Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH tahun lalu, 22 Juli 2014, Komisi Pemilihan Umum menetapkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemenang pemilihan presiden dengan perolehan 53,15 persen suara. Latar belakang Jokowi sebagai pengusaha mebel kecil membuat slogan kampanye “Jokowi adalah kita” membius mayoritas pemilih Indonesia. Ia bukan bagian dari elite lama yang korup dan berjarak dengan orang kebanyakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi meniti karier politik dari bawah. Menjadi Wali Kota Solo pada 2005, ia memimpin kota kecil di Jawa Tengah itu dengan humanis. Ketika banyak gubernur dan bupati memindahkan pedagang pasar yang tak tertib memakai kekerasan, Jokowi membujuk mereka berulang-ulang. Ia meneruskan gaya memimpin rendah hati itu ketika menjadi Gubernur Jakarta pada 2012.
Tim kampanyenya melekatkan citra “merakyat” kepada Jokowi lewat pertunjukan “blusukan”, slogan “kerja, kerja, kerja”, dan “orang baik memilih orang baik”. Jokowi menumbuhkan harapan Indonesia menjadi negara maju yang berpihak kepada rakyat. Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, dua politikus dari lapis masyarakat elite yang menjadi rivalnya, pun tersingkir.
Sebagai politikus yang bukan aktivis, bukan konglomerat, bukan pemilik partai politik, Jokowi menghadapi tembok tebal jaringan politik yang terbentuk sejak kekuasaan Orde Baru. Tak mendapat dukungan penuh dari partainya sendiri, PDI Perjuangan, Jokowi memperkuat diri dengan merangkul partai lain yang punya kursi banyak di Dewan Perwakilan Rakyat. Ia menggaet Golkar, mengeratkan diri dengan NasDem yang mendukung sejak awal, dan mendekati partai menengah-kecil yang membawa suara pemilih Islam moderat.
Konsolidasi itu membuahkan kemenangan saat ia maju kembali dalam pemilihan presiden 2019. Perolehan suara Jokowi naik signifikan pada periode kedua dibanding Prabowo, yang kembali maju menjadi penantangnya. Dalam Pemilu 2014, selisih keduanya hanya 6,3 persen atau 8,42 juta suara. Pada 2019, selisihnya naik menjadi 11 persen atau 16,96 juta. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Ma’ruf Amin diangkat menjadi calon wakil presiden untuk merangkul pemilih Islam.
Ma’ruf adalah tokoh penting dalam demonstrasi besar menentang Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang dituding menistakan agama pada 2017. Jokowi dipotret sebagai pembela Basuki.
Para pemilih, lagi-lagi, terpincut janji kampanye Jokowi yang “tak akan ragu-ragu mengeksekusi semua program” periode pertama di masa kedua. Rupanya, sikap tak ragu-ragu itu adalah usaha Jokowi mempercepat pembangunan infrastruktur dan menaikkan investasi yang menjadi cita-citanya sejak awal, yang menjadi paradigmanya memajukan Indonesia. Sejak dilantik untuk periode kedua, ia menegaskan tak memprioritaskan penegakan hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan, karena keduanya menghambat investasi.
Hambatan lain adalah independensi Komisi Pemberantasan Korupsi. Jokowi menyebut KPK membuat pembangunan mandek. Dengan konsolidasi partai yang terbentuk di periode pertama, ia mengebiri lembaga antikorupsi melalui revisi Undang-Undang KPK pada akhir 2019. KPK pun bukan lagi lembaga independen, melainkan bagian dari rumpun eksekutif dengan presiden sebagai penentu dan pengendali.
Sukses melumpuhkan KPK, Jokowi menyisir regulasi yang dianggap menghambat masuknya modal asing ke Indonesia. Ada 75 undang-undang yang ia sinkronkan, ia ubah, ia hapus pasal-pasal yang menakutkan pemodal, yang dibukukan dalam omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja.
Omnibus law yang tak dikenal di negara penganut civil law seperti Indonesia itu dipercaya dapat memanjakan investor tapi tak berpihak kepada buruh dan mengancam lingkungan. Undang-Undang Cipta Kerja pembenar praktik deforestasi—penyebab utama kenaikan produksi gas rumah kaca yang mengakibatkan krisis iklim.
Untuk melindungi dan menjamin investasi, UU Cipta Kerja mempermudah syarat-syarat berusaha. Analisis mengenai dampak lingkungan kini dapat disetujui meski tanpa melibatkan aspirasi masyarakat yang terkena dampak dan warga sipil. Mereka yang memprotes proyek strategis nasional dianggap menghalangi pembangunan sehingga bisa dijebloskan ke penjara.
Legalisme otokratik ala Jokowi makin membabi buta menjelang ia lengser. Konstitusi hendak ia revisi agar bisa menjabat presiden tiga periode. Percobaan ini gagal karena mendapat protes masyarakat dan mandeknya dukungan partai. Percobaan Jokowi berhasil lewat Mahkamah Konstitusi yang dipimpin adik iparnya mengubah Undang-Undang Pemilihan Umum untuk meloloskan anaknya yang belum cukup umur menjadi kandidat wakil presiden.
Dengan desain seperti itu, ekonomi Indonesia tak seperti yang diharapkan. Rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun dalam satu dekade terakhir hanya 4,73 persen—jauh di bawah era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sebesar 6,22 persen. Beban Indonesia makin berat karena badan usaha milik negara kolaps akibat terjerat utang menjalankan penugasan Jokowi membangun infrastruktur. Di masanya, tambahan utang pemerintah mencapai Rp 5.745 triliun, tiga kali lipat dibanding tambahan utang dua periode Presiden Yudhoyono.
Centang perenang itu meruntuhkan demokrasi dan harapan-harapan Reformasi 1998. Tentara kembali masuk birokrasi dengan penempatan di lembaga-lembaga sipil. KPK, polisi, dan jaksa menjadi lembaga pemukul lawan politik memakai kasus hukum. DPR hanya tukang stempel kebijakan pemerintah kendati membahayakan anggaran. Tak ada lagi fungsi checks and balances yang menjadi penopang demokrasi.
Indonesia menjadi negara yang kehilangan demokrasi meski dipimpin oleh mereka yang terpilih secara demokratis. Bersama negara lain, seperti Hungaria, Brasil, Turki, dan Amerika Serikat di era Donald Trump, demikian menurut Francis Fukuyama, Indonesia dihinggapi empat ciri pembalikan demokrasi: sistem hukum yang tak imparsial, birokrasi yang tak netral, kekuasaan eksekutif yang berlebihan, dan media yang tak independen.
Tak mengherankan jika indeks demokrasi Indonesia tahun ini, menurut V-Dem Institute University of Gothenburg, Swedia, berada di urutan ke-87 dengan skor 0,36, melorot dari posisi ke-63 pada 2014. Indeks Perilaku Antikorupsi dari Badan Pusat Statistik juga menurun dari 3,84 pada 2020 menjadi 3,76 pada 2024. Kedua data ini merefleksikan praktik politik kotor terutama dinasti politik yang dibangun Jokowi di akhir masa jabatannya.
Cawe-cawe dalam memenangkan anaknya menjadi wakil presiden melalui pengerahan aparatur negara dan bantuan sosial, Jokowi juga mendorong anak bungsu, menantu, hingga para ajudan maju dalam pemilihan kepala daerah. Gagal memperpanjang masa jabatan presiden, ia wujudkan keinginannya dengan mencengkeram kekuasaan lewat tangan keluarga dan orang-orang dekat.
Dengan segala laku lancung itu, tak ada gelombang demonstrasi besar mahasiswa seperti 1998 ketika Soeharto lengser. Jokowi telah belajar banyak dari kesalahan Soeharto membangun rezim otoritarian tanpa perlawanan publik. Selain mematikan DPR dan media massa, Jokowi melumpuhkan simpul-simpul intelektual dengan menggaet kelompok masyarakat sipil ke dalam kekuasaannya dan pemakaian hak pemerintah memilih rektor perguruan tinggi.
Disrupsi Internet membuat protes dan kemarahan publik teredam oleh pengerahan pendengung dan para ahli pesanan dalam pertarungan wacana di media sosial. Dengan gimik sifat kerakyatan dan tak frontal menghadapi kritik, Jokowi membentuk polarisasi yang membingungkan menghadapi watak otoritarianisme yang ia bangun.
Di tangan Jokowi, watak otoritarian itu tak secara provokatif terlihat. Ia mengelabui siapa saja yang berharap Indonesia lepas dari kekuasaan elitis presiden sebelumnya. Dua periode berkuasa, Jokowi menghancurkan tesis orang baik yang pernah jadi harapan besar kebanyakan orang Indonesia.