Tulisan tiga pembaca (TEMPO, 23 Mei), yang mengomentari pendapat tentang Bung Karno di TEMPO 16 Mei, menurut saya, tak berdasarkan fakta-fakta yang ada. Kalau dapat saya simpulkan, isi komentar para pembaca itu, mereka sama-sama berpendapat bahwa Soekarno tak membubarkan PKI karena Soekarno cinta persatuan. Dan, Soekarno merupakan pahlawan bangsa, yang lebih berjasa daripada pahlawan-pahlawan lainnya. Soekarno hidup tanpa cacat, perlu diteruskan perjuangannya, seperti bunyi poster yang dibawa satu kontestan pemilu lalu. Padahal, pada 1960 Soekarno membubarkan dua partai politik, yakni Masyumi dan PSI, yang sangat berpengaruh dalam kehidupan politik Indonesia saat itu. Iuga, sebulan sebelum peristiwa Gestapu/PKI Soekarno menggunakan istilah Gestok guna memperhalu peristiwa itu - Soekarno membubarkan partai Murba. Mengapa Soekarno, yang, katanya, gandrung persatuan itu membubarkan partai-partai yang tak memberontak? Jawabannya: karena ketiga partai itu antikomunis. PKI yang dua kali memberontak dan menyembelih para jenderal kita tak dibubarkan Soekarno bukan karena Soekarno mencintai persatuan, tapi karena alasan lain yang hanya dia sendiri mengetahuinya . Kalau kita mau melihat kehidupan politik Soekarno selama memerintah, dapat dibagi dalam dua periode. Pertama, periode sebelum 1957 atau Periode Dwitunggal. Kedua, periode sesudah 1957 atau Periode Pemerintahan Tunggal Soekarno. Sebelum 1957, Soekarno bersama-sama para pemimpin bangsa dan negara yang lain mau bekerja sama mengatasi segala kesulitan yang dihadapi negara waktu itu pemberontakan PKI di Madiun, RMS, Andi Azis, dan lain-lain. Periode 1957 s/d 1966, periode kezaliman Soekarno. Di periode ini, orang-orang tak bersalah ditangkapi dan dipenjarakan tanpa diadili (Sjahrir, Bahder Djohan, HAMKA, Mochtar Lubis, Natsir, Soebadio, Anak Agung Gde Agung, dan lain-lain ratusan orang tak bersalah). Periode ini dapat dikatakan juga sebagai periode salah urus negara (harga bensin naik dari Rp 4 menjadi Rp 250, harga beras dari Rp 1.000 menjadi Rp 3.000). Rakyat diberi janji-janji kosong dengan pidato berapi-api (Tavip, Takari, dan lain-lain). Revolusi menjadi panglima saat itu semua tindakan demi revolusi dihalalkan. Yang paling revolusioner di mata Soekarno adalah PKI sedangkan yang dianggap antirevolusioner ditangkapi tanpa diadili. Terjadilah kerusakan dalam norma-norma kehidupan rakyat sehari-hari, seperti merosotnya disiplin nasional, kemunduran bidang pendidikan, yang sampai saat ini dirasakan akibatnya. Pada periode ini Bung Hatta, orang yang dikenal mempunyai moral tinggi, wakil presiden pertama RI mengundurkan diri dari jabatannya. Sebab, beliau tak sanggup bekerja sama dengan Soekarno, yang telah berubah menjadi diktator. Secara pribadi Bung Hatta tak melepaskan tanggung jawabnya untuk menyelamatkan negara ini. Beliau mencoba menulis di majalah Panji Masyarakat berjudul Demokrasi Kita, yang kemudian dilarang Soekarno. Secara diam-diam Bung Hatta juga mengirimkan tak kurang dari delapan surat pribadi kepada Soekarno untuk memperingatkan Soekarno akan bahaya yang mengancam negara. Kumpulan surat-surat itu telah dibukukan Mochtar Lubis. Saya kira, surat-surat pribadi Bung Hatta itu perlu dimasukkan dalam buku sejarah yang akan direvisi itu. Sebab, itu merupakan dokumen yang sangat perlu dibaca generasi yang tak mengalami zaman kezaliman pemerintahan Soekarno. Secara diam-diam kini generasi muda kita disuguhi nostalgia gaya pidato kosong Bung Karno, yang memang orator ulung itu. Kini, gaya berpidatonya yang ditirukan, lama-lama ajarannya. Kalau ini sampai betul-betul terjadi, maka persatuan bangsa kita terancam kembali. Semoga, kesalahan Soekarno diampuni Allah subhanahu wata'ala dan kita yang masih hidup tidak menirukan ajaran (kesalahan) Soekarno. Amin. A. ILYAS Palembang (Alamat lengkap pada Redaksi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini