Laporan Utama TEMPO tentang golput alias golongan putih (TEMPO, 30 Mei 1992), sungguh menarik. Sebab liputan itu mengangkat perilaku pemilih muda yang sering menginginkan perubahan. Golput hadir karena adanya celah: mencoblos hanya merupakan hak, bukan kewajiban. Bila memilih dalam pemilu cuma hak, itu berarti tak seorang pun boleh marah kepada pelaku golput. Sebab, jika memilih adalah suatu kewajiban, maka nilai demokrasinya sudah hilang. Sekalipun bukan suatu kewajiban, anehnya banyak tudingan diarahkan ke massa golput. Ali Moertopo, misalnya, mengejek golput itu kentut. Atau, ada yang mengatakan golput itu "sebagai pengkhianat bangsa". Laris manisnya golput -- dihubungkan dengan temuan TEMPO yang memperkirakan pangsanya, 16,4 % -- tidak lepas dari fenomena, kelompok ini sejak dini sudah dijauhkan dari politik. Apalagi diiringi kesan yang ramai didengungkan bahwa politik itu busuk. Akibatnya banyak anak muda lebih senang pada kegarangan Guns n' Roses atau kegenitan Madonna di atas panggung ketimbang menekuni ilmu politik agar sadar politik. Bahkan mungkin banyak kawula muda di Nusantara berperilaku seperti remaja Jepang, yang lebih suka memajang bendera Amerika di kamarnya daripada bendera tanah airnya. Ini semua karena tidak adanya kesadaran politik dalam memilah persoalan. Kalau gejala ketidaksadaran itu marak, lalu apa bedanya "politik itu busuk" dan "golput itu kentut"? Golput juga tidak tepat jika disebut pengkhianat bangsa. Sebab, tidak memberikan hak suara adalah hak yang dijamin kebebasannya, bukan kewajiban. Bila ada ocehan bahwa "golput pengkhianat bangsa", berarti sekelompok oknum ingin mengebiri kesepakatan bahwa memilih adalah hak. ABDUL HARIS BOOEGIES Jalan Veteran Selatan Nomor 292 A Ujungpandang 90133
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini