Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kisah Pohon Zaitun dalam Era Globalisasi

Pemenang Pulitzer Prize Thomas L. Friedman meluncurkan bukunya di Jakarta beberapa waktu lalu. Setelah sukses dengan buku From Beirut to Jerusalem, kini tentang globalisasi.

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE LEXUS AND THE OLIVE TREE
Penulis :Thomas L. Friedman
Penerbit :Anchor Books, 2000

Mungkin Anda bertanya mengapa kita perlu membahas sebuah buku yang membawa kita memahami globalisasi ketika kita semua sedang sibuk membicarakan persiapan menuju era otonomi daerah dengan segala efeknya. Tetapi justru karena kita semua sedang terpana dengan isu otonomi daerah, kedatangan Thomas L. Friedman, pemenang dua Pulitzer Prize di Jakarta beberapa waktu lalu serta pembahasan buku ini menjadi sangat tepat waktu. Tepat waktu, ketika kita menginterpretasikan otonomi daerah sebagai putra daerah, perusahaan daerah, pajak daerah, pengelolaan daerah, teknologi daerah, egoisme daerah, dan bahkan demokrasi ala daerah. Tepat waktu, ketika kebanyakan kita sedang terseret secara emosional berbicara tentang pohon-pohon zaitun (ataupun pohon pisang) yang tumbuh di kebun belakang rumah kita dan lupa dengan sedan Lexus mutakhir yang diproduksi dengan robotika dan komputer.

Kita mudah lupa dengan arus besar peradaban yang bernama globalisasi, ketika kendaraan yang kita tumpangi bagian-bagiannya diproduksi dari berbagai negara di dunia, ketika nilai rupiah dan saham perusahaan kita ditentukan oleh berjuta orang di seluruh dunia yang membeli atau menjual rupiah dan sahamnya melalui pialang-pialang saham, ketika McDonald's mulai mengubah pola makan kita, ataupun ketika media massa memperkenalkan ide baru tentang transparansi, akuntabilitas, pemerintahan yang baik dan bersih. Kita tidak mengerti ketika kita sedang bertengkar tentang siapa pemilik pohon pisang itu, sementara bangsa lain sedang bekerja sama mengatur e-commerce. Tidak berarti bahwa tidak ada tempat bagi budaya lokal, peraturan daerah, keluarga, suku bangsa, bahkan agama dalam era globalisasi. Friedman justru orang pertama yang akan menegaskan bahwa selalu ada tempat bagi pohon pisang dan sedan Lexus berdampingan. Hanya, bagaimana ditempatkannya pada keluarga dan masyarakat adalah tergantung keluarga masing-masing dan masyarakat itu. Kita dapat saja menolak peradaban dunia, ekonomi pasar, demokrasi, tetapi sejarah memperlihatkan bahwa sikap seperti itu hanya membawa etnosentrisme, kemiskinan, dirigisme ekonomi, dan otoritarianisme kekuasaan. Sebaliknya, membuka diri terhadap globalisasi justru memberikan kesempatan untuk penyesuaian-penyesuaian penting demi kemajuan masyarakat.

Perubahan-perubahan itu memang bukan tanpa korban. Industri yang tak efisien, usaha yang berlandaskan monopoli, ide yang indoktrinatif, dan nilai-nilai yang tak relevan akan tersapu dengan globalisasi. Inilah pula yang menyebabkan resistensi terhadap globalisasi dan kecenderungan untuk mendirikan tembok khayal yang bernama sukuisme, daerahisme, dan pribumisasi. Ketika globalisasi mengakibatkan korban yang lemah, kecil, pinggiran, maka resitensi terhadap globalisasi mulai memasuki ranah politik. Segala macam tembok khayal itu baru berarti ketika tembok-tembok itu dikuatkan dengan keputusan-keputusan politik atas nama konstituen suku, daerah, pribumi, agama, yang lemah, kecil, dan pinggiran.

Friedman memberikan tiga strategi bagi para pemimpin negara yang harus membuat keputusan penting dalam proses penyesuaian terhadap globalisasi. Yang pertama The Trapeze, di mana sistem ekonomi pasar bebas memberi kesempatan setiap orang untuk berayun ke sana-kemari seperti di sirkus untuk mengambil kesempatan sebagai entrepreneur dan kapitalis. Tentu saja dalam berayun bebas dalam ekonomi pasar selalu saja ada yang terjatuh, dan karena itu dibutuhkan strategi The Trampolines, yang memungkinkan mereka yang jatuh dapat melompat kembali ke dalam sistem, misalnya dengan program pelatihan kembali pekerja agar mereka bisa menyesuaikan dengan lingkungan kerja yang berubah. Namun, pasti masih ada saja yang akan ketinggalan dan jatuh karena memang tidak mampu mengikuti perubahan yang cepat. Karena itu, dibutuhkan strategi ketiga, The Safety Nets, yaitu jaringan pengaman sosial dan berbagai program santunan dan pemberantasan kemiskinan.

Demokrasi merupakan bagian dari paket globalisasi, atau, sebagaimana yang disebut Friedman, sebagai globalution, paduan kata globalization dan revolution. Yang kurang disadari oleh Friedman bahwa demokrasi juga dapat saja menciptakan resistensi terhadap globalisasi di negara berkembang. Ketika para politisi mengeksploitasi ketakutan instinktif terhadap perubahan dari konstituen-konstituen tradisionalnya, penolakan terhadap globalisasi mendapat legitimasi demokratis. Ketika India melarang peredaran Pepsi Cola dan menutup Kentucky Fried Chicken atas nama desakan massa, demokrasi justru menghasilkan legitimasi bagi penutupan pasar, pembatasan pilihan konsumen, dan pengekangan kebebasan entrepreneur.

Sayang sekali, buku ini tidak memberikan langkah-langkah praktis bagi politisi yang menyadari pentingnya penyesuaian terhadap globalisasi untuk mengambil keputusan penting ke arah itu tanpa harus kehilangan konstituennya. Namun, buku ini sangat kaya dengan ilustrasi yang membuka mata kita tentang makna globalisasi dan bagaimana kita menempatkan diri dengan pohon pisang kita masing-masing di dalamnya, karena memang selalu ada tempat buat pohon pisang, mangga, jeruk, ataupun zaitun dalam globalisasi. Pohon-pohon itulah yang memberi makna bagi kehadiran kita dalam masyarakat dunia.

Lebih dari 30 tahun lalu sekelompok seniman Manifes Kebudayaan mendeklarasikan mereka sebagai bagian dari anak dunia sekaligus anak Indonesia. Jika sekarang mereka berkumpul lagi, mungkin saja semboyannya menjadi Otonomi Daerah, Yes! Indonesia, Yes! Dan Globalisasi, Yes!

Andi Mallarangeng

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus