PAGI itu, Sabtu 12 November, sekitar 500 orang memenuhi gedung
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di Jalan Ampera. Pengunjung
meluber sampai ke halaman. Yang menarik: hampir semua pengunjung
adalah wanita yang memakai kerudung.
Begitu terdakwa Tony Ardie, 29, memasuki ruang sidang,
pengunjung menyambut dengan ucapan "Allahu Akbar", sebagian
sambil mengacungkan tinju. Lantas Tony mengucapkan
"assalamu'alaikum" yang di sambut meriah pula.
Setelah Hakim Ketua Bagio Saroso membuka sidang, Tony mengajukan
pertanyaan, "Persidangan ini yuridis atau politis?" Bila
politis, kata Tony, ia tidak bersedia disidangkan. "Sebab, apa
pun yang terjadi sia-sia hasilnya, bila semua sudah diatur."
Pengunjung bertepuk tangan. Ada yang mengucap takbir
keras-keras. Suasana ribut, hingga Hakim mengetukkan palu
keras-keras, beberapa kali. Hakim Ketua kemudian meyakinkan
Tony, "Ini persidangan yuridis."
Tuduhan dibacakan oleh Jaksa Sulubi Siappo. Menurut Jaksa,
ceramah Tony di halaman Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru,
pada 28 Agustus merupakan pernyataan kebencian dan penghinaan
kepada Demerintah Indonesia, yang diancam dengan pasal 154 KUHP.
Selain itu, Tony diancam dengan pasal 156 KUHP: menyatakan
perasaan, permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap
sesuatu atau beberapa golongan.
Ucapan Tony dianggap Jaksa memberatkannya. Antara lain yang
menyebut kondisi umat Islam di Indonesia saat ini "maju kena
mundur kena." Maksudnya, "Sering kali maju kepentok Firaun,
mundur kepentok Allah." Dalam ceramah itu, Tony juga mengatakan,
"Allah punya cara sendiri untuk menumbangkan Syah Iran, untuk
menghancurkan Firaun, menumbangkan siapa pun."
Jaksa juga mengutip ucapan Tony yang menyerukan agar umat Islam
menyusun barisan yang terorganisasi baik, untuk menghadapi
tantangan dari luar. Menurut Jaksa, Tony juga mengingatkan bahwa
"Yahudi dan Nasrani tidak akan tidur nyenyak sebehlm umat Islam
tercaplok."
Ton menyangkal dakwaan Jaksa. Menurut dia, ucapannya dalam
ceramah itu "kepala dan buntutnya dipenggal-penggal." Ceramahnya
itu, katanya, cuma sekitar 20 menit di hadapan sekitar 30 ribu
pengunjung.
Sebenarnya, jumlah pengunjung tidak sebanyak itu. Cuma sekitar
10 ribu orang yang hadir dalam acara undangan halal bil halal
BPMA (Badan Pembela Masjidil Aqsa). Namun, acara ternyata
berkembang menjadi semacam rapat akbar dengan topik utama soal
kerudung (jilbab). Selain Tony Ardie, ada penceramah lain,
misalnya M.Ch. Ibrahim, bekas pimpinan Syarikat Islam, dan
Syahirul Alim, seorang dosen UGM.
Waktu itu soal kerudung memang sedang ramai dibicarakan.
Beberapa sekolah menengah atas negeri, antara lain diJakarta,
melarang para siswanya mengenakan kerudung di sekolah karena
dianggap tidak sesuai dengan ketentuan pakaian seragam yang
diwajibkan. Larangan ini sempat menimbulkan protes. Dalam rapat
di Al-Azhar itu Tony Ardie antara lain mengatakan, larangan itu
"merupakan rongrongan terhadap pelaksanaan akidah yang secara
nyata dijamin UUD 1945."
Dua pekan setelah acara di Al-Azhar itu, Tony ditahan polisi di
Komando Resort 704 Jakarta Selatan. Sejak 30 Setembe ia menjadi
tahanan kejaksaan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Cipinang,
Jakarta Timur.
Di antara teman-temannya sesama anggota HMI, Tony dikenal
sebagai seorang "Islam yang fanatik" dan orator yang memikat. Ia
disebut spesialis penceramah "Nilai Dasar Perjuangan".
"Retorikanya khas, tanpa teks dan membuat anak-anak muda
tertarik, kata Oerip Erwanto, salah seorang bekas penurus HMI
Jakarta. Di HMI, Tony pernah menjabat ketua umum HMI cabang
Jakarta (1978-1979) dan pernah pula dicalonkan sebagai ketua
umum PBI IMI pada kongres ke-14 di Bandung, 1981.
Pada masa kecilnya, Tony - anak pertama dari 10 bersaudara-
menganut agama Katolik seperti yang semula dipeluk ibunya yang
berdarah Indo-Madura. Menurut penuturan beberapa adiknya, Tony
mulai mendalami Islam waktu dia belajar di SMP. Sedangkan ibunya
memeluk Islam seiak 1975. Pada 1973, setelah setahun kuliah di
Fakultas Kedokteran UI, Tony pindah ke Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UI. Ia dianggap cukup pintar dan pernah menjadi
asisten dosen, antara lain untuk mata kuliah Studia Islamica dan
Sistem Sosial Indonesia. Tahun ini ia terpaksa drop out dari UI,
sesuai dengan batas waktu kuliah.
Pasal 154 dan 156 KUHP, yang dipakai Jaksa dalam tuduhannya,
dikenal sebagai haatzaaiartikelen (delik-delik penyebar
kebencian). Pelangar pasal-pasal itu diancam hukuman penjara
maksimal tujuh tahun dan empat tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini