BUKU yang ditulis dr. Kartono Mohamad ini memberi penjelasan dan informasi singkat dan praktis tentang apa kriteria manusia mati, keinginan manusia mati tanpa penderitaan, pengguguran kandungan, pembuahan in vitro, dan transplantasi organ tubuh manusia. Teknologi canggih memang telah membuat banyak perubahan di dunia kedokteran. Teknologi kedokteran memungkinkan seorang istri mengandung bukan anak biologisnya. Dengan teknik in vitro atau bayi tabung, embrio hasil pembuahan sel telur dan sperma orang lain dapat ditanam dalam rahim ibu yang mendambakan kelahiran anak. Menurut dr. Kartono, dari segi pengertian harfiah, anak yang diperoleh dari embrio donasi itu dapat pula dianggap anak yang sah. Bayi itu dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah. Bahkan UU Perkawinan pun tak menyebutkan bahwa "dilahirkan dalam perkawinan yang sah" tak mesti dari pasangan itu sendiri. Pasangan suamiistri itu tentu saja senang punya anak tanpa harus melawan hukum. Namun, apakah pasangan itu terbebas dari "bisikan hati" yang selalu mempertanyakan bahwa anak yang dilahirkan itu bukan keturunannya, bukan bibitnya? Melahirkan anak dengan cara inseminasi juga disambut gembira oleh saumiistri. Namun, setelah itu, mereka pun sering dihantui pikiran bahwa pembuahan sel telurnya tak sesuai dengan "prosedur normal" suamiistri, atau boleh dibilang "perzinaan di luar persetubuhan". Mungkin juga terpikir bahwa anak itu dari bibit bapak lain yang bukan suaminya. Buku ini membahasnya menurut pokok-pokok kenyataan, moral, hukum, dan agama. Walaupun eutanasia atau membantu kematian untuk menghindari penderitaan atau sakit berat memang acap kali dibicarakan, sebagai dokter saya belum pernah mendapat permintaan semacam itu. Memang pernah ada pasien wanita berusia lebih dari 90 tahun datang dan mengeluh pada saya: "Mengapa Tuhan tak memanggil saya, Dok?" Tapi tak ada seorang pasien pun yang minta diinjeksi agar mati lebih cepat. Bahkan banyak pasien pascastroke yang minta penyembuhan mujarab karena takut mati. Penderita karsinoma terminal pun masih minta dibebaskan dari nyeri yang menyengat dan tetap takut mati. Dengan obat antiepilepsi, tranquilizer, dan antidepresi, nyeri yang tak tertahankan itu bisa dilenyapkan. Soal pengguguran kandungan, dr. Kartono membahasnya secara singkat tapi mendalam. Pokokpokok pengertian tentang kapan mulai kehidupan manusia secara biologis dan moral, apakah janin di kandungan punya hak asasi seperti manusia biasa, atau hak asasi wanita yang menangandung dimenangkan terhadap hidup janin, menjadi topik bahasannya. Dalam pembahasan bioetika dan teknologi, Kartono bertindak obyektif, kendati iman Islamnya menonjol. Bioetika yang membahas etika tentang hidup manusia dibahasnya secara holistik. Hubungannya dengan masalah kematian, eutanasia, abortus, pembuahan in vitro, dan transplantasi organ didiskusikan secara menarik dan relevan. Saya cenderung mengatakan bahwa hampir semua pembaca, baik dokter maupun awam, dapat menyelami tulisan Kartono Mohamad, dan kiranya sebagian besar akan setuju. Dokter yang melakukan tindakan melanggar etik mengerti dan tahu adanya etik kedokteran, tapi mereka sering berdalih bahwa ketentuan etik itu lagi tak berlaku bagi dirinya. Membaca buku ini perlu bagi setiap dokter. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana menerapkan bioetika itu dalam praktek seharihari. P. Sidharta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini