Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH tidak perlu gelap mata merespons permintaan Dana Moneter Internasional (IMF) agar Indonesia mempertimbangkan penghapusan kebijakan larangan ekspor mineral secara bertahap, juga tidak memperluasnya ke komoditas lain. Selain memiliki argumentasi rasional, usulan tersebut bisa menjadi bahan evaluasi menyeluruh kebijakan program "hilirisasi" yang telah berlaku bagi sejumlah hasil tambang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IMF dalam laporan terbarunya meminta Indonesia menghapus kebijakan pembatasan ekspor nikel secara bertahap karena dinilai akan merugikan Indonesia. Permintaan yang tertuang dalam dokumen "IMF Executive Board Concludes 2023" itu menyebutkan kebijakan penghiliran, terutama untuk nikel, harus berlandaskan analisis biaya dan manfaat lebih lanjut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo melarang ekspor bijih nikel mulai 1 Januari 2020 dengan tujuan mendapatkan nilai tambah melalui program penghiliran dengan mengolahnya di dalam negeri. Setelah nikel, larangan ekspor juga berlaku untuk bijih bauksit, bahan baku aluminium, mulai tahun ini.
Hasilnya sejauh ini bagus. Nilai ekspor produk nikel Indonesia mencapai US$ 30 miliar (Rp 450 triliun) pada 2022, melonjak sepuluh kali lipat lebih ketimbang perolehan pada 2013. Fasilitas peleburan nikel dikembangkan di banyak tempat dan pembangunan pabrik pembuat baterai kendaraan listrik disiapkan.
Kendati nilai ekspor naik drastis, tujuan utama program penghiliran mineral tidak serta-merta sepenuhnya tercapai. Sebab, Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengkaji data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menemukan masih masifnya penyelundupan bijih nikel dari Indonesia ke Cina. Sepanjang Januari 2020-Juni 2022, satuan tugas itu mencatat ekspor bijih nikel ilegal lebih dari 5 juta ton.
Fakta lain, lonjakan drastis nilai ekspor produk nikel tidak berdampak pada cadangan devisa Indonesia. Terbukti, nilai cadangan devisa merosot US$ 7,7 miliar pada 2022 dibanding pada tahun sebelumnya. Maraknya tambang nikel ilegal di sejumlah daerah, dan mudahnya barang “haram” itu dikirim ke luar negeri, dicurigai menjadi penyebab gagalnya kita mendapat berkah dari naiknya permintaan global atas komoditas tersebut. Belum lagi jika menghitung kerugian besar berupa kerusakan lingkungan, seperti dampak pencemaran dari limbah tailing dan pembukaan hutan serta sisa lubang tambang dari eksploitasi penambangan mineral di banyak daerah di Indonesia.
Baca liputannya:
- Adu Kuat Menguasai Tambang Nikel Vale Indonesia
- Smelter Rendah Emisi Vale Indonesia
- Untung-Rugi Hilirisasi Komoditas Tambang
Permintaan IMF agar pemerintah menghapus program penghiliran menjadi penting sebagai pijakan untuk mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan yang sudah dibuat. Pemerintah jangan langsung menolaknya dengan alasan nasionalisme sumber daya alam, atau sebaliknya, ujug-ujug membatalkan program tersebut.
Justru yang diperlukan adalah pembenahan total tata kelola sumber daya mineral. Misalnya dengan mengatur secara transparan neraca kebutuhan dan suplai setiap jenis mineral. Pemerintah harus lebih tegas mengatur izin produksi perusahaan tambang dengan memperhatikan kapasitas smelter. Dengan menjaga keseimbangan antara permintaan dan pasokan, juga penegakan hukum, eksploitasi berlebihan yang hasilnya hanya dinikmati segelintir orang dapat dicegah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo