Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Thomas L. Friedman: "Indonesia Negara yang Berantakan"

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GLOBALISASI adalah topik yang magnetis. Dalam dasawarsa terakhir, persoalan ini menjadi trenwacana yang menarik diperbincangkan. Namun, "sempitnya" dunia itu ternyata menimbulkan banyak persoalan besar. Pasar bebas atau ekonomi global toh kemudian hanya akan dikuasai oleh negara-negara yang maju. Negara berkembang cuma bersiap-siap untuk tergilas.

Dalam bukunya, The Lexus and the Olive Tree, Thomas L. Friedman, 47 tahun, melihat globalisasi menimbulkan ketegangan antara dua dunia yang berbeda, yakni antara negara maju, yang disimbolkannya dengan "Mobil Lexus", dan negara yang miskin, yang diibaratkannya sebagai "Pohon Zaitun". "Globalisasi adalah ketegangan antara Lexus dan pohon olive (zaitun), antara sesuatu yang hebat di dunia dan sesuatu yang membutuhkan pembangunan ekonomi," katanya.

Buku ini merupakan buku keduanya, setelah 10 tahun silam ia meluncurkan From Beirut to Jerusalem, sebuah reportase jurnalistik yang dahsyat tentang keadaan Lebanon dan Israel-Palestina, yang kemudian melejitkan namanya. Buku yang ditulis saat dia menjabat kepala biro New York Times di Beirut dan Yerusalem itu sangat laris dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Dan buku itu memenangi anugerah National Book Award.

Dalam kunjungannya ke Jakarta beberapa waktu silam, reporter Purwani Diyah Prabandari dari TEMPO sempat berbincang-bincang dengan bapak dua anak ini tentang buku terbarunya itu. Petikannya:

Mengapa Anda mengambil judul The Lexus and the Olive Tree?

Idenya datang dari dua dunia yang pernah saya lihat. Di Jepang, saya pernah mengunjungi Lexus, sebuah perusahaan high-tech. Mereka adalah simbol dari manufaktur teknologi tinggi. Di pihak lain, olive tree (pohon zaitun) merupakan cerita belahan dunia lain, yang juga pernah saya kunjungi, yakni Timur Tengah. Di sana, saya melihat terdapat perjuangan identitas, agama, dan nilai-nilai tradisi. Menurut saya, globalisasi merupakan ketegangan antara "Lexus" dan "Pohon Zaitun".

Bagaimana cara menghilangkan ketegangan tersebut?

Trik untuk menghilangkan ketegangan itu adalah menyeimbangkan keduanya. Menurut saya, itu bisa dilakukan dengan melakukan hal-hal yang dibutuhkan pembangunan ekonomi, misalnya deregulasi, penswastaan, dan modernisasi, tapi tetap dengan tidak menghancurkan lingkungan, dan nilai-nilai masyarakat. Namun, tidak ada formula sulapan (magic formula) untuk menghilangkan ketegangan itu, sehingga kita tetap tidak akan mencapai sebuah ekuilibrium yang sempurna. Ini sesuatu yang perlu terus diupayakan.

Dalam era globalisasi, seperti istilah Anda, winners take all, apakah negara-negara berkembang akan terdesak oleh negara-negara maju?

Itu tidak benar. Indonesia, misalnya, sesungguhnya berhasil baik sebagai akibat globalisasi ini. Pertumbuhan ekonomi dalam dasawarsa terakhir sebelum krisis ekonomi cukup tinggi. Indonesia mendapat keuntungan dengan masuknya begitu banyak investor global. Tapi yang terjadi kemudian, orang-orang yang tadinya percaya terhadap kepemimpinan politik tiba-tiba menarik investasinya.

Apakah negara-negara berkembang, seperti Indonesia, yang memasuki sistem globalisasi atau pasar bebas akan tergencet habis?

Ya. Namun, itu bukan berarti kemudian harus memisahkan diri. Harapan saya, kalau ada krisis lagi, pembangunan bisa membantu menyelesaikan masalah. Perlu saya tekankan bahwa setiap orang bisa memiliki kekuatan.

Lantas, apa pendapat Anda tentang Indonesia sekarang ini?

Indonesia adalah negara yang dalam keadaan berantakan. Pada saat yang sama, bisa terjadi hal-hal yang baik dan buruk. Yang baik adalah adanya pers yang bebas, munculnya masyarakat madani, dan juga saya pikir ekonomi akan kembali pulih. Sedangkan hal buruk yang saya lihat adalah masih terjadinya korupsi dan kepemimpinan politik yang tidak jelas arahnya.

Saya melihat adanya kekuatan lama yang masih berjuang untuk merebut kekuasaan karena segalanya berjalan lambat dan orang-orang hanya mengurus kepentingan sendiri. Dan inilah ketegangan yang terjadi antara kekuatan-kekuatan yang positif dan yang negatif. Saya pikir ketegangan ini akan ada untuk waktu yang lama.

Apakah Indonesia tetap tidak siap bersaing dalam era global ini dan akan tetap menjadi pohon zaitun?

Tidak seperti itu. Memang masih menjadi pohon zaitun. Tapi banyak negara mengalami hal yang sama: tak tahu bagaimana mengglobalkan diri. Dibandingkan dengan Mesir, ekonomi Indonesia sudah lama berorientasi ekspor. Orang-orang di sini mengerti sistem finansial internasional, perdagangan internasional. Jadi, Indonesia banyak mengalami kemajuan. Namun, untuk itu, perlu prioritas untuk arah politiknya.

Jadi, Indonesia bisa optimistis menghadapi masa depan dalam era baru globalisasi?

Tidak ada yang lebih penting dalam globalisasi selain negara yang berkualitas. Hong Kong, Singapura, Taiwan, dan Australia adalah negara yang berkualitas baik. Munculnya pers yang bebas dan parlemen yang bergigi akan sangat membantu. Selain itu, pemerintah dengan lembaga, hukum, serta peraturan yang baik akan membuat investor asing percaya.

Sebuah negara tak akan berhasil dalam globalisasi dengan sistem yudisial yang kacau dan pemerintahan yang korup. Tanpa itu, bisnis memang bisa dilakukan dengan baik, tapi itu tidak akan berhasil tahan lama. Itu sebabnya Indonesia harus meningkatkan kualitas pemerintahnya, lembaga-lembaganya, dan hukumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus