Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA Widigdo Sukarman agaknya masih berpeluang untuk kembali beredar. Setelah delapan bulan lengser dari jabatannya sebagai Direktur Utama Bank BNI, Widigdo diperkirakan akan kembali masuk orbit. Jabatan yang akan disodorkan kepada pria kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, 59 tahun lalu itu tidak main-main: Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Widigdo akan menggantikan Cacuk Sudarijanto, yang juga belum lama menduduki jabatannya.
Sumber TEMPO di Departemen Keuangan membenarkan penunjukan Widigdo. "Keppresnya sudah diteken oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Tapi, pelantikannya menunggu sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) di Tokyo dan sidang KTT Asian-European Meeting (Asem) di Seoul yang berlangsung pekan ini," katanya. Namun, tak seorang pejabat Departemen Keuangan bersedia mengonfirmasi kabar itu. Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo dan Sekjen Departemen Keuangan (Depkeu) Noor Fuad memilih bungkam. "Soal nama, itu masih di atas (Presiden Abdurrahman Wahid)," kata Prijadi kepada Dwi Wiyana dari TEMPO.
Semula, pergantian itu direncanakan Rabu pekan lalu. Namun, pemerintah kembali menimbang-nimbang dan tak mau bermain api dengan mengganti Kepala BPPN sebelum sidang CGI. Maklumlah, sudah banyak cacat yang dilakukan pemerintah Indonesia, dari tragedi Atambua awal September lalu sampai penundaan divestasi Bank BCA. Karena itu, agar mulus, pergantian baru dilakukan setelah sidang CGI selesai.
Memang, pergantian Kepala BPPN tak bisa dilewatkan begitu saja. Pertama, BPPN menguasai aset negara sekitar Rp 600 triliun. Kedua, di tangan BPPN pula proses pemulihan ekonomi Indonesia bertumpu. Dan ketiga, anggaran negara juga bergantung pada sukses-tidaknya BPPN mengelola aset-asetnya. Karena itu, pemerintah tak bisa main-main ketika menunjuk seseorang menjadi Kepala BPPN.
Di sisi lain, Cacuk, yang terlihat sangat percaya diri, rupanya harus juga turun takhta. Pengunduran Cacuk memang sudah pasti. Ada beberapa versi penyebab digusurnya Cacuk. Kabar resmi mengatakan, pergantian itu karena konsekuensi ditunjuknya bekas Dirut Telkom itu menjadi Menteri Muda Restrukturisasi Perekonomian. Sebagai Menteri Muda, Cacuk bertanggung jawab langsung kepada Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli. Sedangkan sebagai Kepala BPPN, bos Cacuk adalah Prijadi. "Kan tidak mungkin ada pejabat bosnya dua. Salah satu, ya, harus dilepas," kata pejabat Depkeu tadi.
Namun, di balik alasan resmi itu, bertebaran kabar yang mengatakan bahwa turunnya Cacuk tak lepas dari intervensi Presiden Abdurrahman Wahid dan bos Grup Texmaco, Marimutu Sinivasan. Pejabat Depkeu tadi menyebut pola restrukturisasi utang Texmaco sebagai pangkal penyebabnya. Dalam restrukturisasi yang menghebohkan itu, pemerintah akan memegang 70 persen saham Newco, perusahaan baru yang dibentuk untuk mengurus utang macet Texmaco senilai Rp 19 triliun. Sementara itu, Sinivasan kebagian sisanya (30 persen).
Padahal, Presiden Abdurrahman Wahid akhir Mei lalu sudah memerintahkan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Kwik Kian Gie untuk meminta kepada BPPN agar pemerintah mengambil 52 persen, sedangkan yang selebihnya tetap dipegang oleh Sinivasan. Ternyata perintah Gus Dur diabaikan oleh Cacuk dan BPPN. Jatah untuk Sinivasan dikempiskan sampai tinggal 30 persen. Keputusan ini memicu pergantian Cacuk.
Siapa penggantinya? Ada beberapa nama yang muncul, di antaranya Wakil Kepala BPPN Arwin Rasyid, bekas Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) I.P.G. Ary Suta, dan Widigdo. Namun, pagi-pagi nama Arwin sudah berada di pinggir karena ia diangkat menjadi Dirut Bank Danamon. Nama Ary Suta juga tak jelas. Jadilah Widigdo satu-satunya calon. Sejumlah sumber yang dikejar TEMPO mengungkapkan, nama Widigdo makin mengkristal. "Sembilan puluh sembilan persen Widigdo akan jadi Kepala BPPN," kata seorang pejabat BPPN.
TEMPO mendengar dari sumber-sumber di Depkeu bahwa nama Widigdo berasal dari Prijadi dan Sinivasan. Lo? Prijadi dan Widigdo bisa dibilang bukan orang asing di mata Sinivasan. Keduanya "banyak membantu" Sinivasan ketika masih menjadi bankir. Prijadi terakhir menjadi Direktur Kredit Korporasi BRI dan Widigdo di BNI. Di dua bank inilah Grup Texmaco memiliki eksposur kredit yang luar biasa besar. Di BNI, Grup Texmaco mempunyai pinjaman sampai US$ 1,4 miliar. Jadi, tak aneh jika Prijadi dan Sinivasan sama-sama mengusulkan nama Widigdo.
Tapi, seorang bankir pemerintah tak yakin Widigdo akan menjadi Kepala BPPN. Menurut dia, sudah menjadi kebiasaan Presiden Abdurrahman Wahid melontarkan dulu nama calon pejabat, sebelum menariknya kembali karena reaksi yang sangat keras. Lihat saja kasus pencalonan Fuad Bawazier menjadi Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Begitu reaksi dan kritik bermunculan, Presiden keluar dengan nama Emil Salim. "Bisa jadi kasus Widigdo terulang," katanya.
Dugaan bankir tadi hampir tepat. Munculnya nama Widigdo langsung memancing kritik, termasuk di pasar uang dan bursa saham. "Masa, orang yang enggak lulus fit-and-proper test (uji kelayakan dan kepantasan) bisa jadi Kepala BPPN," begitu komentar seorang analis perusahaan sekuritas asing. Lagi pula, katanya, reputasi Widigdo semasa di BNI dan BTN juga tidak terlalu cemerlang. Bahkan, di zaman dialah banyak kredit BNI kepada Texmaco yang macet. Analis keuangan dan perbankan Mirza Adityaswara pun menganggap Cacuk tak layak memimpin BPPN.
Sulit dimungkiri bahwa reputasi Widigdo dalam soal kredit macet Grup Texmaco memang patut dipertanyakan. Pada 1997-1998, misalnya, BNI memberikan kredit preshipment kepada Texmaco sekitar US$ 816 juta plus Rp 450 miliar. Jumlah ini saja jelas melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Sebab, dengan modal Rp 2,2 triliun pada Juni 1999, BNI hanya boleh menyalurkan kredit kepada Texmaco maksimum Rp 440 miliar. Apalagi jika kredit-kredit sebelumnya dimasukkan dalam perhitungan itu. G.K. Goh Research menghitung kredit BNI kepada Texmaco mencapai US$ 1,4 miliar.
Widigdo boleh saja mengatakan itu bukan pelanggaran melainkan pelampauan, gara-gara rupiah melemah. Tapi angka di atas dengan jelas menunjukkan bahwa BNI melanggar aturan BMPK. Dan terbukti, Texmaco tak mampu membayar utang tersebut karena perusahaan tekstil dan rekayasa industri (engineering) ini memang tak akan mampu menanggung pinjaman sebesar itu.
Kendati salah langkah, BNI masih juga mencoba menahan kredit macet itu agar tidak diserahkan kepada BPPN. Bank berlambang perahu layar ini masih saja mengatakan bahwa mereka mampu mengatasi kredit Texmaco. Bahkan, BNI menolak kredit Texmaco termasuk kategori macet, dan bersikukuh agar kredit perusahaan milik Sinivasan itu dikelompokkan dalam kredit yang masih diragukan, atau kategori 4. Padahal, menurut hitungan BI dan BPPN, kredit tersebut sudah macet. Sesuai dengan aturan, jika sebuah bank akan direkap, kredit macetnya harus diserahkan ke BPPN.
Bahkan, kata seorang sumber TEMPO di BPPN, sesudah sebagian kredit macet Texmaco diserahkan BNI ke BPPN pada awal November 1999, Widigdo malah mempresentasikan rencana restrukturisasi utang Texmaco. Bentuknya adalah debt-to-equity swap, dengan BNI dan Sinivasan sebagai pemegang saham perusahaan baru yang menampung kredit macet Texmaco. "Kepala BPPN Glenn Yusuf ketika itu marah besar," kata sumber TEMPO, mengisahkan pertemuan pada pertengahan November 1999 yang dipimpin Menteri Keuangan Bambang Sudibyo.
Setelah itu, tarik-ulur antara BNI dan BPPN makin keras. Bahkan sempat muncul rencana tandingan dari Kantor Menteri Negara Pembinaan BUMN untuk membentuk perusahaan yang khusus menangani kredit macet bank-bank pemerintah. Padahal BPPN sudah punya divisi itu. Kredit macet Texmaco akhirnya baru benar-benar diserahkan ke BPPN pada pertengahan Maret 2000, sebesar Rp 14,9 triliun dari total kredit macet Rp 19 triliun. Ketika itu, Widigdo sudah diganti Syaifudien Hasan.
Dengan kinerja yang separah itu, sebenarnya tak masuk akal kalau Widigdo diproyeksikan sebagai Kepala BPPN. Lalu, banyak kalangan menduga, jangan-jangan Widigdo akan mendapat tugas lanjutan: menyelamatkan Texmaco. Soal ini spekulasi sejumlah kalangan. Dan lagi, persis ketika skema penyelesaian utang macet dilansir oleh BPPN dan ternyata pola itu tak begitu menyenangkan Sinivasan, pada saat itu pula nama Widigdo masuk. Apalagi Rizal Ramli juga dikenal dekat dengan Sinivasan. Jadi, klop sudah.
Namun, tetap saja banyak pihak menilai pergantian itu tidak tepat. Seorang pejabat BPPN mengatakan, dia tidak mempermasalahkan siapa yang akan mengganti Cacuk. Tapi, katanya, pergantian itu dilakukan pada saat yang tidak tepat. Dia mengungkapkan, BPPN kini sedang dalam kecepatan tinggi untuk menyelesaikan berbagai PR-nya. Pada akhir bulan ini, BPPN harus menuntaskan penyelesaian utang 21 konglomerat senilai Rp 80 triliun. BPPN juga masih harus merevisi MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement).
Di samping itu, masih ada APBN 2000 yang menanti setoran BPPN senilai Rp 18,9 triliun. Target ini lumayan berat, tapi Cacuk yakin semuanya akan beres pada akhir tahun, meskipun ada beberapa divestasi yang ditundamisalnya di Bank BCA, senilai Rp 1,78 triliun, yang sempat membuat IMF berang. "Ibaratnya, BPPN sedang jalan 160 kilometer per jam, tiba-tiba sopirnya diganti," katanya.
Widigdo sendiri mengaku belum dihubungi mengenai pencalonan dirinya. "Saya tidak mau bicara sebelum keppresnya berada di tangan saya," kata Widigdo kepada wartawan TEMPO Wenseslaus Manggut. Dia juga menolak mengomentari berbagai tudingan miring tentang hubungannya dengan Texmaco. Demikian pula Marimutu Sinivasan. Berkali-kali pengusaha kelahiran Medan ini menunda janji wawancara dengan TEMPO.
Kendati demikian, Presiden Abdurrahman Wahid seyogianya berhati-hati menunjuk pengganti Cacuk. Bagaimanapun, ada benturan kepentingan jika Widigdo yang naik, karena dialah bankir yang mengucurkan sebagian kredit macet Texmaco. Salah-salah, pilihan itu malah menyebabkan BPPN hancur. Bukan cuma itu. Proses pemulihan ekonomi Indonesia bisa berlarut-larut dan kehilangan arah. Nah, siapkah Gus Dur? Puaskah Sinivasan?
M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Gita W. Laksmini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo