Enterovioform: dibutuhkan rakyat kecil

Dalam tulisan "Janji-Janji Iklan Obat" (TEMPO, 27 Juli 1991, Kesehatan) diceritakan bahwa Prof. Iwan Darmansyah kaget ketika mengetahui bahwa pasiennya masih memakai obat Enterovioform yang diperoleh di warung. Padahal, obat tersebut sudah lama dilarang. Setahu saya, Enterovioform dan preparatnya yang mengandung clioquinol sampai hari ini belum dilarang oleh Pemerintah. Enterovioform ditarik dari peredarannya oleh pabriknya, PT Ciba Geigy, karena adanya protes dan kritik dari kelompok tertentu bahwa obat tersebut di Jepang dilaporkan sebagai penyebab penyakit smon. Di Indonesia penyakit itu belum ditemukan karena penggunaan Enterovioform wajar-wajar saja. Tidak seperti orang Jepang yang terkena smon akibat memakan beberapa ribu tablet Enterovioform setiap tahunnya. Kenyataan bahwa masyarakat masih tetap mencari Enterovioform (apakah itu barang selundupan dari luar negeri atau palsu) membuktikan bahwa obat itu dan preparatnya dirasakan bermanfaat untuk pengobatan diare oleh rakyat kecil. Jadi, larangan terhadap Enterovioform di Indonesia akan merugikan rakyat kecil. Karena obat tersebut sangat murah dan terbukti manjur. Di Indonesia rakyat hanya mampu membeli beberapa tablet sehingga kemungkinan terkena smon seperti di Jepang sangat kecil. Akan lebih baik kalau penjualannya dibatasi empat tablet per bungkus/strip dengan peringatan-peringatan cara memakainya. Sekarang ini, obat antimalaria chloroquine, yang sebenarnya obat keras (daftar G) dapat dijual tanpa resep dengan batasan empat tablet per strip. Dan ternyata sangat menolong bagi penderita malaria di daerah-daerah terpencil. DRS. SUNARTO PRAWIROSUJANTO Jalan Patiunus 8 Jakarta 12120