Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Melupakan Egorov, meluncurkan Palapa

Uni soviet melalui dubesnya di jakarta menawarkan untuk meluncurkan palapa b2-r dengan lebih murah. tipis kemungkinan peluncuran karena ada hambatan politis dari as. tapi ri tidak menutup pintu.

13 Juni 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PALAPA bakal diorbitkan oleh roket Uni Soviet? Mungkin saja. Selasa pekan silam, lewat Vladimir Semenov, duta besar Soviet di Jakarta, negeri itu menawarkan untuk mengorbitkan satelit yang pernah gagal diluncurkan NASA itu, kepada Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Achmad Tahir. "Ini merupakan bagian dari usaha peningkatan keria sama kedua negara," ujar Semenov. Tidak cuma itu. Sovietjuga menawarkan untuk mengikutsertakan Pratiwi Soedarmono, calon astronot pertama Indonesia, untuk ikut dalam penerbangan pesawat ruang angkasa US setelah mengikuti latihan yang diperlukan. Pratiwi urung mengangkasa luar setelah Challenger meledak pada Januari 1986. Ini memang tawaran yang memikat. Betapa tidak. Untuk meluncurkan Palapa B2P dengan rokct Delta AS Maret tahun ini, pemerintah kena US$ 53 juta. Sedangkan kalau memakai roket Proton Soviet cukup dengan US$ 40 juta saja. Itu pun bisa dibarter dengan pembelian barang jadi atau tknologi. "Dan tak ada prasyarat politik dalam soal jasa antariksa ini," ujar Vladimir P. Radyuhin, juru bicara Kedubes US di Jakarta. Yang menarik, tawaran itu disertai permintaan pembukaan kembali jalur penerbangan Aeroflot ke Jakarta yang ditutup pemerintah RI setelah terbongkarnya kegiatan spionase Soviet di Indonesia pada 1982. Semenov minta agar peristiwa yang melibat Alexander Finenko, kepala perwakilan Aeroflot di Jakarta, serta seorang asisten atase militer Kedubes US Letkol S.P. Egorov, itu dianggap sebagai "bagian sejarah masa lalu". Dia mengajak agar kedua negara "lebih baik melihat ke depan" saja, termasuk bagaimana agar Aeroflot dapat ikut meningkatkan arus wisatawan ke Indonesia. Uni Soviet tampaknya ingin mengisi lowongan layanan antariksa AS dan Eropa di Asia Pasifik, setelah meledaknya roket Ariane pada Juni 1986 serta rontoknya pesawat ulang-alik Challenger, tahun silam, disusul kegagalan beruntun roket Delta dan Titan. Tampaknya, US tak ingin negara-negara Asia Pasifik itu berpaling ke RRC, yang juga menawarkan untuk mengorbitkan satelit komunikasi. Kecuali kepada Indonesia, tawaran US itu diajukan juga kepada negaranegara Asean lainnya, serta kepada Australia. Sebuah analisa menganggap, tawaran US itu dilihat sebagai bagian dari usaha US menghilangkan citra dirinya sebagai kekuatan militer yang disegani, dan meningkatkan hubungan dengan wilayah Asia-Pasifik. Di lain pihak, tampaknya US mencoba menutupi kekalahannya bersaing dengan negara-negara Eropa Barat, AS, dan Jepang di bidang perdagangan dan investasi. Karena itu, mereka berkonsentrasi di bidang teknologi tinggi yang mampu bersaing, termasuk pelayanan antariksa. Menghadapi tawaran Soviet ini, pemerintah RI tampaknya tidak langsung menutup pintu. Kepada Semenov, yang bertandang ke kantornya, Tahir langsung mengajukan permintaan, agar US bersedia memberikan kredit sangat lunak untuk biaya peluncurannya. Maklum, sampai kini perundingan dengan pihak bank Eksim AS untuk biaya pembelian dan peluncuran satelit B2R itu belum juga usai. "Yang penting bagaimana satelit kita bisa sampai di orbit sesuai dengan jadwal," ujar Tahir. Atas permintaan ini, Semenov berjanji untuk menyampaikannya ke pemerintahnya. Palapa B2R (Recovery) yang masih nongkrong di gudang Hughes Aircraft Systems International di El Segundo, California, AS, memang bukan milik pemerintah lagi. Sejak Juli 1986, satelit itu telah dibeli dari konsorsium penanggung asuransinya oleh Sattel, anak perusahaan kelompok Bimantara yang dipimpin oleh Bambang Trihatmodjo. Kini, kalau pemerintah mau menebus kembali, perusahaan itu memasang harga US$ 72 juta termasuk peluncuran. Kalau dengan asuransinya, bisa naik jadi US$ 91 juta. Ketika dibeli, satelit bekas itu hanya bernilai US$ 18 juta. Pemerintah agaknya akan membeli satelit ini, yang menurut sejumlah pejabat harganya dianggap sangat murah, mengingat harga satelit baru jenis Palapa C sekitar US$ 250 juta, belum termasuk biaya bunga 15%. Tawaran Soviet ini memang dilontarkan pada saat yang tepat. Indonesia kini tengah kebingungan mencari negara yang bersedia meluncurkan Palapa, sampai-sampai kemungkinan pemakaian roket RRC ikut dijajaki. Soalnya, pengoperasian kembali pesawat ulang-alik AS baru akan dilakukan dua tahun mendatang. Itu pun baru kemungkinan. Bulan lalu, ketika menerima Menlu Mochtar Kusumaatmadja, yang meminta agar Palapa diberi ruang, Menlu AS, George Shultz, hanya "berjanji akan memberi perhatian pada permintaan RI". Bagi calon antariksawati Pratiwi Soedarmono, tawaran Soviet itu berarti peluang emas baginya. "Kalau pemerintah setuju, saya siap berangkat," ujarnya. Ia tidak keberatan harus masuk pusat latihan antariksawan Glavkosmos - lembaga antariksa US - karena menu latihan yang diperolehnya dari NASA berbeda. Tapi tampaknya hingga kini masih tipis kemungkinan Palapa B2R akan diluncurkan oleh Soviet. Soalnya ada hambatan politis dari AS: larangan alih teknologi kepada negara komunis. "Sulit membayangkan AS akan mengiinkan satelit komunikasinya diluncurkan US," ujar sebuah sumber TEMPO di departemen luar negeri AS. Peraturan itu, katanya, memang masih bisa ditawar. "Namun, perlu manuver politik tingkat tinggi dari kedua pemerintah." Manuver semacam itu bukan mustahil. Ketika Challenger meledak, peluncuran Palapa B2P terkatung-katung. Berkat pendekatan langsung Presiden Soeharto kepada Presiden Reagan sewaktu mereka bertemu di Bali, April 1986, presiden AS itu bersedia menggunakan kekuasaan eksekutifnya, memberi prioritas tinggi pada peluncuran Palapa B2P. Satelit itu pun diluncurkan Delta dengan mulus 21 Maret silam. Soviet, yang jelas tahu peraturan itu, sudah ambil ancang-ancang. "Glovkosmos dengan rekannya di Houston sudah mengadakan pembicaraan dengan perusahaan-perusahaan di AS untuk meluncurkan satelit mereka," ujar Semenov. Praginanto, Laporan P. Nasution (Washington), Bunga Surawijaya & Riyo Sesana (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus