Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LONJAKAN harga beras yang terjadi sejak tahun lalu sudah semestinya mendapat perhatian serius pemerintah. Tanpa kebijakan yang tepat dan cepat, kenaikan harga beras bisa merembet ke bahan kebutuhan pokok lain, yang pada akhirnya dapat memicu krisis pangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harga rata-rata nasional beras berkualitas medium telah menembus rekor tertinggi Rp 13.210 per kilogram, melambung dari Oktober 2022 yang sebesar Rp 11.070. Harga beras premium menyentuh Rp 14.930, melampaui tahun lalu yang berkisar Rp 12.630 per kilogram. Adapun harga eceran tertinggi (HET) beras medium dan premium berada di rentang Rp 10.900-11.800 dan Rp 12.900-14.800 per kilogram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Membubungnya harga beras merupakan cermin kondisi pasar yang sedang tidak baik-baik saja. Volume pasokan tak mampu memenuhi tingginya permintaan beras. Ini bisa terlihat dari pasokan beras di dalam negeri yang terus menurun. Cadangan beras pemerintah di gudang Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik atau Bulog hanya mencapai 1,7 juta ton, jauh dari angka ideal 10 persen kebutuhan nasional yang sebesar 3 juta ton.
Jebloknya produksi di sejumlah daerah lumbung beras akibat kemarau panjang menjadi salah satu faktor utama seretnya pasokan. Pelbagai kebijakan, seperti penetapan harga pembelian pemerintah dan HET, tak kunjung menguntungkan petani dan meringankan beban konsumen. Alih-alih bisa mendapat profit dari kenaikan harga beras, petani yang terbebani biaya produksi mesti pasrah gabahnya dibeli sesuai dengan harga pembelian pemerintah.
Mendatangkan beras impor pun tak semudah membalikkan telapak tangan. Rencana membeli beras dari luar negeri sebanyak 2 juta ton mendapat hambatan besar karena sejumlah negara importir memilih mengamankan pasokan domestik mereka.
Konsekuensinya, konsumen sulit membeli beras sesuai dengan level HET karena terbatasnya pasokan di pasar. Pedagang yang punya stok memilih tak melepasnya ke pasar karena khawatir ditangkap Satuan Tugas Pangan lantaran menjual beras dengan harga lebih tinggi. Sengkarut ini sudah berulang kali terjadi dan menjadi lingkaran setan yang membekap komoditas pangan utama.
Langkah terobosan pelaksana tugas Menteri Pertanian, Arief Prasetyo Adi, cukup efektif meredam kelangkaan beras. Kebijakan menggerojokkan beras impor ke pasar induk—berbeda dengan operasi pasar Bulog selama ini—juga bisa sedikit menahan lonjakan harga.
Namun langkah itu tidak bisa efektif untuk jangka panjang. Pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan penetapan HET yang selama ini sudah terbukti tidak efektif menahan gejolak harga beras. Sebab, dalam praktiknya, para pedagang terus saja menjual beras di atas harga patokan tersebut.
Penetapan HET dengan dalih mengendalikan laju inflasi sama dengan melawan hukum pasar. Dengan jumlah produksi yang minim, juga susahnya mendapat pasokan beras impor, sudah tentu pemerintah tidak berdaya dan pada akhirnya menimbulkan kelangkaan serta gejolak harga.
Baca liputannya:
- Bisakah Beras Impor Menekan Harga yang Meroket
- Cara Pemerintah Mengendalikan Harga Beras
- Mengapa Beras Premium Langka
Lonjakan harga beras adalah keniscayaan. Hampir semua negara berjibaku menghadapi tingkat inflasi tinggi akibat terhambatnya pasokan bahan pangan dan energi imbas perang Rusia-Ukraina hingga El Niño yang berkepanjangan. Ketimbang sibuk mencari kambing hitam, pemerintah bisa bergerak cepat membuka sumbatan pasokan beras ke pasar.
Yang paling utama adalah membuat kebijakan yang dapat memastikan masyarakat kelas bawah mendapatkan beras dengan harga terjangkau. Solusinya: memberi bantuan langsung tunai kepada mereka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dalam Bayang-bayang Krisis Beras"