Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengapa orang minang merantau?

Suku-suku dekat pusat-pusat kegiatan politik-ekonomi-sosial berkecenderungan migrasi yang rendah, dan terjadi sebaliknya. untuk pemecahannya perlu diciptakan jakarta-jakarta mini di daerah-daerah, sebagai kegiatan poleksos.

31 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAWAN di sebelah saya dalam pesawat ke Jakarta, begitu mengetahui bahwa saya pernah mempelajari segi-segi perantauan suku Minangkabau, lantas bertanya: Apa gerangan sebabnya maka orang Minang banyak merantau. Pertanyaan tersebut saya kembalikan padanya. Sekaligus mencek apakah kesimpulan-kesimpulan yang telah saya dapat cocok dengan yang dirasakannya. Sebab pertama katanya, adalah karena sistem kekerabatan di Minangkabau yang berdasar kepada garis-keibuan (matrilineal), yang kurang memberi tempat kepada lelaki. Saya solang: jika itu benar, kenapa hanya sekarang jumlahnya begitu besar, sedang Sensus 1930 menunjukkan bahwa tingkat emigrasi orang Minangkahau hanyalah yang ke empat setelah suku Bawean, Batak dan Banjar. Ketiga suku perantau tersebut jelas bukan suku matrilineal, tapi bilateral dan patriarchal. Sedang orang Minangkabau jauh-jauh sebelum itupun sudah matrilineal juga. Lagi, suku-suku matrilineal di bagian dunia lain tidak selamanya menunjukkan kecenderungan migrasi yang tinggi. Kawan tersebut lantas menonjolkan faktor desakan ekonomi. Tapi inipun, secara tersendiri tidaklah otomatis menyebabkan orang akan beremigrasi. Lihat misalnya suku Jawa, yang walaupun kebanyakan hidup berkekurangan, tapi justru paling enggan merantau. Di Sumatera Barat sendiri, sebaliknya, bukan hanya yang ekonominya terdesak saja yang merantau, tapi juga yang kaya-kaya. Malah ada kecenderungan, makin baik tingkat ekonominya, makin tinggi tingkat migrasinya. Mereka yang sukses dalam bisnis, atau mempunyai pendapatan rata-rata di atas 'garis-kemelaratan', justru lebih tinggi tingkat migrasinya. Orang yang tinggal di udik-udik, yang sulit dan jauh hubungannya ke kota, dan ekonominya di bawah rata-rata daerah, sebaliknya justru mempunyai kecenderungan enggan merantau Merantau akan dianggap sebagai tantangan (dalam konteks pendekatan Toynbee) yang terlalu besar. Kawan tersebut bisa saja menambahkan sekian banyak faktor lagi. Seperti kepadatan penduduk, meningkatnya kebutuhan akan pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik, berkembangnya kota-kota dan daya-tarik kehidupan kota, meningkatnya felt-need (kebutuhan yang terasa) -- dan real-need (kebutuhan sebenarnya) dari kehidupan modern yang bercermin ke Barat, keresahan jiwa yang tidak terobat dengan kelambanan hidup di desa, menghablurnya pengertian batas-batas wilayah-budaya secara tradisionil banyak orang Minang sekarang telah menganggap wilayah Indonesia keseluruhannya sebagai batas wilayah kampung-halamannya-faktor kekacauan daerah seperti yang diperlihatkan oleh akibat seketika dari peristiwa PRRI dan banyak lagi, yang semuanya itu tidak akan membantu jika hanya ditinjau secara sendiri-sendiri. Selain itu, analisa perbandingan juga diperlukan, sedikitnya dengan kecenderungan migrasi suku-suku utama lainnya di Indonesia. Satu hal yang menarik, dan yang secara ilmiah maupun aplikasi penetrapannya nanti sangat mempunyai arti, ialah bahwa pengelompokan suku-suku tersebut ke dalam 'suku yang berkecenderungan migrasi tinggi' dan 'suku yang berkecenderungan migrasi rendah' paralel dengan yang untuk gampangnya saya namakan faktor 'lokasi geo-poleksos'. Suku-suku yang berdiam dekat pusat-pusat kegiatan poleksos (politik-ekonomi-sosial) yang kiranya terletak di pantai utara Jawa (terutama Jakarta) dan di perairan Selat Malaka, koridor lalu lintas perdagangan dunia -- umumnya mempunyai kecenderungan migrasi yang rendah. Sebaliknya, suku-suku yang berdiam jauh dari pusat-pusat kegiatan poleksos akan mempunyai kecenderungan migrasi yang tinggi. Demikianlah, orang Sunda, Jawa, Madura dan Bali, kemudian orang Aceh, Melayu, Riau, Jambi, Palembang dan Lampung, umumnya mempunyai kecenderungan migrasi yang rendah, sedang orang Batak, Minangkabau, Bangkahulu, kemudian orang Banjar, Bugis, Menado dan Ambon, umumnya mmpunyai kecenderungan migrasi yang tinggi. Anehnya, letak geografis yang dihubungkan dengan pusat-pusat kegiatan poleksoi ini begitu menonjol seolah-olah dapat mengalahkan faktor-faktor penyebab lain. Dari Sini kita dapat membayangkan kesulitan politik pemerintah dalam hal penyebaran penduduk selama ini. Orang-orang Jawa sebagai homo-ekonomikus mustahil disuruh bermigrasi secara sukarela jika pusat-pusat kegiatan poleksos ada di hadapan rumah mereka sendiri, sedang daerah luar Jawa dalam gambaran di kepala mereka masih tetap hutan-alas penuh binatang buas. Sebaliknya arus migrasi tenaga muda berpendidikan dari luar Jawa ke Jawa akan sukar dibendung jika pusat kegiatan apa saja tetap berada di seberang sana. Kunci pemecahannya agaknya terletak pada konsep ahli-ahli perencana Jerman dalam rangka pembangunan Pasaman Barat, yakni: decentralized concentration. Kira-kira artinya: menciptakan Jakarta-Jakarta mini di daerah-daerah, sebagai pusat-pusat kegiatan pembangunan poleksos. Bukittinggi, 31 Desember 1975

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus