Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Gao

Alkisah, sepanjang Sungai Yangtze, banyak hal tak bisa diseragamkan: para rahib, orang-orang yang menyepi, penyanyi, juga seorang perempuan tua tanpa gigi yang berkisah tentang ”manusia renik” yang tinggal telanjang di tenggorokan kita, yang makan dahak kita….

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH buku bisa juga sebuah kekacauan. ”Kau gabungkan catatan perjalanan, celoteh moralistis, perasaan, catatan, coretan, diskusi tanpa teori, dongeng yang tak mirip dongeng, kau salin beberapa lagu rakyat, kau tambahkan omong kosong yang seakan-akan legenda, padahal itu karanganmu sendiri, dan kau sebut semua itu sebuah fiksi”—itulah sederet kata yang dikutip dari Gunung Sukma (atau, dalam bahasa Inggris, Soul Mountain) karya Gao Xingjian: sebuah centang-perenang setebal 560 halaman, yang untuk mudahnya disebut ”novel”. Gao pasti berbicara dengan sedikit cemooh tentang keseniannya sendiri.

Sebuah buku bisa berarti sebuah huru-hara—jika kita hidup di sebuah republik yang menghendaki ketertiban yang klasik. Mungkin itu sebabnya Gao Xingjian jadi perkara. Sampai tahun 1987 ia hidup di Republik Rakyat Cina, di bawah sebuah partai yang merasa harus—dan bisa—mengatur apa saja, termasuk prosa dan puisi. Pada tahun 1983, Halte (dalam bahasa Inggris Bus Stop)—lakon Gao yang mengingatkan kita akan Menunggu Godot karya Beckett—dikutuk oleh Partai sebagai ”polusi kerohanian”.

Aneh atau tak aneh, dalam diri tiap partai komunis ada sesuatu yang justru tak revolusioner—suatu ambisi yang dimimpikan Plato di zaman purba. Dalam gambaran ini, ada sebuah republik di mana tak ada puisi yang gila-gilaan. Bagi Plato, puisi datang dari ide, bukan ekspresi perasaan atau kehidupan, yang umumnya ruwet, riuh, dan berubah-ubah. Puisi adalah ketertiban yang diciptakan kembali. Puisi adalah sebuah orde baru.

Tapi orde itu begitu sesak, dan gerakan Modernisme sejak awal abad ke-20 menampiknya: seni dan kesusastraan menyatakan sebuah semangat untuk tampil lasak dan berantakan. Dalam élan modernis, hal ihwal tak disusun berurutan, melainkan secara serentak dihadirkan. Hal ihwal dilepas dalam keadaan tumpang tindih. Bentuk montase jadi penting, bentuk yang strukturnya rapi jadi tampak palsu. Di masa ini, seni, dalam kata-kata André Gide, adalah ”sebuah eksploitasi atas sebuah ketidakpastian.”

Barangkali itu sebabnya Gao—seorang pelanjut Modernisme, meskipun ia pernah mengatakan dirinya ”seorang modernis yang gagal”—jadi masalah ketertiban: ketidakpastian adalah sesuatu yang tak sesuai dengan sebuah paham yang yakin bahwa sosialismenya adalah ilmiah. Ketidakpastian juga bertentangan dengan sebuah proyek yang bertekad mengubah dunia. Ketidakpastian adalah sebuah dosa.

Gao lahir pada tahun 1940 di Provinsi Jiangxi di Timur. Hampir sejak masa kecilnya ia berada di bawah sebuah sistem yang menampik dosa itu. Tapi bagaimana ia bisa yakin bahwa hidup adalah sebuah garis lurus, dari titik nol ke titik yang paling tinggi? Pada tahun 1982 dokter mengatakan ia mengidap kanker paru-paru. Setahun kemudian ia dikutuk Partai. Antara kesadaran akan keterbatasan diri dan hasrat untuk menjadi diri sendiri itulah ia pergi selama lima bulan, menempuh 15 ribu kilometer ke pedalaman Cina—dan hasilnya adalah Gunung Sukma.

Alkisah, sepanjang Sungai Yangtze, banyak hal tak bisa diseragamkan: para rahib, orang-orang yang menyepi, penyanyi, juga seorang perempuan tua tanpa gigi yang berkisah tentang ”manusia renik” yang tinggal telanjang di tenggorokan kita, yang makan dahak kita, dan di malam hari suka keluar untuk melapor kepada Maharaja Langit. Kita juga dipapari apa yang mengerikan dalam Revolusi Kebudayaan, dan apa yang asyik: ”aku” pengarang berhasil menjinakkan perempuan dalam pelukan. Di sini, seks punya sifat mendua: pembebasan dan penindasan. Seperti Revolusi Cina sendiri.

Yang dibebaskan adalah petani dan buruh sebagai kelas, tapi yang tertindas adalah yang ”lain” dari acuan kelas. Yang dihabisi adalah yang beda. Mungkin sebab itu Modernisme di Cina setelah Mao berbeda dari Modernisme Eropa, di mana sang ego justru surut ke belakang. Penyair, kata Mallarmé, bukan subyek yang mengatur kata-kata, melainkan justru ”menyerah kepada prakarsa kata-kata.” Dibandingkan dengan itu, subyek, ekspresi seorang individu, masih penting bagi Gao, yang hidup dalam suasana kolektivis RRC: subyek tak surut, tapi beraneka ragam, seperti sosok-sosok di sepanjang Sungai Yangtze yang tak bisa diseragamkan, tak bisa ”di-kelas-kan”.

Memang akhirnya sebuah kekacauan. Dalam hal ini Gunung Sukma berbeda dari Bumi Manusia. Novel Pramoedya Ananta Toer ini sebuah prosa yang tertib dan terkendali, yang mengacu kepada kesatupaduan yang jelas dan rasional. Kata dan bentuk, di tangan Pramoedya, seorang penganjur ”realisme sosialis” yang militan, adalah alat dalam proyek menjelaskan dan mengubah dunia. Sebaliknya dalam karya Gao, yang menentang ”realisme sosialis”, kata selalu bersayap, tak henti-hentinya terbang. Hanya Partai Komunis yang dengan sia-sia mencoba menjeratnya dan memulut sayapnya, agar jadi bagian dari barisan. Tapi Gao lepas. Akademi Swedia, yang bulan ini memberinya Hadiah Nobel Kesusastraan Tahun 2000, menyebutnya sebagai seorang skeptis yang tak mengklaim bahwa ia bisa ”menjelaskan dunia”. Apalagi mengubahnya.

Pada tahun 1987 ia meninggalkan Cina, dan sampai kini tinggal di Bagnolet, satu bagian dari Kota Paris. Dalam hal itu ia agak mirip dengan Pramoedya Ananta Toer—meskipun keduanya datang dari penindasan, perlawanan, dan sikap di dua republik yang berbeda.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus