Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Erasmus yang murtad

Konsili trente melarang umat katolik membaca karya erasmus, pengejek rahib dan kemegahan paus. pada tgl 11 nop 1983 di leipzig memperingati hari lahir martin luther penerus erasmus yang dicap murtad.

19 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAKI-laki itu pendek, kecil. Bicaranya lemah seperti juga sosok tubuhnya. Namanya Erasmus. Ia dipandang sebagai seorang pengecut. Mungkin ia memang seorang pengecut atau sejenis itu. Di Eropa awal abad ke-16 itu, khalayak dan para penguasa bergejolak karena Martin Luther. Eropa (dan dunia Kristen) tengah retak. Luther mengutuk Gereja dan Paus, sebaliknya ia juga dikutuk Gereja dan Paus. Raja-raja mengangkat senjata, para penganut menyalakan api. Tapi Erasmus seakan berputar-putar di tengah. Dan, dengan segera, ia pun jadi seorang yang dicurigai kedua belah pihak. Ada kesedihan dalam sebuah suratnya kepada Paus Adrianus VI di akhir 1522, ketika ia menulis: "Satu pihak mengatakan saya menyetujui Luther karena saya tak menentangnya yang lain menyalahkan saya karena saya menentangnya ...." Erasmus memang merasa terjepit, tapi agaknya bukan karena tingkah orang lain. Sejak I511 ia sudah termasyhur oleh satirnya yang mengejek kemunafikan para rahib dan kemegahan Paus - dan Martin Luther termasuk yang membacanya. Dengan kata lain, memang benar tuduhan bahwa Erasmus-lah yang telah meletakkan telur yang kemudian ditetaskan Luther. Namun, Erasmus sendiri merasa ia tak bisa menyetujui kerasnya protes rahib Jerman itu. "Telur yang saya letakkan berisi seekor babon, sedang yang ditetaskan Luther adalah seekor jago aduan." Jago merah, lambang api yang berbahaya itu, memang bukan impian Erasmus. Anak seorang klerk kecil di dekat Kota Rotterdam yang di usia tuanya sering menderita encok dan kedinginan ini jelas bukan laki-laki yang cepat bertindak. Ia hanya menyukai anggur, tak berambisi untuk jabatan resmi, dan jatuh cinta pada perpustakaan, terutama karya-karya Yunani lama. Dan inilah nasihatnya kepada Luther yang galak: "Tenang, jangan marah, jangan benci kepada siapa pun ...." Tentu saja, dalam hal itu Erasmus gagal. Luther, seperti kemudian tampak dalam perilakunya, bukan seorang yang suka pada sikap toleran dan kata-kata yang bernada rendah. Dalam sebuah risalah yang (seperti biasa) melabrak Gereja di Roma, ia bahkan mengundang para pembaca untuk membasuh tangan dalam darah para uskup serta kardinal. Dan tentang Erasmus, Luther hanya memandangnya sebagai pendamai yang kecut, yang "mengira bahwa semuanya dapat diperoleh dengan sikap sopan santun....." Luther telah memutuskan harapannya pada tokoh yang pernah dikaguminya itu. Tapi itu tak berarti bahwa di pihak sana, Gereja Katolik kemudian menerima Erasmus dengan senang hati. Memang, Paus Leo X bersikap baik kepada pemikir bekas rahib ini. Dalam diri Leo X bagaimanapun terdapat semangat humanisme yang juga membentuk Erasmus - semangat yang membuka diri kepada keluasan berpikir. Tapi, sementara itu, Konsili Trente memusuhinya: karya-karya Erasmus dilarang dibaca umat Katolik, dan sang humanis sendiri dicap murtad. Adakah karena itu ia takut? Ia sendiri hanya mengatakan, "Saya tahan menanggungkan Gereja ini, sampai nanti ketika saya melihat sebuah Gereja yang lebih baik." Dengan kata lain, ia bukan pemberontak. Ia hanya pengkritik. Seperti sepotong kalimat dalam sepucuk suratnya buat Luther, baginya "argumen yang perlahan mungkin lebih banyak hasilnya ketimbang pelaknatan habis-habisan." Kenyataan sejarah kemudian barangkali menunjukkan bahwa Erasmus keliru. Setidaknya yang terbukti ialah: kata-kata keras (dan peperangan agama di Eropa) juga yang kemudian lebih banyak hasilnya dalam mengubah Gereja. Apa gerangan jadinya seandainya Luther meniru Erasmus, dan cuma berbisik-bisik lembut ke seluruh struktur kekuasaan yang lamban berkutik? Namun, Erasmus toh dapat dilihat dengan harga yang lain: humanis ini, yang tak percaya bahwa manusia hanya boneka Tuhan menyadari bahwa dengan demikian manusia membutuhkan keleluasaan proses mencari kebenaran. Dalam sebuah suratnya untuk Kardinal Campeggio pada akhir 1520, Erasmus menuliskan inti keyakinannya yang terkenal: "Bila pendukung suatu pihak disediakan anugerah, dan pendukung pihak yang lain disiapkan tali gantungan atau tiang pembakaran, kebenaran tak akan terdengar." Tanpa ketakutan, dan juga tanpa permusuhan. Syahdan, 500 tahun semenjak itu, 11 November pekan lalu di Leipzig, seorang wakil Paus menghadiri misa memperingati hari lahir Martin Luther. Si pemberontak yang pernah dicap murtad itu kini dipuji sebagai "jenius keanamaan". Erasmus akan minum anggur untuk itu seandainya ia masih hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus