KAWAN di sebelah saya dalam pesawat ke Jakarta, begitu
mengetahui bahwa saya pernah mempelajari segi-segi perantauan
suku Minangkabau, lantas bertanya: Apa gerangan sebabnya maka
orang Minang banyak merantau. Pertanyaan tersebut saya
kembalikan padanya. Sekaligus mencek apakah
kesimpulan-kesimpulan yang telah saya dapat cocok dengan yang
dirasakannya.
Sebab pertama katanya, adalah karena sistem kekerabatan di
Minangkabau yang berdasar kepada garis-keibuan (matrilineal),
yang kurang memberi tempat kepada lelaki. Saya solang: jika itu
benar, kenapa hanya sekarang jumlahnya begitu besar, sedang
Sensus 1930 menunjukkan bahwa tingkat emigrasi orang Minangkahau
hanyalah yang ke empat setelah suku Bawean, Batak dan Banjar.
Ketiga suku perantau tersebut jelas bukan suku matrilineal, tapi
bilateral dan patriarchal. Sedang orang Minangkabau jauh-jauh
sebelum itupun sudah matrilineal juga. Lagi, suku-suku
matrilineal di bagian dunia lain tidak selamanya menunjukkan
kecenderungan migrasi yang tinggi.
Kawan tersebut lantas menonjolkan faktor desakan ekonomi. Tapi
inipun, secara tersendiri tidaklah otomatis menyebabkan orang
akan beremigrasi. Lihat misalnya suku Jawa, yang walaupun
kebanyakan hidup berkekurangan, tapi justru paling enggan
merantau. Di Sumatera Barat sendiri, sebaliknya, bukan hanya
yang ekonominya terdesak saja yang merantau, tapi juga yang
kaya-kaya. Malah ada kecenderungan, makin baik tingkat
ekonominya, makin tinggi tingkat migrasinya. Mereka yang sukses
dalam bisnis, atau mempunyai pendapatan rata-rata di atas
'garis-kemelaratan', justru lebih tinggi tingkat migrasinya.
Orang yang tinggal di udik-udik, yang sulit dan jauh hubungannya
ke kota, dan ekonominya di bawah rata-rata daerah, sebaliknya
justru mempunyai kecenderungan enggan merantau Merantau akan
dianggap sebagai tantangan (dalam konteks pendekatan Toynbee)
yang terlalu besar.
Kawan tersebut bisa saja menambahkan sekian banyak faktor lagi.
Seperti kepadatan penduduk, meningkatnya kebutuhan akan
pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik, berkembangnya
kota-kota dan daya-tarik kehidupan kota, meningkatnya felt-need
(kebutuhan yang terasa) -- dan real-need (kebutuhan sebenarnya)
dari kehidupan modern yang bercermin ke Barat, keresahan jiwa
yang tidak terobat dengan kelambanan hidup di desa,
menghablurnya pengertian batas-batas wilayah-budaya secara
tradisionil banyak orang Minang sekarang telah menganggap
wilayah Indonesia keseluruhannya sebagai batas wilayah
kampung-halamannya-faktor kekacauan daerah seperti yang
diperlihatkan oleh akibat seketika dari peristiwa PRRI dan
banyak lagi, yang semuanya itu tidak akan membantu jika hanya
ditinjau secara sendiri-sendiri.
Selain itu, analisa perbandingan juga diperlukan, sedikitnya
dengan kecenderungan migrasi suku-suku utama lainnya di
Indonesia. Satu hal yang menarik, dan yang secara ilmiah maupun
aplikasi penetrapannya nanti sangat mempunyai arti, ialah bahwa
pengelompokan suku-suku tersebut ke dalam 'suku yang
berkecenderungan migrasi tinggi' dan 'suku yang berkecenderungan
migrasi rendah' paralel dengan yang untuk gampangnya saya
namakan faktor 'lokasi geo-poleksos'. Suku-suku yang berdiam
dekat pusat-pusat kegiatan poleksos (politik-ekonomi-sosial)
yang kiranya terletak di pantai utara Jawa (terutama Jakarta)
dan di perairan Selat Malaka, koridor lalu lintas perdagangan
dunia -- umumnya mempunyai kecenderungan migrasi yang rendah.
Sebaliknya, suku-suku yang berdiam jauh dari pusat-pusat
kegiatan poleksos akan mempunyai kecenderungan migrasi yang
tinggi. Demikianlah, orang Sunda, Jawa, Madura dan Bali,
kemudian orang Aceh, Melayu, Riau, Jambi, Palembang dan Lampung,
umumnya mempunyai kecenderungan migrasi yang rendah, sedang
orang Batak, Minangkabau, Bangkahulu, kemudian orang Banjar,
Bugis, Menado dan Ambon, umumnya mmpunyai kecenderungan migrasi
yang tinggi.
Anehnya, letak geografis yang dihubungkan dengan pusat-pusat
kegiatan poleksoi ini begitu menonjol seolah-olah dapat
mengalahkan faktor-faktor penyebab lain. Dari Sini kita dapat
membayangkan kesulitan politik pemerintah dalam hal penyebaran
penduduk selama ini. Orang-orang Jawa sebagai homo-ekonomikus
mustahil disuruh bermigrasi secara sukarela jika pusat-pusat
kegiatan poleksos ada di hadapan rumah mereka sendiri, sedang
daerah luar Jawa dalam gambaran di kepala mereka masih tetap
hutan-alas penuh binatang buas. Sebaliknya arus migrasi tenaga
muda berpendidikan dari luar Jawa ke Jawa akan sukar dibendung
jika pusat kegiatan apa saja tetap berada di seberang sana.
Kunci pemecahannya agaknya terletak pada konsep ahli-ahli
perencana Jerman dalam rangka pembangunan Pasaman Barat, yakni:
decentralized concentration. Kira-kira artinya: menciptakan
Jakarta-Jakarta mini di daerah-daerah, sebagai pusat-pusat
kegiatan pembangunan poleksos.
Bukittinggi, 31 Desember 1975
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini