berdaya.
Akibatnya mereka mudah dijadikan obyek "agresi yang
diselewengkan" (deflected aggression. Artinya kekerasan yang
tidak ditujukan pada sasaran yang sebenarnya (karena tidak
jelas, terlalu kuat atau terlalu tinggi), tapi diselewengkan
pada sasaran yang lebih empuk yang kebetulan "tersedia."
Betulkah keturunan Cina hanya dijadikan kambing hitam untuk
pelampiasan gejolak keresahan? Teori lain yang banyak
pendukungnya adalah: sumber utama dari kerusuhan anti-Cina
adalah kompetisi ekonomi. Golongan pribumi berusaha merebut
pengaruh dan penguasaan ekonomi dari para pedagang Cina. Faktor
lain hanya merupakan faktor pelengkap. Golongan pribumi ini
terutama berasal dari kelompok Islam. Berdirinya Sarikat Dagang
Islam pada 1911 misalnya merupakan usaha untuk mematahkan
penguasaan perdagangan oleh golongan Cina. Karena itulah, kata
para pendukung teori ini, aksi anti-Cina lebih sering timbul di
daerah di mana golongan santri kuat.
Jika diteliti aksi anti-Cina yang terjadi di Indonesia didasari
oleh banyak sebab yang saling berkaitan. Antara lain kecurigaan
sosio-kultural, "beban sejarah" keturunan Cina akibat politik
Belanda dulu yang memisahkan mereka dengan pribumi,
ketidakpuasan dan ketidakadilan sosial dan ekonomi, persaingan
ekonomi, anggapan bahwa orang-orang Cina di Indonesia adalah
agen negara besar seperti RRC serta ketidakpuasan golongan tak
mampu terhadap golongan mampu.
Situasi politik yang labil juga bisa mempercepat timbulnya
kerusuhan. Sedang tindakan yang cepat dan tegas, seperti yang
dilakukan para petugas keamanan di Medan belum lama ini,
ternyata bisa mencegah terjadinya aksi yang meluas.
Yang jelas, adanya aksi anti-Cina atau aksi rasialis lain
menunjukkan belum tercapainya integrasi nasional di Indonesia.
Agaknya karena itulah pemerintah sangat prihatin sekali dengan
masalah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan/kekuatan
sosial). Masalah ini memang sangat peka dan jika timbul bisa
mengguncangkan sekali stabilitas nasional.
Mungkin karena kekhawatiran itu pula, masalah rasial -- yang
konkrit ada dan sering terjadi -- sering ditutupi. Ditinjau dari
segi keamanan, alasan itu bisa diterima. Tapi dari tujuan jangka
panjang, agaknya kurang mendidik. Sebab, bila tujuan utama
adalah untuk bisa menghilangkan peristiwa semacam itu, perlu
kejadian itu lebih terbuka ditelaah, dengan semangat pemahaman
tanpa perlu mencari kambing hitam.
Lewat usaha mawas diri seperti itu, bisa disimak
kekurangan-kekurangan yang ada untuk diambil langkah yang perlu
untuk memperbaiki keadaan.
Agaknya, dalam semangat pemahaman itu pula Prof. Teng Cing Leng,
guru besar Hukum Perdata Luar Biasa Universitas Hasanuddin
menyimpulkan. "Tidak perlu kita cari siapa yang salah atau
menuduh ini itu. Yang penting harus dilihat semua aspek, sosial
maupun budaya," ucapnya pekan lalu. Dari situ, menurut Teng,
integrasi di semua lapangan bisa dipercepat.
Seorang tokoh keturunan Cina Ujungpandang menyambung: "WNI
keturunan Cina harus secara batiniah merasa memiliki Indonesia."
Kekayaan materi, menurutnya, tidak berguna jika batin tidak
tenteram. Karena itu pengembangan ekonomi pribumi secara konkrit
perlu didukung.
Dengan keadaan ekonomi Indonesia yang lebih baik, warga
keturunan Cina juga akan beruntung. "Selama ketimpangan ekonomi
ini tidak bisa diatasi, 3 atau 5 tahun lagi peristiwa semacam
ini bisa meledak lagi. Mungkin temanya bukan anti-Cina, tapi
dalam bentuk lain," ujar tokoh yang keberatan disebut namanya
ini.
Sebuah ramalan yang agak kelabu. Tapi bukankah musibah itu bisa
dihindarkan, jika langkah yang tepat bisa dilakukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini