Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Buntut Protes Kerudung

Akibat protes masalah kerudung (ceramah di masjid agung al-azhar), tony ardie diajukan ke pengadilan ia dituntut dengan haatzaaiartikelen (delik-delik penyebar kebencian).(hk)

19 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI itu, Sabtu 12 November, sekitar 500 orang memenuhi gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di Jalan Ampera. Pengunjung meluber sampai ke halaman. Yang menarik: hampir semua pengunjung adalah wanita yang memakai kerudung. Begitu terdakwa Tony Ardie, 29, memasuki ruang sidang, pengunjung menyambut dengan ucapan "Allahu Akbar", sebagian sambil mengacungkan tinju. Lantas Tony mengucapkan "assalamu'alaikum" yang di sambut meriah pula. Setelah Hakim Ketua Bagio Saroso membuka sidang, Tony mengajukan pertanyaan, "Persidangan ini yuridis atau politis?" Bila politis, kata Tony, ia tidak bersedia disidangkan. "Sebab, apa pun yang terjadi sia-sia hasilnya, bila semua sudah diatur." Pengunjung bertepuk tangan. Ada yang mengucap takbir keras-keras. Suasana ribut, hingga Hakim mengetukkan palu keras-keras, beberapa kali. Hakim Ketua kemudian meyakinkan Tony, "Ini persidangan yuridis." Tuduhan dibacakan oleh Jaksa Sulubi Siappo. Menurut Jaksa, ceramah Tony di halaman Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, pada 28 Agustus merupakan pernyataan kebencian dan penghinaan kepada Demerintah Indonesia, yang diancam dengan pasal 154 KUHP. Selain itu, Tony diancam dengan pasal 156 KUHP: menyatakan perasaan, permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan. Ucapan Tony dianggap Jaksa memberatkannya. Antara lain yang menyebut kondisi umat Islam di Indonesia saat ini "maju kena mundur kena." Maksudnya, "Sering kali maju kepentok Firaun, mundur kepentok Allah." Dalam ceramah itu, Tony juga mengatakan, "Allah punya cara sendiri untuk menumbangkan Syah Iran, untuk menghancurkan Firaun, menumbangkan siapa pun." Jaksa juga mengutip ucapan Tony yang menyerukan agar umat Islam menyusun barisan yang terorganisasi baik, untuk menghadapi tantangan dari luar. Menurut Jaksa, Tony juga mengingatkan bahwa "Yahudi dan Nasrani tidak akan tidur nyenyak sebehlm umat Islam tercaplok." Ton menyangkal dakwaan Jaksa. Menurut dia, ucapannya dalam ceramah itu "kepala dan buntutnya dipenggal-penggal." Ceramahnya itu, katanya, cuma sekitar 20 menit di hadapan sekitar 30 ribu pengunjung. Sebenarnya, jumlah pengunjung tidak sebanyak itu. Cuma sekitar 10 ribu orang yang hadir dalam acara undangan halal bil halal BPMA (Badan Pembela Masjidil Aqsa). Namun, acara ternyata berkembang menjadi semacam rapat akbar dengan topik utama soal kerudung (jilbab). Selain Tony Ardie, ada penceramah lain, misalnya M.Ch. Ibrahim, bekas pimpinan Syarikat Islam, dan Syahirul Alim, seorang dosen UGM. Waktu itu soal kerudung memang sedang ramai dibicarakan. Beberapa sekolah menengah atas negeri, antara lain diJakarta, melarang para siswanya mengenakan kerudung di sekolah karena dianggap tidak sesuai dengan ketentuan pakaian seragam yang diwajibkan. Larangan ini sempat menimbulkan protes. Dalam rapat di Al-Azhar itu Tony Ardie antara lain mengatakan, larangan itu "merupakan rongrongan terhadap pelaksanaan akidah yang secara nyata dijamin UUD 1945." Dua pekan setelah acara di Al-Azhar itu, Tony ditahan polisi di Komando Resort 704 Jakarta Selatan. Sejak 30 Setembe ia menjadi tahanan kejaksaan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Cipinang, Jakarta Timur. Di antara teman-temannya sesama anggota HMI, Tony dikenal sebagai seorang "Islam yang fanatik" dan orator yang memikat. Ia disebut spesialis penceramah "Nilai Dasar Perjuangan". "Retorikanya khas, tanpa teks dan membuat anak-anak muda tertarik, kata Oerip Erwanto, salah seorang bekas penurus HMI Jakarta. Di HMI, Tony pernah menjabat ketua umum HMI cabang Jakarta (1978-1979) dan pernah pula dicalonkan sebagai ketua umum PBI IMI pada kongres ke-14 di Bandung, 1981. Pada masa kecilnya, Tony - anak pertama dari 10 bersaudara- menganut agama Katolik seperti yang semula dipeluk ibunya yang berdarah Indo-Madura. Menurut penuturan beberapa adiknya, Tony mulai mendalami Islam waktu dia belajar di SMP. Sedangkan ibunya memeluk Islam seiak 1975. Pada 1973, setelah setahun kuliah di Fakultas Kedokteran UI, Tony pindah ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI. Ia dianggap cukup pintar dan pernah menjadi asisten dosen, antara lain untuk mata kuliah Studia Islamica dan Sistem Sosial Indonesia. Tahun ini ia terpaksa drop out dari UI, sesuai dengan batas waktu kuliah. Pasal 154 dan 156 KUHP, yang dipakai Jaksa dalam tuduhannya, dikenal sebagai haatzaaiartikelen (delik-delik penyebar kebencian). Pelangar pasal-pasal itu diancam hukuman penjara maksimal tujuh tahun dan empat tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus