Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Osi Pratiwi Sasmita
Mahasiswa Pascasarjana School of Government and Public Policy, Bogor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Forum Betawi Rempug (FBR) akhirnya menyatakan dukungannya kepada pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada awal Maret lalu. Deklarasi itu sebenarnya tidak terlalu mengherankan. Selama satu bulan terakhir, sejumlah koordinator wilayah FBR telah menyatakan dukungannya kepada Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
FBR Koordinator Wilayah Jakarta Barat menyatakan dukungan untuk Jokowi-Ma’ruf pada 17 Februari. Enam hari kemudian, giliran FBR Koordinator Wilayah Jakarta Utara melakukan hal serupa. Adapun FBR Koordinator Wilayah Kota Bekasi mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf pada awal Maret. Deklarasi FBR ini memberi sinyal bahwa kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno harus bersiap-siap kehilangan salah satu organisasi pendukungnya di DKI Jakarta.
Namun FBR juga bukan organisasi dengan orientasi dan preferensi politik tunggal. Setiap koordinator wilayah tampaknya punya sikap politik sendiri dan boleh jadi berbeda-beda. Pola itu terlihat, misalnya, dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017.
Pada Oktober 2016, Ketua Umum FBR, Lutfi Hakim, menyatakan tidak akan mendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, calon gubernur petahana. Lutfi menyebut Ahok sebagai orang yang "tidak berkarakter, fasis, arogan, pendendam, dan mau menang sendiri". Saat itu, FBR ikut membentuk Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah bersama Front Pembela Islam untuk mencari calon gubernur muslim penantang Ahok.
Sebulan kemudian, FBR Jakarta Timur menyatakan dukungannya untuk pasangan calon gubernur-wakil gubernur Agus Yudhoyono-Sylviana Murni. Deklarasi tersebut juga dihadiri Lutfi dan Sylvi. Namun, pada bulan yang sama, FBR Jakarta Utara justru memberikan dukungan kepada pasangan calon gubernur-wakil gubernur Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Sementara itu, salah satu ciri yang ditunjukkan FBR dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 ialah menolak Ahok dengan mengikuti pelbagai aksi bela Islam.
Hubungan FBR dan Ahok memang panas sejak organisasi itu menolak Ahok diangkat sebagai Gubernur DKI pada 2014 menggantikan Jokowi yang terpilih sebagai presiden. Bila ditarik lagi jauh ke belakang, FPI dan FBR menyatakan dukungannya kepada Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli ketimbang Jokowi-Ahok dalam pemilihan kepala daerah DKI 2012. FBR juga mendukung Susilo Bambang Yudhoyono, yang bukan kandidat dari PDIP, dalam pemilihan presiden 2009.
Meski demikian, ada pula kelompok FBR yang mendukung pasangan calon gubernur-wakil gubernur Ahok-Djarot Saiful Hidayat dalam pemilihan kepala daerah DKI 2017. Menjelang hari pemilihan putaran kedua, FBR Jakarta Selatan menyatakan dukungan untuk Ahok-Djarot. Djarot juga sempat mengklaim bahwa Ketua FBR sebuah gardu di Jakarta Timur mendukungnya.
Jika perpecahan preferensi tersebut tetap berlaku sekarang, Prabowo memang harus bersiap-siap untuk kehilangan satu organisasi pendukungnya di DKI Jakarta. Di sisi lain, Jokowi berpotensi semakin memantapkan peluang perolehan suara di DKI Jakarta.
Namun, berdasarkan pola pengalaman FBR dalam pemilihan sebelumnya, apakah sang ketua akan benar-benar mampu menggerakkan semua elemen FBR untuk memenangkan Jokowi-Ma’ruf? Apakah Jokowi, dengan segala kiprah dan janjinya, bisa menarik anggota FBR agar mau mengkampanyekannya sekaligus mencoblosnya kelak pada 17 April 2019? Lebih jauh, bagaimana strategi mereka apabila kelompok organisasi masyarakat Betawi lain, seperti Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) atau Betawi Cengkareng (Beceng), mendukung Prabowo-Sandiaga?
Yang jelas, selisih suara persentase Jokowi dan Prabowo di DKI Jakarta dalam pemilihan presiden 2014 begitu tipis, hanya 6 persen. Mengacu pada daftar pemilih tetap di pemilihan Gubernur DKI 2017, diperkirakan ada 7,21 juta pemilih di Jakarta dalam pemilihan presiden 2019. Jokowi-Ma’ruf sekurang-kurangnya mesti mengantongi 3,67 juta suara agar unggul 51 persen dan menang di DKI. Dari lima kotamadya dan satu kabupaten di DKI, dalam pemilihan presiden 2014, Jokowi-Jusuf Kalla menang di Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu. Sedangkan Jakarta Timur dan Selatan dikuasai Prabowo-Hatta.
Jokowi-JK memiliki 15 daerah basis, yakni kecamatan yang selisih persentase suara antara Jokowi dan Prabowo lebih dari 10 persen. Semuanya terletak di bagian utara dan barat DKI, kecuali Kebayoran Baru di Jakarta Selatan. Jokowi tercatat sangat kuat di Kelapa Gading, Grogol Petamburan, dan Penjaringan. Selisih kemenangannya atas Prabowo di tiga wilayah itu lebih dari 40 persen suara.
Prabowo-Hatta mempunyai delapan daerah basis di DKI. Semuanya terletak di timur dan selatan Jakarta. Selisih kemenangannya terhadap Jokowi tidak ada yang lebih dari 20 persen. Prabowo unggul paling tinggi di Pancoran dengan selisih suara sebesar 18,4 persen.
Namun di DKI Jakarta juga terdapat banyak daerah labil, kecamatan yang selisih persentase suara antara Jokowi dan Prabowo kurang dari 5 persen. Ada 14 kecamatan dengan kategori ini. Bahkan di Cempaka Putih, Palmerah, Setiabudi, dan Cilincing selisih persentase suara Jokowi dan Prabowo kurang dari 1 persen.
Lantas apakah pernyataan sikap FBR yang mendukung Jokowi-Ma’ruf akan mengubah secara signifikan dukungan suara di Ibu Kota? Atau ini hanya deklarasi elitis di tubuh organisasi Betawi tersebut saat para petingginya mencoba menggiring pilihan para anggotanya agar beralih ke kubu 01? Bagaimanapun, melihat perkembangan politik di Jakarta setelah pemilihan gubernur setahun lalu, dinamikanya akan sangat menarik dan sangat berpengaruh terhadap peta persaingan politik pemilu mendatang.