KISAH SEORANG DOKTER GERILYA Dalam Revolusi Kemerdekaan di Banten Oleh: Matia Madjiah. Penerbit: PT Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1986, 269 halaman LELAKI itu bernama Satrio. Tak banyak yang mengenalnya. Bahkan mungkin sampai sekarang pun tak banyak dokter puskesmas yang tahu apa peranannya dalam revolusi kemerdekaan tempo doeloe. Lelaki itu memang seorang dokter. Ia ikut berjuang di pedalaman Banten sebagai seorang dokter gerilya yang tak mengenal lelah -- dan nyaris tak dikenal sejarah. "Tapi tidak semua orang ingin menonjol dan tidak semua orang bersedia ditonjolkan, termasuk Satrio," tulis Matia Madjiah di akhir bukunya itu. Lelaki itu memang bernama Dokter Satrio. Ia seorang dokter yang rendah hati. Sangat cinta pada profesinya dan mengabdikan profesinya itu bagi kepentingan umat manusia. Ia selalu bergerak, tak pernah diam membeku: dia seorang yang dinamis, praktis, dan juga pragmatis (halaman 90). Sebagai dokter gerilya yang tak memiliki peralatan kesehatan memadai, ia tidak kehilangan akal untuk membantu para korban perang. Di stasiun Tenjo yang kecil, sekitar Juli 1947, ia membangun kamar operasi. Korban-korban pertempuran dapat segera diangkut menuju Tenjo, untuk mendapatkan pertolongan, dengan lori dorong atau lori motor. Pada waktu itu, jalur kereta api merupakan jalur yang tercepat untuk menolong korban. Tak ada jalan aspal. Sebagai suatu unit operasi, Satrio menyulap sebuah gerbong menjadi kamar operasi yang dilengkapi dengan beberapa tempat tidur untuk perawatan sementara. Antara ruang operasi dan tempat perawatan itu dipasangnya tirai yang terbuat dari kain belacu. Gerbong lainnya digunakannya sebagai ruang makan merangkap kamar tidur para petugas, ruang sterilisasi merangkap kamar balut, dan ruang untuk perlengkapan bengkel. Di gerbong unit operasi inilah Satrio melakukan beberapa operasi besar, di samping operasi ringan. Amputasi dilakukannya dengan sukses, dan pengeluaran pecahan-pecahan granat dapat dikerjakannya tanpa bantuan sinar ronsen. Seorang purnawirawan perang yang pernah dioperasinya dengan melakukan enokulasi bola matanya ternyata masih hidup sampai sekarang. Prajurit itu bernama Jaya, dan sekarang bermukim di Batuceper, Tangerang (halaman 114). Seorang pasiennya yang juga masih hidup sampai sekarang ialah Gozali Buntung, bekas komandan gerilya yang sangat terkenal di Banten, pada waktu itu. Lengan kanan Gozali hancur berantakan akibat ledakan granat. Satrio melakukan amputasi dengan menggergaji tulang lengan yang tersisa. Pekerjaan ini dilakukannya seorang diri, dan dapat dilakukannya dengan baik. Operasi ini berlangsung di Gunung Karang yang sangat terpencil dan, untuk mencapainya dari Tenjo, Satrio harus berjalan kaki semalam suntuk lebih dahulu (halaman 201). Pengalaman demikian ini mungkin bisa disamakan dengan pengalaman beberapa dokter muda sekarang yang menjalankan masa pengabdiannya di sebuah puskesmas pedesaan yang terpencil, yang untuk mengatasi ledakan wabah kolera dan melakukan surveillance penyakit itu, harus menyusuri jalan setapak yang berliku-liku sehari suntuk lebih dahulu. Beberapa puskesmas di pedesaan yang terpencil memang tidak lebih baik kondisinya dibandingkan dengan gerbong unit operasi yang dibangun Satrio di Tenjo, pada waktu perang kemerdekaan itu. Di beberapa pedesaan terpencil, fasilitas kesehatan yang ada memang belum melegakan. Dan kesehatan memang merupakan problem yang utama. Penyakit infeksi, kurang gizi, dan masalah-masalah kependudukan merupakan trio yang kait-mengait. Trio ini menghantui penduduk di desa-desa yang terkurung itu. Beribu-ribu nyawa terserap olehnya dengan gampang sekali. Beribu-ribu masa depan dipupusnya sejak pagi, tanpa rasa kasihan, tanpa banyak pikir, dan tanpa sisa. Dengan fasilitas kesehatan yang minim, seorang dokter puskesmas harus mengatasi trio itu dengan segenap kemampuan dan kreativitasnya tanpa banyak kata, kecuali dengan tekad yang sudah jadi, dan selebihnya sunyi. Buku Matia dengan gambar sampul yang mirip sebuah novel ini dengan baik sekali mengungkapkan pengalaman Dokter Satrio sewaktu memberantas wabah cacar yang meledak di kantung-kantung gerilya. Penyakit ganas yang mengerikan itu menyerang penduduk Banten secara epidemis. Serangan dimulai dari Jakarta, menjalar ke daerah Tangerang, maju terus ke arah barat dan selatan, lalu merambat ke daerah pedalaman di kantung-kantung gerilya, menyerang penduduk yang menjadi tulang punggung para pejuang. Karena vaksin cacar sangat langka pada waktu itu, Satrio memutuskan membuat vaksin sendiri dengan jalan membiakkannya pada seekor kerbau. Kerbau itu dimandikan lebih dahulu di sebuah kali kecil di tepi kampung. Kulitnya dicukur dan disabuni, lalu bibit vaksin cacar dibiakkan pada goresan-goresan yang dibuat pada kulit yang sudah bersih itu. Kerak bisul yang terjadi beberapa hari kemudian digerus dengan cairan gliserin menjadi vaksin cacar yang siap untuk dipakai (bab XVII). Satrio juga dikenal sebagai salah seorang pendiri Palang Merah Indonesia. Di mulai dari CBZ (sekarang: Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta), sewaktu Jepang kalah perang dan Belanda menduduki Jakarta kembali, Satrio mengembangkan pos-pos PMI di luar kota. Dengan menggunakan truk buntung bertuliskan Indonsian Red Cross, Satrio mengangkuti berbagai peralatan dan obat-obatan dari CBZ, yang waktu itu masih dikuasai RI, dan memindahkannya ke RS Karawang, Tangerang, dan pos-pos PMI di Banten. "Tindakan-tindakan Satrio sebagai dokter gerilya pada waktu itu dapat digolongkan sebagai tindakan legendaris," kata Prof. Dr. H. Erie Sodewo, salah seorang bekas teman seperjuangannya, dalam Sekapur Sirih buku Matia ini. Buku ini setidaknya telah menambah perbendaharaan pengetahuan kita mengenai seorang tokoh kesehatan yang banyak melakukan tindakan yang sangat berarti, tapi sedikit sekali diketahui sampai saat ini. Tak banyak buku yang mengungkapkan sejarah perjuangan di bidang kesehatan di Indonesia. Itulah sebabnya buku Matia menjadi begitu penting dan tetap langka. Walaupun sangat tidak lengkap jika dikategorikan sebagai biografi. Dari keseluruhan buku, riwayat Satrio terasa hanya sebagai cuplikan-cuplikan pendek. Dan bab Serba-Serbi, yang merupakan anekdot-anekdot ringan, terasa tidak padu dengan bagian lain dari plot buku (bab XXIII). Alangkah baiknya bila bab ini diintegrasikan ke dalam bab-bab lain, dan dengan demikian mungkin bisa mengurangi kesan kering dan lugas dari gaya bahasa yang dipakai. Buku sejarah atau biografi seseorang barangkali lebih tepat jika ditulis dengan gaya investigative report. Apalagi jika pelaku-pelaku sejarah yang terlibat dalam peristiwa itu masih hidup dan dapat diwawancarai. Banyak hal yang memang masih perlu diungkapkan. Juga mengenai lelaki itu. Seorang lelaki yang dianggap sebagai Bapak Palang Merah Indonesia, Sesepuh Jawatan Kesehatan AD dan Pusat Kesehatan ABRI. Seorang lelaki yang pernah menjabat sebagai menteri kesehatan di tahun-tahun pertama kemerdekaan, dan dengan Bintang Mahaputra di dadanya. Faisal Baraas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini