PERMISI, numpang ikut diskusi. Tentang Film Nabi Muhammad,
gambaran yang saya pahami dari beberapa pendapat yang telah
dikemukakan, berkisar pada tinjauan dengan alas agama, emosi/
rasa agama, atau mithos.
Sebagai laiknya berbicara masalah agama, pertama sekali yang
wajib ditelusuri untuk dijadikan landasan adalah dasar ajaran
itu sendiri. Dan dalam hal agama Islam ialah Alqur'an dan
Al-Hadist. Di seputar ini, sepanjang pengetahuan saya belum
pernah saya jumpai suatu nash yang sharih dan qath'i (teks induk
yang gamblang dan mutlak-memutuskan red) secara tegas-tegas
melarang permisuilan diri Nabi Muhammad -- baik dalam film
maupun bentuk lain. Pun belum pernah mendengarnya.
Perlu ditegaskan, Fatwa Ulama sebagai yang dipohon Sdr. M. CH.
Tanwir Bey (TEMPO, 29 Nopember 1975), kalaulah akan
dikeluarkan/dimusyawarahkan (kendati ulama Al-Azhar sekalipun),
statusnya tidak akan menjadi agama. Dalam arti secara otomatis
sah menjadi ketentuan Allah dan Rasul, berstatus kebenaran
mutlak. Paling banter akan berstatus relatif, nisbi, karena
memang berderajat interpretasi, lagi manusiawi. Stempel atau
legalitas agama hanya diberikan oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad
SAW, itupun sejak diangkatnya beliau menjadi Rasul dan sampai
kala haji Wada', yang ketika itu bertepatan turun wahyu
terakhir.
Jika memang Alq ur'an dan Al-Hadist tak melarang -- setahu saya
tidak bukankah tersilah saja buat Anthony Quinn atau siapa saja,
pula produser film, untuk segera membuat desain dan berakting?
Soal kesempurnaan pemeranan, tentu saja paling bisa hanya mirip.
Justru kalau dibilang persis, itu malah harus diragukan
kebenarannya. Cuma, memang harus diingat bahwasanya Nabi itu.
bilang Aisyah (isteri Nabi), berakhlak Alqur'an.
Berkenaan dengan emosi atau rasa agama sebagai yang pernah
dipersoalkan, itu bukan bidang agama secara langung.
Keberagamaan (pinjam istilah Pak Mukti Ali), erat kaitannya
dengan psikologi sosial yang pernah berkecamuk dengan lebatnya
di masyarakat agama kita. Dus, pendekatannya harus dibedakan.
Kadar mini, maxi, sifat dan bentuk, pula dalam hal apa rasa
agama itu tersentuh, finalitasnya bukan dalam agama. Sepanjang
pengetahuan penulis baik dari buku atau pendapat yang pernah
kedengaran, di masyarakat Islam yang biasa terjadi itu bukan
lewat pemujaan atau kultus gambar. Namun ia kuburan-kuburan yang
dianggap keramat. Dalam agama lain, Kristen umpamanya, hal itu
mngkin terjadi. Karena memang celah untuk berbuat atau bersikap
demikian sangat memungkinkan sekali. Pula kalangan Thariqat,
apapun alirannya, paling menganggap-lebih tokohnya lewat arwah,
roh, dengan cara mengirim sajian atau pujaan tertentu.
Kalaulah akan terjadi -- dan ini tipis sekali -- paling di
kalangan awam. Dan itu bukankah suatu pertanda masih dangkalnya
pemahaman mereka terhadap agama? Apakah ini akan dipertahankan
mati-matian? Bukankah tugas kita untuk melerai dengan cara
meningkatkan pengetahuan dan keberagarnaan mereka ? Saya pikir
secara psikologis justru akan sangat menguntungkan. Sebab,
secara ini, kecenderungan mereka untuk menginternalkan dan
mengitimasikan diri akan terkanalisasikan kepada yang lebih
agung, baik, dan saleh. Alasan pemuda-pemuda tanggung bahwa Nabi
juga gondrong umpamanya, akan tersipu malu sendiri: bahwa di
balik kegondrongan itu ada pribadi yang agung. Dan mereka, juga
yang lain, akan mencontoh secara integral dan bukan secara
parsiil: ininya atau itunya saja.
Soal mithos dan kultus individu justru analisa dapat 180ø
berbalik. Ketakutan akan pemeranan atau pemisuilan diri Nabi,
itulah yang pertanda permithosan dan pengkultus-individuan
terhadap beliau: bahwa beliau adalah Nabi, lain dari manusia
biasa, keramat, suci, beda dengan manusia kita secara badaniah,
ditambah cerita ini dan itu. Padahal masalahnya sudah jelas.
Nabi Muhammad itu manusia biasa seperti kita, makan, minum,
beristeri, marah, ketawa dan pernah relak pula di pasar.
Pokoknya seperti digambarkan Alqur'an sendiri, "dia manusia
seperti kalian juga berjalan-jalan di pasar-pasar". Perbedaannya
hanya karena beliau mendapat wahyu. Titik. Bahkan beliau pernah
salah hingga lalu Allah, via Alqur'an, meralatnya. Pun pula,
bukankah Anthony Quinn itu bintang film, di layar perak
beraksinya, di suratkabar atau majalah reklamenya, yang
segalanya itu sudah mafhum tentunya masyarakat kita? Masyarakat
paling tolol pun memahami apa dan siapa yang di layar atau di
tembok, begitu cahaya dipadamkan. Mirip film yang berjudul Ten
Commanmends dengan bintang si Yul Brynner.
Walhasil, tiga pokok yang saya ajukan sangat memungkinkan sekali
bila kini, dan di sini, pembuatan film yang berlatar belakang
da'wah agama tersebut digarap saja. Tuhan toh mafhum akan
motivasi, fikiran dan polah tingkah sehat dari hamba-Nya. Terima
kasih Pak Pimpinan Sidang Pendapat, minimal buat inventarisasi
pendapat.
IRCHAMNI S.
d/a Kantor Departemen Agama
Tulungagung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini