PERTEMUAN Paris bulan Desember 1975 antara negara industri,
negara penghasil minyak dan negara miskin yang kekurangan bahan
mentah merupakan langkah pertama ke arah dialog yang konstruktif
tentang Tata Ekonomi Dunia Baru (TEDB). Walaupun hasil pertemuan
pertama ini belum dapat diharapkan-memuaskan semua fihak, namun
diselenggarakannya pertemuan ini saja sudah merupakan pertanda
baik bahwa akhirnya negara-negara industri -- termasuk Amerika
Serikat -- bersedia membicarakan atau sedikitnya mendengarkan
hal-hal yang ingin disampaikan oleh negara berkembang. Baik yang
punya minyak, maupun yang tidak mempunyai bahan mentah.
Ini berbeda sekali dengan pertemuan pendahuluan bulan April 1975
yang gagal sewaktu negara-negara OPEC menolak tuntutan AS agar
pertemuan antara negara industri dan negara penghasil minyak
hanya dibatasi pada pembicaraan tentang enerji (minyak) dan agar
masalah minyak jangan dikaitkan dengan masalah bahan mentah
lainnya. Syukur sikap keras AS kemudian diperlunak melalui
pernyataan Kissinger akhir Mei 1975. Di situ Kissinger
menegaskan bahwa AS bersedia memperluas dialog antara penghasil
minyak dan negara pemakai minyak menjadi dialog mengenai
"hubungan antara negara maju dan negara berkembang". Sikap mana
dia pertegas lagi dalam Sidang Umum PBB awal September 1975.
Namun perlu disadari, pada hakekatnya apa yang kita saksikan
sekarang bukanlah semata-mata pertikaian antara negara kaya dan
negara berkembang tentang masalah minyak atau bahan mentah
umumnya. Tapi suatu hal yang lebih fundamentil, yaitu babak
pertama dalam perjuangan negara berkembang untuk mencapai suatu
tata ekonomi dunia baru yang memberikan peluang lebih besar bagi
mereka untuk berkembang secara wajar, sembari menegaskan hak-hak
mereka untuk memegang peranan yang sederajat dengan
negara-negara maju dalam badan-badan internasional dan regional
yang mengatur hubungan ekonomi dan keuangan antar bangsa.
Seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Persetujuan Urnum
tentang Tarif dan Perdagangan (GATT), Bank Dunia, dan lain-lain.
Hanya hal-hal tersebut yang dituntut negara berkembang. Bukan
transfer kekayaan dan pendapatan secara besar-besaran dari
negara kaya ke negara miskin, seperti disangka sementara orang.
Konfontasi
Apa yang dituntut itu tentu saja bukan hal yang sepele, dan
karena itu akan ditentang keras oleh negara maju. Dengan
demikian di tahun-tahun mendatang akan kita saksikan pertarungan
seru antara negara maju dengan negara berkembang di mana
persenjataan yang diadu terutama terdiri atas minyak, pangan,
dan teknologi. Jika persenjataan negara berkembang terutama
terdiri tas minyak bumi dan mungkin beberapa bahan mentah
lainnya, maka senjata negara maju tidak kalah ampuhnya, yakni
teknologi dan pangan yang sangat diperlukan oleh negara
berkembang. Jika riegara maju pada akhir 1973 tiba-tiba
menyadari bahwa mereka sangat tergantung pada minyak bumi yang
sebagian besar terdapat di negara berkembang, maka Dunia Ketiga
itu sendiri juga menghadapi kenyataan pahit: mereka juga
tergantung pada teknologi negara maju untuk pembangunan mereka,
serta impor pangan dari negala maju karena mereka sendiri
umumnya belum sanggup menghasilkan cukup pangan bagi penduduknya
yang bertambah pesat.
Kenyataan pada waktu ini ialah: penghasil surplus pangan yang
besar adalah negara seperti AS, Kanada, Perancis dan Australia.
Makanya pengamatan Eliot Janeway, seorang penulis Amerika, tak
terlampau jauh dari kenyataan sewaktu ia menyatakan bahwa
pertarungan antara negara maju dan negara berkembang pada
dasarnya merupakan konfrontasi antara agripower dan petropower.
Ini disadari sepenuhnya oleh AS, produsen pangan terbesar di
dunia, yang terbukti dari pernyataan beberapa pejabat tinggi
Amerika. Dalam Konperensi Pangan Dunia di Roma bulan Nopember
1974, Asisten Menlu AS Thomas Enders menegaskan bahwa "kekuatan
monopoli produsen pangan melebihi monopoli produsen minyak".
Sedang Menteri Pertanian AS Earl Butz menyatakan "pangan
merupakan alat diplomasi AS".
Menghadapi kenyataan di atas perlu disadari bahwa dalam suatu
tata ekonomi dunia baru yang mantap, perlu ada perimbangan yang
wajar antara kepentingan negara berkembang di satu fihak dan
kepentingan negara maju di lain fihak. Negara maju perlu
mengakui aspirasi yang wajar dari negara berkembang untuk turut
menentukan "aturan permainan" tata ekonomi dunia baru. Dan bahwa
negara-negara berkembang tidak bersedia lagi menjadi daerah
periphery (pinggiran) belaka dari negara-negara 'metropolitan'.
Di lain fihak negara berkembang pun perlu menyadari bahwa mereka
tidak dapat dan tidak mampu memaksakan kehendak mereka
seluruhnya atas negara maju, karena mereka juga tergantung pada
negara maju untuk memacu laju pembangunan mereka. Jelaslah bahwa
dengan demikian suatu tata ekonomi dunia baru tidak dapat
terwujud dalam satu-dua tahun, tapi sangat mungkin akan makan
waktu beberapa dasawarsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini