Tukar cincin: untuk menghindari perceraian

Saya tertarik dengan tulisan "Cincin Pengikat Perkara" (TEMPO, 9 Mei 1992, iHukumr). Di situ disebutkan bahwa tukar cincin, oleh pengadilan, dianggap ikatan perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum, dengan dasar normanorma kesusilaan dan keputusan dalam masyarakat. Setahu saya, tukar cincin adalah janji saling mengikat antara seorang lakilaki dan seorang perempuan dengan tujuan agar saling mengenal kepribadian masingmasing sebagai persiapan perkawinan. Perjanjian perkawinan adalah perikatan suci, sah jika dilakukan berdasarkan agama atau kepercayaan menurut UU Perkawinan Pasal 3 ayat 1. Karena itu janji kawin bukanlah merupakan perjanjian perdata biasa yang sifatnya zakelijk atau putusnya hubungan kedua pihak yang mengakibatkan tidak ada kehendak dari salah satu pihak untuk mengadakan perjanjian perkawinan. Dapat diterima, bila dasar hukum keputusan perkara itu karena "tidak dihormatinya tukar cincin", melainkan karena tenggang waktu pembatalan perkawinan yang tak layak seperti dalam kasus ini: satu minggu sebelum perkawinan. Itu menyebabkan nama baik orang lain yang dilindungi undangundang terluka. Jadi, ada presumsi faktor kesengajaan. Saya khawatir pertimbangan hukum yang dipakai oleh hakim dalam memutuskan perkara itu kurang arif. Jika putusan itu dilegalkan bisa mengakibatkan ketakutan pada masyarakat untuk melakukan tukar cincin. Padahal ikatan ini sudah menjadi tradisi pada masyarakat untuk menghindari membengkaknya angka perceraian karena ketidakcocokan dalam rumah tangga setelah perkawinan. ANY ANDJARWATI Geisstrasse 5 3400, Gottingen Germany