Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Film nabi muhammad: ayo digarap saja

Dalam nash yang sharih dan gath'i tidak ada larangan pemisuilan diri nabi muhammad. film yang berlatar belakang da'wah agama sebaiknya digarap saja, sepanjang motivasinya bukan kultus individu. (kom)

31 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERMISI, numpang ikut diskusi. Tentang Film Nabi Muhammad, gambaran yang saya pahami dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan, berkisar pada tinjauan dengan alas agama, emosi/ rasa agama, atau mithos. Sebagai laiknya berbicara masalah agama, pertama sekali yang wajib ditelusuri untuk dijadikan landasan adalah dasar ajaran itu sendiri. Dan dalam hal agama Islam ialah Alqur'an dan Al-Hadist. Di seputar ini, sepanjang pengetahuan saya belum pernah saya jumpai suatu nash yang sharih dan qath'i (teks induk yang gamblang dan mutlak-memutuskan red) secara tegas-tegas melarang permisuilan diri Nabi Muhammad -- baik dalam film maupun bentuk lain. Pun belum pernah mendengarnya. Perlu ditegaskan, Fatwa Ulama sebagai yang dipohon Sdr. M. CH. Tanwir Bey (TEMPO, 29 Nopember 1975), kalaulah akan dikeluarkan/dimusyawarahkan (kendati ulama Al-Azhar sekalipun), statusnya tidak akan menjadi agama. Dalam arti secara otomatis sah menjadi ketentuan Allah dan Rasul, berstatus kebenaran mutlak. Paling banter akan berstatus relatif, nisbi, karena memang berderajat interpretasi, lagi manusiawi. Stempel atau legalitas agama hanya diberikan oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW, itupun sejak diangkatnya beliau menjadi Rasul dan sampai kala haji Wada', yang ketika itu bertepatan turun wahyu terakhir. Jika memang Alq ur'an dan Al-Hadist tak melarang -- setahu saya tidak bukankah tersilah saja buat Anthony Quinn atau siapa saja, pula produser film, untuk segera membuat desain dan berakting? Soal kesempurnaan pemeranan, tentu saja paling bisa hanya mirip. Justru kalau dibilang persis, itu malah harus diragukan kebenarannya. Cuma, memang harus diingat bahwasanya Nabi itu. bilang Aisyah (isteri Nabi), berakhlak Alqur'an. Berkenaan dengan emosi atau rasa agama sebagai yang pernah dipersoalkan, itu bukan bidang agama secara langung. Keberagamaan (pinjam istilah Pak Mukti Ali), erat kaitannya dengan psikologi sosial yang pernah berkecamuk dengan lebatnya di masyarakat agama kita. Dus, pendekatannya harus dibedakan. Kadar mini, maxi, sifat dan bentuk, pula dalam hal apa rasa agama itu tersentuh, finalitasnya bukan dalam agama. Sepanjang pengetahuan penulis baik dari buku atau pendapat yang pernah kedengaran, di masyarakat Islam yang biasa terjadi itu bukan lewat pemujaan atau kultus gambar. Namun ia kuburan-kuburan yang dianggap keramat. Dalam agama lain, Kristen umpamanya, hal itu mngkin terjadi. Karena memang celah untuk berbuat atau bersikap demikian sangat memungkinkan sekali. Pula kalangan Thariqat, apapun alirannya, paling menganggap-lebih tokohnya lewat arwah, roh, dengan cara mengirim sajian atau pujaan tertentu. Kalaulah akan terjadi -- dan ini tipis sekali -- paling di kalangan awam. Dan itu bukankah suatu pertanda masih dangkalnya pemahaman mereka terhadap agama? Apakah ini akan dipertahankan mati-matian? Bukankah tugas kita untuk melerai dengan cara meningkatkan pengetahuan dan keberagarnaan mereka ? Saya pikir secara psikologis justru akan sangat menguntungkan. Sebab, secara ini, kecenderungan mereka untuk menginternalkan dan mengitimasikan diri akan terkanalisasikan kepada yang lebih agung, baik, dan saleh. Alasan pemuda-pemuda tanggung bahwa Nabi juga gondrong umpamanya, akan tersipu malu sendiri: bahwa di balik kegondrongan itu ada pribadi yang agung. Dan mereka, juga yang lain, akan mencontoh secara integral dan bukan secara parsiil: ininya atau itunya saja. Soal mithos dan kultus individu justru analisa dapat 180ø berbalik. Ketakutan akan pemeranan atau pemisuilan diri Nabi, itulah yang pertanda permithosan dan pengkultus-individuan terhadap beliau: bahwa beliau adalah Nabi, lain dari manusia biasa, keramat, suci, beda dengan manusia kita secara badaniah, ditambah cerita ini dan itu. Padahal masalahnya sudah jelas. Nabi Muhammad itu manusia biasa seperti kita, makan, minum, beristeri, marah, ketawa dan pernah relak pula di pasar. Pokoknya seperti digambarkan Alqur'an sendiri, "dia manusia seperti kalian juga berjalan-jalan di pasar-pasar". Perbedaannya hanya karena beliau mendapat wahyu. Titik. Bahkan beliau pernah salah hingga lalu Allah, via Alqur'an, meralatnya. Pun pula, bukankah Anthony Quinn itu bintang film, di layar perak beraksinya, di suratkabar atau majalah reklamenya, yang segalanya itu sudah mafhum tentunya masyarakat kita? Masyarakat paling tolol pun memahami apa dan siapa yang di layar atau di tembok, begitu cahaya dipadamkan. Mirip film yang berjudul Ten Commanmends dengan bintang si Yul Brynner. Walhasil, tiga pokok yang saya ajukan sangat memungkinkan sekali bila kini, dan di sini, pembuatan film yang berlatar belakang da'wah agama tersebut digarap saja. Tuhan toh mafhum akan motivasi, fikiran dan polah tingkah sehat dari hamba-Nya. Terima kasih Pak Pimpinan Sidang Pendapat, minimal buat inventarisasi pendapat. IRCHAMNI S. d/a Kantor Departemen Agama Tulungagung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus