LIMA puluh tahun yang lalu, tepatnya 8 Maret 1942, Hindia Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang. Penyerahan terjadi sebelum tentara KNIL sempat melepaskan tembakan. KNIL, menurut sejarawan Belanda G.G. de Jong, hanya suatu kekuatan kepolisian yang agak ditingkatkan. Bukan kekuatan militer untuk menghadapi suatu perang internasional dan modern. KNIL hanya berfungsi untuk menghadapi kerusuhan dalam negeri. Sebenarnya, kolonialisme didirikan bukan dengan penaklukan militer. Kolonialisme Belanda di Indonesia berkembang selama tiga abad. Tentu tidak sama lamanya ataupun polanya dengan kolonialisme di tempat lain. Bagaimana usaha Belanda dalam menegakkan kolonialismenya setelah Perang Dunia II selesai? Mengapa ia gagal? Mitosmitos dalam sejarah itu memang enak didengar. Tetapi ia merupakan guru politik yang buruk. Mitos, dan bukan realita dalam sejarah, akan merupakan jebakan sendiri bagi para pemimpin politik. Mitos didirikannya koloni Hidia Belanda melalui penaklukan atau keunggulan militer dilancarkan sendiri oleh Belanda. Jalan-jalan dan taman-taman di daerah elite Batavia (kini Jakarta) diberi nama seperti Van Heutz, Van den Bosch, Van der Capellen, Jenderal de Kock. Bagaimana sebenarnya realita pertumbuhan dan hubungan kolonial? Para sejarawan India, Indonesia, dan lain-lain mulai melihat sejarah pertumbuhan kolonialisme Barat di daerah-daerah jajahan mereka dengan beberapa kekecualian. Yaitu, sebagai hasil usaha dagang, usaha ekonomi dan diplomasi yakni melalui kontrak-kontrak perjanjian. Kontrak-kontrak perjanjian itu adalah sering hasil dari penindasan pemberontakan terhadap raja. Dengan penjelasan lain, kolonialisme timbul di daerah jajahan karena penerimaan elite politik dan bahkan menyambutnya dengan baik. Demikianlah perkembangan kolonialisme di India, Filipina, dan sebagian besar kepulauan Indonesia. Pada zaman VOC, sistem monopoli apa pun berhasil dengan bantuan elite. Karena kerja sama elite pribumi dan kekuasaan kolonial, tidak terasa ada jajahan, biarpun kerja rodi Tanam Paksa menunjukkan muka paling eksploitatif dari sistem penjajahan. Saat rakyat merasa adanya jajahan, justru sistemnya makin melunak seperti pada zaman "Etis" di Hindia Belanda. Sir J.R. Seeley mengatakan, pada saat rakyat jajahan menyadari "kedudukan kolonial", saat itu kedudukan penguasa kolonial berubah, yang semula mendukung dan dilihat sebagai "sahabat" menjadi pendudukan militer asing. Kalau jajahan berubah menjadi penaklukan dan pendudukan militer, ia sebenarnya tidak dapat dipertahankan lagi. Saat itu tiba dengan bangkitnya gerakan-gerakan nasionalis di India, Indonesia, dan Filipina. Kalau nama jalan-jalan di Jakarta banyak diborong oleh pahlawan Aceh, hal itu ada sebabnya. Aceh satu-satunya daerah yang melawan Belanda atau setidaknya paling mencolok dalam perlawanan. Kepulauan Indonesia luas dan dengan sendirinya sejarah integrasi daerah-daerah tersebut dengan Hindia Belanda berbeda-beda. Tapi Aceh paling istimewa. Berlainan dengan pengalaman kolonial Belanda di kepulauan Indonesia, yang pada umumnya menerima kehadirannya, di Aceh sejak permulaan (1870) ada perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Mungkin di seluruh Asia Tenggara, Aceh adalah satu-satunya daerah yang melawan kolonialisme dari permulaan dan secara terus-menerus. Pada tahun 1870 Batavia mengirim ekspedisi angkatan laut dan darat ke Aceh, menyampaikan ultimatum pada Sultan. Esoknya mengebom keraton, masjid, benteng-benteng, dan menghancurkan bangunan-bangunan. Ibu kota Aceh secara fisik diduduki dan kesultanan dihapus. Aceh dinyatakan bagian dari Hindia Belanda. Dengan demikian, Belanda menganggap masalah Aceh selesai. Namun, itu justru jadi awal perlawanan. Terus-menerusnya perlawanan itu membuat Belanda frustrasi, padahal kesultanan lain semua sudah takluk. Sebagai kesultanan, Aceh memelihara hubungan diplomatik dengan berbagai kekuasaan asing. Dan sebelum Belanda menyerangnya, Aceh mengalami zaman yang agak stabil dan makmur. Perlawanan itu juga disebabkan fanatisme agama Islam. Masyarakat Aceh menolak dijajah oleh "penguasa kafir" seperti ditekankan oleh para sarjana Belanda. Apa pun sebab perlawanan Aceh, sejak 1874 ia tetap menentang Belanda dalam berbagai bentuk, biarpun Belanda menyatakan telah "aman". Akhirnya pada tahun 1942, ketika Hindia Belanda diserang Jepang dalam Perang Dunia II, Aceh adalah satusatunya daerah di kepulauan ini yang memproklamasikan kemerdekaannya, lepas dari ikatan politik Hindia Belanda. Tentara KNIL (Belanda) lebih sibuk memadamkan "pemberontakan" ini daripada menghadapi pendaratan Jepang di Sumatera Utara. Aceh telah berontak lebih dari 100 tahun. Dalam kasus ini ia dapat disamakan dengan Irlandia dan daerah Basque. Ada saat-saat di mana masyarakat Belanda di Nederland kesal dengan Perang Aceh, khususnya pada 1874-1910, sehingga sering timbul seruan untuk meninggalkan Aceh. Ramalan Sir J.R. Seeley, yang dibuat pada mula Asiakolonial bergolak, direalisasi pada zaman "pergerakan" 1900-1940, dan lebih-lebih pascaPerang Dunia II (1945). Dengan munculnya kesadaran politik para nasionalis di negara-negara jajahan seperti Indonesia, India, Burma (Myanmar), kolonialisme berubah menjadi pendudukan militer. Buktinya antara lain dapat dilihat di Indonesia. Maret 1942 kekalahan Hindia Belanda dari Jepang hanya ditonton oleh Belanda dan tentara Jepang disambut dengan meriah oleh penduduk. Pada saat itu sebenarnya hubungan kolonial antara bangsa Indonesia dan Belanda sudah putus. Setelah Perang Dunia II selesai, semua daya usaha Barat untuk memulihkan kolonialismenya tidak berhasil. Belum pernah tentara Belanda di Indonesia sebesar, sebenarnya berkali-kali lebih besar, daripada tahun 1945-1950. Namun, Belanda tetap tak berhasil. Inggris rupanya lebih mengerti mengenai "rahasia" hubungan kolonial, yakni kerja sama sukarela dengan elite politik lokal. Dan kalau ini tidak bisa, penguasa kolonial lebih baik mundur. Dengan damai Inggris mundur dari India, Burma, Malaysia. Prancis juga mundur setelah pengalaman pahit di Dien Bien Phu dan Aljazair. Pun Amerika atau Rusia, yang mau menanamkan pengaruhnya di Vietnam dan Afganistan dengan kekuatan militer yang superkuat, harus mundur juga menghadapi negara-negara yang relatif kecil. Kolonialisme bagi negara mana pun, besar dan kecil, menjadi terlalu mahal. Kita harus melihat kenyataan dan bukan mitos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini