Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOKONGAN Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto sebagai calon presiden—juga rencana menduetkannya dengan anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka—memunculkan pertanyaan: bagaimana kualitas demokrasi Indonesia setelah Pemilihan Umum 2024 nanti?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prabowo adalah calon presiden yang diusung Partai Gerindra. Menurut sejumlah survei, elektabilitasnya kini mengungguli Ganjar Pranowo, kandidat presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Anies Baswedan, calon dari koalisi Partai NasDem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera, berada di urutan ketiga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak bisa dimungkiri, kedekatan dengan Jokowi turut mengerek popularitas Prabowo. Nama Prabowo juga mulai populer di kalangan pemilih muda. Pupus sudah ingatan publik: ia bertanggung jawab atas kasus penculikan aktivis 1998.
Dukungan Jokowi kepada Prabowo membuka peluang konstelasi baru. Putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, santer disebut bakal mendampingi Prabowo dalam pemilihan presiden 2024. Saat ini Mahkamah Konstitusi sedang membahas kemungkinan penurunan batas bawah usia calon wakil presiden, menyesuaikan dengan usia Gibran yang belum 40 tahun.
Berpegang pada survei internal Gerindra, Prabowo yakin memperoleh tambahan suara bila berduet dengan Wali Kota Solo tersebut. Secara bersamaan, Gibran juga diproyeksikan maju dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Tiga bulan menjelang masa pendaftaran, konstelasi masih bisa berubah. Jokowi mungkin tidak akan buru-buru menjatuhkan dukungan. Peluangnya mendukung Ganjar tetap terbuka. Dengan memelihara dua kemungkinan, Jokowi ingin tetap diperhitungkan. Tapi bila Jokowi resmi menyokong Prabowo, dengan kemungkinan Prabowo menggandeng Gibran, masa depan politik Indonesia bisa jadi seperti Filipina.
Di negeri itu, Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. berpasangan dengan Sara Duterte. Marcos Jr. adalah anak diktator Ferdinand Marcos. Sara adalah putri Rodrigo Duterte, Presiden Filipina sebelumnya. Sebagai bekas menantu Soeharto, rencana Prabowo berpasangan dengan putra presiden inkumben menunjukkan pola serupa.
Di Filipina, Marcos Jr. memenangi pemilihan presiden dengan menyebarkan disinformasi dan klaim palsu untuk mencuci kebrutalan ayahnya. Ia membual dengan menyebut Marcos senior berhasil membawa Filipina menjadi kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia. Padahal, di era Marcos Sr., kemiskinan, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia merajalela. Bukan hanya itu. Marcos Jr. juga menyerang rivalnya dengan kampanye hitam.
Pesan bohong dan kampanye hitam disebar lewat media sosial. Strategi ini berpotensi disontek di Indonesia. Sebagaimana di belahan dunia lain, media sosial menjadi alat kampanye politik yang ampuh. Sebanyak 68 persen penduduk Filipina adalah pengguna Internet dan lebih dari 92 juta akun terdaftar di media sosial.
Kemenangan Marcos Jr. semestinya memberi pelajaran bagi Indonesia, yang punya pola klientelisme, patron-klien, serta budaya digital serupa Filipina. Klientelisme terjadi ketika pemilih, penggiat kampanye, atau para aktor menyediakan dukungan elektoral bagi politikus dengan imbalan materi. Yang membedakan Filipina dengan Indonesia adalah struktur masyarakat, termasuk peran tuan tanah yang juga bisa menggiring pemilih.
Di Indonesia, penetrasi Internet mencapai 78,19 persen dari populasi, dengan jumlah pengguna aktif media sosial sebanyak 167 juta. Warganet Indonesia memiliki literasi digital yang rendah tapi menghabiskan waktu bermain media sosial selama 198 menit setiap hari—terlama kedua di Asia Tenggara setelah Filipina. Maka media sosial rentan menjadi ladang informasi palsu selama masa kampanye.
Baca liputannya:
- Mengapa Jokowi Mendukung Prabowo?
- Persaingan Menjadi Calon Wakil Presiden Prabowo
- Taktik Kampanye Prabowo Subianto
Dua pemilu terakhir membuktikan bahwa media sosial menjadi palagan bagi tim kampanye dan pendukung kubu yang berseteru. Alih-alih mempertarungkan ideologi, gagasan, atau substansi kebijakan, mereka membanjiri media sosial dengan hoaks, caci maki, hasutan, serta politik identitas.
Kejadian serupa bisa terulang pada pemilihan presiden 2024. Bila itu terjadi, kompetisi ide sebagai bagian dari esensi demokrasi bisa sirna pada pemilu nanti. Mempertahankan garis keturunan pada puncak kekuasaan lewat saluran pemilu juga membajak demokrasi. Regresi demokrasi akan makin menjadi-jadi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jokowi, Prabowo, dan Regresi Demokrasi Indonesia"