Komisi, sebagaimana halnya provisi (honorarium makelar), premi (perangsang dalam pencegahan penyelundupan), vakasi (upah panitia ujian negara), dan lain-lain mempunyai arti yuridis karena diatur dalam perundang-undangan. Karena itu, harus dianggap sah atau halal. Nah, bila benar bahwa deposito almarhum Haji Thahir harus berpredikat komisi (karena berasal dari beberapa transaksi antara Pertamina dan pihak ketiga), secara diam-diam, harus diakui bahwa di samping sebagai kuasa Pertamina, almarhum Thahir juga dibenarkan bertindak sebagai komisioner dari pihak ketiga. Menurut media massa, deposito tersebut sebenarnya berasal dari kelebihan pembayaran Pertamina kepada pihak ketiga, yang diterima kembali oleh Thahir. Seharusnya kelebihan pembayaran itu mengalir kembali ke kas Pertamina, sebagai rektifikasi kelebihan pembayaran. Predikat komisi atas deposito itu harus ditolak karena mempunyai konsekuensi yuridis. Lalu, rumusan apa yang paling tepat untuk deposito tersebut? Jika dilihat bahwa simpanan tersebut berasal dari kekayaan Pertamina, formulasi yang tepat adalah: Thahir telah memperkaya dirinya sendiri atau orang lain secara haram. Suatu perbuatan yang melanggar hukum. Karena itu, Pertamina diberi hak menuntut kembali kepada siapa pun yang menguasai kekayaan tersebut dengan memperhitungkan bunga dan ganti rugi sekaligus. Bila Pertamina tetap bertahan bahwa deposito tersebut adalah komisi yang menjadi haknya, tidak mustahil Pertamina dituntut membuktikannya dengan jalan mengajukan anggaran penerimaannya, misalnya, dengan mencantumkan pos komisi. J.Z. LOUDOE Penjernihan IV/11 Pejompongan Jakarta Pusat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini