LAKI-laki itu pendek, kecil. Bicaranya lemah seperti juga sosok
tubuhnya. Namanya Erasmus. Ia dipandang sebagai seorang
pengecut.
Mungkin ia memang seorang pengecut atau sejenis itu. Di Eropa
awal abad ke-16 itu, khalayak dan para penguasa bergejolak
karena Martin Luther. Eropa (dan dunia Kristen) tengah retak.
Luther mengutuk Gereja dan Paus, sebaliknya ia juga dikutuk
Gereja dan Paus. Raja-raja mengangkat senjata, para penganut
menyalakan api.
Tapi Erasmus seakan berputar-putar di tengah. Dan, dengan
segera, ia pun jadi seorang yang dicurigai kedua belah pihak.
Ada kesedihan dalam sebuah suratnya kepada Paus Adrianus VI di
akhir 1522, ketika ia menulis: "Satu pihak mengatakan saya
menyetujui Luther karena saya tak menentangnya yang lain
menyalahkan saya karena saya menentangnya ...."
Erasmus memang merasa terjepit, tapi agaknya bukan karena
tingkah orang lain. Sejak I511 ia sudah termasyhur oleh satirnya
yang mengejek kemunafikan para rahib dan kemegahan Paus - dan
Martin Luther termasuk yang membacanya.
Dengan kata lain, memang benar tuduhan bahwa Erasmus-lah yang
telah meletakkan telur yang kemudian ditetaskan Luther. Namun,
Erasmus sendiri merasa ia tak bisa menyetujui kerasnya protes
rahib Jerman itu. "Telur yang saya letakkan berisi seekor babon,
sedang yang ditetaskan Luther adalah seekor jago aduan."
Jago merah, lambang api yang berbahaya itu, memang bukan impian
Erasmus. Anak seorang klerk kecil di dekat Kota Rotterdam
yang di usia tuanya sering menderita encok dan kedinginan ini
jelas bukan laki-laki yang cepat bertindak. Ia hanya menyukai
anggur, tak berambisi untuk jabatan resmi, dan jatuh cinta pada
perpustakaan, terutama karya-karya Yunani lama. Dan inilah
nasihatnya kepada Luther yang galak: "Tenang, jangan marah,
jangan benci kepada siapa pun ...."
Tentu saja, dalam hal itu Erasmus gagal. Luther, seperti
kemudian tampak dalam perilakunya, bukan seorang yang suka pada
sikap toleran dan kata-kata yang bernada rendah. Dalam sebuah
risalah yang (seperti biasa) melabrak Gereja di Roma, ia bahkan
mengundang para pembaca untuk membasuh tangan dalam darah para
uskup serta kardinal. Dan tentang Erasmus, Luther hanya
memandangnya sebagai pendamai yang kecut, yang "mengira bahwa
semuanya dapat diperoleh dengan sikap sopan santun....."
Luther telah memutuskan harapannya pada tokoh yang pernah
dikaguminya itu.
Tapi itu tak berarti bahwa di pihak sana, Gereja Katolik
kemudian menerima Erasmus dengan senang hati. Memang, Paus Leo X
bersikap baik kepada pemikir bekas rahib ini. Dalam diri Leo X
bagaimanapun terdapat semangat humanisme yang juga membentuk
Erasmus - semangat yang membuka diri kepada keluasan berpikir.
Tapi, sementara itu, Konsili Trente memusuhinya: karya-karya
Erasmus dilarang dibaca umat Katolik, dan sang humanis sendiri
dicap murtad.
Adakah karena itu ia takut? Ia sendiri hanya mengatakan, "Saya
tahan menanggungkan Gereja ini, sampai nanti ketika saya melihat
sebuah Gereja yang lebih baik." Dengan kata lain, ia bukan
pemberontak. Ia hanya pengkritik. Seperti sepotong kalimat dalam
sepucuk suratnya buat Luther, baginya "argumen yang perlahan
mungkin lebih banyak hasilnya ketimbang pelaknatan
habis-habisan."
Kenyataan sejarah kemudian barangkali menunjukkan bahwa Erasmus
keliru. Setidaknya yang terbukti ialah: kata-kata keras (dan
peperangan agama di Eropa) juga yang kemudian lebih banyak
hasilnya dalam mengubah Gereja. Apa gerangan jadinya seandainya
Luther meniru Erasmus, dan cuma berbisik-bisik lembut ke seluruh
struktur kekuasaan yang lamban berkutik?
Namun, Erasmus toh dapat dilihat dengan harga yang lain: humanis
ini, yang tak percaya bahwa manusia hanya boneka Tuhan menyadari
bahwa dengan demikian manusia membutuhkan keleluasaan proses
mencari kebenaran.
Dalam sebuah suratnya untuk Kardinal Campeggio pada akhir 1520,
Erasmus menuliskan inti keyakinannya yang terkenal:
"Bila pendukung suatu pihak disediakan anugerah, dan pendukung
pihak yang lain disiapkan tali gantungan atau tiang pembakaran,
kebenaran tak akan terdengar."
Tanpa ketakutan, dan juga tanpa permusuhan. Syahdan, 500 tahun
semenjak itu, 11 November pekan lalu di Leipzig, seorang wakil
Paus menghadiri misa memperingati hari lahir Martin Luther. Si
pemberontak yang pernah dicap murtad itu kini dipuji sebagai
"jenius keanamaan". Erasmus akan minum anggur untuk itu
seandainya ia masih hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini