Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAHASA Indonesia sangat dinamis. Terus bertumbuh. Mengiringi dinamika komunikasi di tengah masyarakat. Bukan hanya kosakatanya yang bertambah, tapi juga istilah yang digunakan dalam pergaulan sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk kosakata, tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia terus memasukkan kosakata baru ke lema kamusnya. Baik yang berasal dari bahasa daerah di seluruh Indonesia maupun serapan dari bahasa asing.
Harus diakui, untuk urusan istilah, orang Indonesia memang dikenal sangat kreatif. Mereka tak segan-segan mengawinkan kata dari beberapa bahasa menjadi satu istilah. Misalnya kata bahasa Indonesia dikawinkan dengan kata bahasa Inggris, kata bahasa Inggris dikawinkan dengan kata bahasa Arab, atau kata bahasa Arab dikawinkan dengan kata bahasa Indonesia. Perkawinan antarbahasa itu menghasilkan “anak bahasa” yang cakep. Enak disebut, enak dibaca, dan enak didengar.
“Happy milad” dan/atau “selamat milad”, misalnya. Dua istilah itu memenuhi kamar grup WhatsApp Ruang Sastra sejak pagi hingga malam pada 20 Oktober 2022. Istilah-istilah itu ditujukan kepada Kurnia Effendi, sastrawan Indonesia yang genap berusia 62 tahun pada tanggal tersebut. “Happy milad” adalah perkawinan dua kata dari bahasa asing, yakni antara happy (Inggris) dan milad (Arab). Adapun “selamat milad” merupakan perkawinan antara bahasa Indonesia (selamat) dan bahasa Arab (milad). Keduanya sukses menyaingi—bahkan mulai menggeser—happy birthday dan selamat ulang tahun sebagai ucapan kepada sanak saudara, sahabat, dan kolega yang sedang merayakan hari kelahiran.
Hampir setiap hari bola mata saya tercantol pada tulisan “DaQu School”. Tulisan itu menempel di pagar sekolah yang berada di seberang jalan depan kantor saya di Banyuwangi, Jawa Timur. DaQu ialah akronim yang terbentuk dari dua kata bahasa Arab: dar dan Al-Qur’an. Dalam kamus Almaany edisi daring, “dar” punya beberapa arti: tempat, rumah, tempat tinggal, bahkan bisa berarti lebih luas, yakni kampung/perkampungan. Tergantung konteksnya. Misalnya dar muallimin bermakna sekolah guru. Maka “Dar Al-Qur’an” bisa diartikan sebagai rumah atau tempat belajar Al-Quran. Sebenarnya bisa juga diterjemahkan sebagai “sekolah Al-Quran”, tapi hal itu tidak bisa dilakukan. Sebab, akan bertumbukan makna dengan school (kata bahasa Inggris) yang ada di belakangnya. Dengan kata lain, bila “sekolah Al-Quran” menjadi arti DaQu (Dar Al-Qur’an) School, boleh dibilang itu merupakan kawin paksa antara bahasa Arab dan Inggris yang melahirkan tumpang-tindih makna.
Beberapa tahun mutakhir, telinga dan mata kita juga akrab dengan “One Day One Juz”. Istilah itu berkaitan dengan aktivitas membaca ayat-ayat Al-Quran. “Satu Hari Satu Juz”, begitu kira-kira artinya. Istilah “One Day One Juz” merupakan hasil perkawinan antara bahasa Inggris (one day) dan bahasa Indonesia (juz). Tapi sejatinya “juz” sendiri tidak benar-benar asli Indonesia. Ia “berdarah” campuran Indonesia-Arab. “Juz” diserap dari bahasa Arab.
Saya mencoba menelusuri “juz” di dalam Oxford Dictionary of English versi daring. Ternyata saya gagal menemukannya. Lalu saya ketik “juz” pada kolom terjemahan bahasa Indonesia ke bahasa Inggris di Google Translate. Muncul kata “juz” dengan terjemahan alternatif: section of the Koran. Berarti “One Day One Juz” bukan hanya perkawinan di antara dua bahasa (Arab-Indonesia), tapi juga tiga bahasa sekaligus: Arab-Indonesia-Inggris.
Perkawinan tiga bahasa bukan hanya Arab-Indonesia-Inggris, tapi juga bisa sebaliknya, yakni Inggris-Arab-Indonesia. Perkawinan semacam itu terjadi di Jawa Barat. Pada awal November 2019, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengirim lima ulama ke Inggris. Mereka berdakwah menyiarkan Islam yang damai di Kota London, Stockholm, Cardiff, Manchester, dan Birmingham. Program itu diberi nama “English for Ulama”.
Sementara itu, dari program “One Pesantren One Product”, kita tidak hanya melihat upaya beberapa pemerintah provinsi memberikan bantuan modal ataupun alat untuk berbisnis kepada pesantren, tapi juga menemukan perkawinan kata bahasa Inggris-Indonesia-Inggris.
Kita tidak bisa menafikan perkawinan bahasa yang makin marak belakangan ini. Tugas kita adalah mewaspadai terjadinya kawin paksa bahasa. Praktik perkawinan semacam itu bukannya memperkaya khazanah bahasa Indonesia, malah menodai kehormatan bahasa nasional kita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo