Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Waduk yang dijajah gulma

Tenaga pembangkit listrik waduk riam kanan merosot karena gulma, namanya polygonum barbatum dan azola yang dapat mengisap air. pln akan membuat hujan bu atan dan memanfaatkan ikan grasscarp.

21 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERCAYAKAH Anda bahwa ada waduk yang dikalahkan gulma? Kalau tak percaya, kasus Waduk Riam Kanan di Kalimantan Selatan akan membuat Anda geleng-geleng kepala. Waduk yang dibangun untuk membangkit tenaga listrik ini, dalam beberapa tahun terakhir, tidak lagi berfungsi penuh. Sebagai pembangkit tenaga listrik, waduk 500 ribu kwh ini sekarang hanya mampu menghasilkan 200 kwh per hari. Sebagai waduk terbesar di Kalimantan dan diresmikan Presiden (1973), Waduk Riam Kanan diharapkan berperan mewujudkan impian penduduk yang tinggal sepanjang aliran sungai Barito. Belasan tahun kemudian, waduk impian itu digerogoti gulma. Airnya susut, tenaga pembangkit listriknya pun merosot tajam. Sejak pertengahan tahun lalu, hanya satu dari tiga turbin pembangkit listrik yang dapat difungsikan secara tetap. Maka, tiap hari aliran listrik puluhan pabrik di Kal-Sel terpaksa digilir. Akibatnya, pihak pabrik harus memasang mesin diesel untuk memperoleh listrik tambahan. Namun, keperluan listrik rumah tangga sebegitu jauh masih dapat dilayani. "Produk dari Riam Kanan sampai saat ini masih cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat," kata Kepala PLN Wilayah VI, Margo Santoso. Memang, duga muka air (DMA) yakni perkiraan tinggi air, kini berada di bawah normal -- hanya 56 meter. Padahal, untuk dapat menggerakkan tiga turbin berkapasitas 30 megawatt -- kapasitasnya lebih besar dari Kedungombo yang menghasilkan 22,5 megawatt -- diperlukan DMA setinggi 59-60 meter. Ini dikemukakan oleh Helmi, Kepala Pembangkit Listrik Wilayah Barito. Dengan DMA 56 meter, cuma satu turbin bekerja tetap. Baru pada jam-jam permintaan tinggi, ditambah satu lagi. Semula, turunnya permukaan Waduk Riam Kanan diduga akibat kemarau pajang atau tipisnya curah hujan. Belakangan, baru disadari gulmalah penyebab utamanya. Helmi yakin tentang itu karena sesudah hujan turun deras, DMA tidak naik juga. "Tumbuhan itu punya andil besar menyusutkan air. Kalau dibiarkan, seluruh permukaan waduk dapat tertutup olehnya," ujar Helmi. Dia yakin, tumbuhan gulma sangat rakus menyedot air. "Namanya Polygonum barbatum dan azola," tutur Helmi lagi. Yaitu rumput air yang daun dan batangnya mirip sejenis tanaman hias. Sedangkan azola (Selvinia natans) adalah tumbuhan air yang menjalar dan mirip enceng gondok. Kini, kedua jenis tanaman itu berbaur lalu membentang seluas 50 hektare di permukaan waduk. Tahun 1989, Helmi memimpin upaya pembasmian rumput poligonum. Ini tindak lanjut penelitian Ir. Djasmani Hisbi, dosen Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Ketika itu terdapat 40 hektare polignum. "Jenis tanaman ini punya laju pertumbuhan luar biasa. Sekitar 1,23% setiap hari," tulis Djasmani dalam makalahnya "Kondisi dan Perkembangan DAS Riam Kanan". Disebutkan, setiap hektare poligonum mampu menghirup lebih dari 45 meter kubik per hari. Berarti, poligonum 40 hektare itu dapat menyedot air lebih 1,4 juta meter kubik tiap tahun. Berdasarkan penelitian itu, PLN KalSel via Kepala Sektor Pembangkit Listrik Wilayah Barito segera bertindak. "Kami mengangkatnya ke darat, lalu membakarnya," kata Helmi. Untuk sementara, waduk dapat dikatakan bebas gulma. Pabrik-pabrik pun tidak perlu memasang diesel. Namun, kemudian datang azola, yang ternyata lebih ganas dari poligonum. Sejak dua tahun lalu, PLN mengeluarkan Rp 90 juta per tahun untuk membasminya. Tiap hari dikerahkan 30 orang untuk mengangkut tanaman itu ke darat dan membakarnya. Namun, upaya itu tak cukup mempan. Si azola terus berkembang biak. Menurut dugaan banyak pihak, azola berasal dari limbah proyek reboisasi di sekitar waduk. Ini dibenarkan oleh Prof. Dr. Arthur Mengalik, guru besar Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat. "Tanaman ini biasanya tumbuh di tanah gambut," ujar Mengalik, yang ahli tentang ikan dan tumbuhan air. "Dan tanaman yang dipakai untuk penghijauan di sekitar Riam Kanan diambil dari tanah bergambut." Mengalik lebih suka menyebut tanaman itu dengan nama kiambang atau kayapu. Masih serumpun dengan enceng gondok, tapi daunnya lebih kecil dan berbulu. Dan pembiakannya beberapa kali lebih cepat dari enceng gondok. Angin kencang di kawasan waduk mempermudah penyebaran spora. Ditambah dengan kayanya zat hara air, Waduk Riam Kanan tak ubahnya surga bagi kiambang. Kemampuannya menyedot air pun, menurut Mengalik, lebih hebat dari poligonum. Lalu, Mengalik menguraikan bagaimana proses tanaman itu menyedot air. Sinar matahari, yang menyebabkan permukaan daun cepat kering, memaksa daun bekerja lebih keras menyedot air. "Semakin terik matahari, semakin cepat kiambang menyedot air," kata Mengalik. Laju pertumbuhan kiambang membuat PLN kelabakan. Tahun silam dibentuk tim terpadu untuk menanggulanginya: PLN, Departemen Kehutanan, dan sejumlah instansi yang berhubungan. Entah apa yang terjadi, gulma terus merajalela. Kini, "persekutuan" kiambang dan poligonum telah menguasai permukaan waduk sampai 50 hektare. Otomatis, DMA turun. "Karena itu, kami putuskan bikin hujan buatan Rp 400 juta akhir Maret ini," ujar Margo, Kepala PLN Wilayah VI. Ia berharap, hujan buatan itu mampu menandingi pesatnya pertumbuhan kiambang. Margo juga bermaksud memanfaatkan ikan grass carp, sejenis ikan pelahap gulma (lihat TEMPO, 7 Maret 1992), agar Waduk Riam Kanan segera bersih seperti semula. Priyono B. Sumbogo dan Almin Hatta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus