Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengakhiri konfrontasi ...

Menurut penulis as eliot janeway, pertarungan antar negara maju dan berkembang merupakan konfrontasi agripower dan petropower. dalam suatu tata ekonomi dunia baru, kepentingan negara perlu seimbang.

31 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN Paris bulan Desember 1975 antara negara industri, negara penghasil minyak dan negara miskin yang kekurangan bahan mentah merupakan langkah pertama ke arah dialog yang konstruktif tentang Tata Ekonomi Dunia Baru (TEDB). Walaupun hasil pertemuan pertama ini belum dapat diharapkan-memuaskan semua fihak, namun diselenggarakannya pertemuan ini saja sudah merupakan pertanda baik bahwa akhirnya negara-negara industri -- termasuk Amerika Serikat -- bersedia membicarakan atau sedikitnya mendengarkan hal-hal yang ingin disampaikan oleh negara berkembang. Baik yang punya minyak, maupun yang tidak mempunyai bahan mentah. Ini berbeda sekali dengan pertemuan pendahuluan bulan April 1975 yang gagal sewaktu negara-negara OPEC menolak tuntutan AS agar pertemuan antara negara industri dan negara penghasil minyak hanya dibatasi pada pembicaraan tentang enerji (minyak) dan agar masalah minyak jangan dikaitkan dengan masalah bahan mentah lainnya. Syukur sikap keras AS kemudian diperlunak melalui pernyataan Kissinger akhir Mei 1975. Di situ Kissinger menegaskan bahwa AS bersedia memperluas dialog antara penghasil minyak dan negara pemakai minyak menjadi dialog mengenai "hubungan antara negara maju dan negara berkembang". Sikap mana dia pertegas lagi dalam Sidang Umum PBB awal September 1975. Namun perlu disadari, pada hakekatnya apa yang kita saksikan sekarang bukanlah semata-mata pertikaian antara negara kaya dan negara berkembang tentang masalah minyak atau bahan mentah umumnya. Tapi suatu hal yang lebih fundamentil, yaitu babak pertama dalam perjuangan negara berkembang untuk mencapai suatu tata ekonomi dunia baru yang memberikan peluang lebih besar bagi mereka untuk berkembang secara wajar, sembari menegaskan hak-hak mereka untuk memegang peranan yang sederajat dengan negara-negara maju dalam badan-badan internasional dan regional yang mengatur hubungan ekonomi dan keuangan antar bangsa. Seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Persetujuan Urnum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT), Bank Dunia, dan lain-lain. Hanya hal-hal tersebut yang dituntut negara berkembang. Bukan transfer kekayaan dan pendapatan secara besar-besaran dari negara kaya ke negara miskin, seperti disangka sementara orang. Konfontasi Apa yang dituntut itu tentu saja bukan hal yang sepele, dan karena itu akan ditentang keras oleh negara maju. Dengan demikian di tahun-tahun mendatang akan kita saksikan pertarungan seru antara negara maju dengan negara berkembang di mana persenjataan yang diadu terutama terdiri atas minyak, pangan, dan teknologi. Jika persenjataan negara berkembang terutama terdiri tas minyak bumi dan mungkin beberapa bahan mentah lainnya, maka senjata negara maju tidak kalah ampuhnya, yakni teknologi dan pangan yang sangat diperlukan oleh negara berkembang. Jika riegara maju pada akhir 1973 tiba-tiba menyadari bahwa mereka sangat tergantung pada minyak bumi yang sebagian besar terdapat di negara berkembang, maka Dunia Ketiga itu sendiri juga menghadapi kenyataan pahit: mereka juga tergantung pada teknologi negara maju untuk pembangunan mereka, serta impor pangan dari negala maju karena mereka sendiri umumnya belum sanggup menghasilkan cukup pangan bagi penduduknya yang bertambah pesat. Kenyataan pada waktu ini ialah: penghasil surplus pangan yang besar adalah negara seperti AS, Kanada, Perancis dan Australia. Makanya pengamatan Eliot Janeway, seorang penulis Amerika, tak terlampau jauh dari kenyataan sewaktu ia menyatakan bahwa pertarungan antara negara maju dan negara berkembang pada dasarnya merupakan konfrontasi antara agripower dan petropower. Ini disadari sepenuhnya oleh AS, produsen pangan terbesar di dunia, yang terbukti dari pernyataan beberapa pejabat tinggi Amerika. Dalam Konperensi Pangan Dunia di Roma bulan Nopember 1974, Asisten Menlu AS Thomas Enders menegaskan bahwa "kekuatan monopoli produsen pangan melebihi monopoli produsen minyak". Sedang Menteri Pertanian AS Earl Butz menyatakan "pangan merupakan alat diplomasi AS". Menghadapi kenyataan di atas perlu disadari bahwa dalam suatu tata ekonomi dunia baru yang mantap, perlu ada perimbangan yang wajar antara kepentingan negara berkembang di satu fihak dan kepentingan negara maju di lain fihak. Negara maju perlu mengakui aspirasi yang wajar dari negara berkembang untuk turut menentukan "aturan permainan" tata ekonomi dunia baru. Dan bahwa negara-negara berkembang tidak bersedia lagi menjadi daerah periphery (pinggiran) belaka dari negara-negara 'metropolitan'. Di lain fihak negara berkembang pun perlu menyadari bahwa mereka tidak dapat dan tidak mampu memaksakan kehendak mereka seluruhnya atas negara maju, karena mereka juga tergantung pada negara maju untuk memacu laju pembangunan mereka. Jelaslah bahwa dengan demikian suatu tata ekonomi dunia baru tidak dapat terwujud dalam satu-dua tahun, tapi sangat mungkin akan makan waktu beberapa dasawarsa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus